1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Setahun Selepas Perang di Gaza

13 Mei 2022

Mei 2021, perang besar-besaran meletus di Gaza antara Israel dan Hamas. Setahun kemudian, suasana masih sunyi dan tegang. Warga takut akan kemungkinan pecahnya konflik baru.

Seorang perempuan berjalan di Kota Gaza, 10 Mei 2022
Suasana di Kota Gaza, satu tahun sejak konflik Mei 2021 antara Hamas dan Israel meletusFoto: Majdi Fathi/NurPhoto/picture alliance

Jajaran tanaman melon dan bunga matahari membentang ke arah pagar keamanan yang mengelilingi Jalur Gaza. Di kejauhan terlihat pinggiran Kota Gaza. Setahun lalu saat perang meletus, wilayah komunitas (kibbutz) Nahal Oz dan area ladang mereka di selatan Israel menjadi zona militer tertutup.

"Kami di sini hanya 500 meter dari perbatasan dengan Gaza," kata Daniel Rahamim, seorang anggota kibbutz. "Tahun lalu, kami habiskan sebagian besar waktu dengan tinggal di dalam bunker."

Setahun kemudian suasana berangsung tenang, tapi tetap tidak stabil. "Sekarang tenang, tapi dalam satu menit bisa terjadi perang karena sesuatu telah terjadi di Yerusalem. Namun, kami berusaha menerima dan hidup dalam keadaan ini," ujar Daniel Rahamim.

Sore hari pada 10 Mei 2021, Hamas dan faksi Palestina lainnya meluncurkan serangan roket ke Yerusalem, Israel membalas tembakan. Perang habis-habisan pun terjadi selama 11 hari berikutnya.

Di Gaza, 261 warga Palestina termasuk warga sipil, anak-anak, dan militan tewas, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan. Sementara di Israel, Iron Dome dapat memblokade sebagian besar roket dari Gaza. Korban jiwa Israel mencapai 16 orang termasuk anak-anak, pekerja asing, dan seorang tentara.

Konflik tersebut diawali konfrontasi berminggu-minggu antara warga Palestina dan polisi Israel di Masjid Al Aqsa di Kota Tua Yerusalem, salah satu situs tersuci bagi umat Islam. Konfrontasi lain terjadi di wilayah Yerusalem timur Sheikh Jarrah, tempat sejumlah keluarga Palestina menunggu keputusan apakah akan diusir dari rumah mereka karena rencana pembangunan pemukiman Yahudi.

Sunyi dan tegang di selatan Israel

Bagi Nadav Peretz, pekerja sosial di Pusat Ketahanan Sha'ar Ha Negev dekat kota Sderot, konflik ini berbeda dari konflik sebelumnya. "Sangat, sangat intens. Kami dihujani ratusan roket dalam 11 hari, saya tidak ingat jumlah pastinya. Ada sekitar 20 hingga 50 tanda bahaya setiap harinya," katanya.

Menurut Pasukan Pertahanan Israel, lebih dari 4.000 roket ditembakkan oleh Hamas, Jihad Islam, dan kelompok militan lainnya di Gaza ke Israel. Banyak yang ditujukan ke wilayah selatan dan kota-kota besar seperti Tel Aviv. Militer Israel mengatakan telah menyerang lebih dari 1.500 target di Jalur Gaza, termasuk di antaranya sistem terowongan bawah tanah.

Bahkan hingga kini, apa yang oleh warga setempat disebut sebagai sirene 'peringatan merah' bisa berbunyi setiap saat. Ini adalah sirene yang memperingatkan penduduk akan adanya roket atau mortir yang ditembakkan oleh gerilyawan Palestina di Gaza ke Israel. Orang-orang hanya punya waktu maksimal 15 detik untuk mencari perlindungan.

Di pusat pemulihan Sderot di Distrik Selatan Israel, relawan spesialis trauma terus bekerja sepanjang tahun untuk membantu penduduk dan komunitas lokal mengatasi tekanan dan trauma dari ancaman yang sampai saati ini masih berlangsung. "Kami memberi tahu orang-orang, bahwa adalah normal jika kita bereaksi terhadap situasi yang tidak normal," kata Peretz. 

Gaza setelah perang terakhir

Sementara di seberang pagar pengaman, di Gaza, kenangan dan trauma pertempuran sengit Mei tahun lalu juga masih terasa hingga hari ini. Rola Dahmann, mahasiswa di Kota Gaza, mengatakan perang itu seolah-olah baru saja kemarin terjadi. Gedung apartemen yang ia tinggali bersama keluarganya telah hancur. Mereka mengungsi ketika perang meletus.

"Ketika pergi, kami tidak membawa apa-apa. Kejadiannya sebelum Idul Fitri, dan tiba-tiba, semuanya hilang," kata Rola Dahmann lewat sambungan Skype dari Kota Gaza.

Kota ini sendiri masih tertutup bagi pers dan lainnya sebagai akibat serangan yang baru-baru ini terjadi. Ayahnya masih harus membayar hipotek untuk rumah yang kini sudah tidak ada lagi, dan harus melakukan dua pekerjaan untuk menutup pembayaran tersebut.

Selama perang, serangan udara dan tembakan artileri Israel telah menghancurkan atau merusak ratusan unit rumah. Di Kota Gaza, beberapa bangunan tinggi telah rata dengan tanah dan beberapa jalan utama rusak.

Setahun kemudian, upaya rekonstruksi daerah-daerah kantong yang diblokade masih berjalan lambat. Namun puluhan ribu ton puing telah dibersihkan dan didaur ulang untuk memperbaiki jalan, menurut angka dari Badan Pembangunan PBB (UNDP).

Meskipun belum ada kemajuan nyata dalam mediasi menuju gencatan senjata jangka panjang, situasi 'tenang' seperti ini relatif stabil dalam setahun terakhir, menurut Mkhaimar Abusada, profesor ilmu politik di Universitas Al-Azhar di Gaza. 

Warga Palestina Alaa Abu al-Ouf, 47, melihat foto istri dan dua putrinya yang tewas dalam serangan udara Israel pada Mei 2021 di Kota GazaFoto: Rahaf Aziz/APA Image/Zuma Press/picture alliance

Pada tahun 2021, pemerintah Israel mulai melonggarkan sejumlah restriksi pergerakan dan mengizinkan sekitar 12.000 warga Gaza untuk bekerja di Israel. Abusada menyebut langkah ini "belum pernah terjadi sebelumnya."

"Sejak melepaskan diri dari Jalur Gaza pada musim panas 2005, Israel telah menutup pintu bagi pekerja Palestina untuk bekerja di Israel."

Khawatir meletusnya konflik baru

Karena masalah keamanan, selama lebih dari 15 tahun pergerakan orang dan barang masuk dan keluar Gaza dikontrol ketat oleh Israel, dan sebagian oleh Mesir. Kelompok Hamas yang menguasai wilayah terpencil itu dianggap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat dan Eropa. Kekerasan yang sering terjadi dengan Israel dan perpecahan politik di antara orang-orang Palestina telah memakan korban dalam kehidupan sehari-hari di Jalur Gaza.

Ketegangan baru-baru ini mengkhawatirkan Rola Dahmann dan saudara perempuannya Lina. Keduanya termasuk generasi muda Gaza yang telah mengalami empat perang besar dan beberapa putaran eskalasi militer. Ketakutan akan pecahnya konflik dan kekerasan baru dengan Israel selalu ada di benak mereka.

Tidak ada tempat berlindung di Gaza, dan tidak ada tempat lain untuk pergi pada saat krisis.

"Kami tidak merasa aman," kata Lina.

"Kami masih merasakan apa yang terjadi tahun lalu," tambah Rola. "Dan saya takut peristiwa itu akan terjadi lagi." (ae/yf)

Hazem Balousha turut melaporkan dari Kota Gaza

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait