1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Setelah Fukushima, Jerman Putar Haluan dan Tinggalkan PLTN

11 Maret 2021

Bencana nuklir Fukushima mengguncang kepercayaan kepada teknologi PLTN, yang oleh pengelolanya selalu disebut "aman". Jerman punya kesimpulan lain dan memutuskan untuk meninggalkan PLTN.

PLTN Biblis di Jerman
PLTN Biblis di JermanFoto: Boris Roessler/dpa/picture alliance

Ketika pada 11 Maret 2011 gempa bumi besar dan tsunami mengguncang dan menggulung PLTN Fukushima Daiichi, terjadilah bencana nuklir yang berdampak tidak hanya di Jepang, melainkan di tempat-temat lain. Inilah bencana nuklir terburuk sejak peristiwa Chernobyl tahun 1986.

Namun yang membangkitkan kehawatiran besar adalah perbedaan kondisi dari kedua bencana itu. Uni Soviet saat itu memang diragukan kemampuan teknologinya untuk mengamankan PLTN. Tetapi Jepang adalah salah satu negara paling modern, dengan standar keamanan reaktor nuklir yang tinggi. Karena itu, meledaknya reaktor Fukushima dan lepasnya zat radioaktif ke sekitarnya menyadarkan banyak pihak tentang bahaya pengoperasian PLTN.

Perubahan besar bisa dilihat pada kebijakan pemimpin Jerman Angela Merkel, seorang ahli fisika. Ketika masih beroposisi, dia malah mengeritik rencana pemerintah Jerman saat itu yang ingin menghentikan penggunaan PLTN.

"Saya akan selalu menganggap tidak masuk akal kebijakan untuk menutup pembangkit listrik tenaga nuklir, yang secara teknologi aman dan tidak memproduksi emisi CO2," kata Merkel pada tahun 2006.

Maret 2011, Menteri Lingkungan Norbert Röttgen (kiri) dan Kanselir Jerman Angela Merkel (kanan) menerangkan kebijakan baru pemerintah untuk meninggalkan PLTN.Foto: dapd

Fukushima mengubah pandangan Merkel tentang PLTN

Namun bencana Fukushima mengubah seluruh pandangan Angela Merkel secara radikal. Hanya tiga hari setelah bencana nuklir Jepang itu, Merkel yang tahun 2011 sudah menjadi Kanselir Jerman mengumumkan, Jerman akan membekukan semua perpanjangan izin masa operasi PLTN setelah "bencana yang tak terbayangkan" di Jepang.

Hanya dalam hitungan minggu, kubu pendukung PLTN di partai-partai konservatif buyar. Angela Merkel kemudian mengumumkan keputusan pemerintahnya untuk meninggalkan PLTN dan mengganti strategi pengadaan listrik di Jerman secara radikal.

Bencana Fukushima menyebabkan keputusan radikal di Jerman itu hampir tidak dipertanyakan oleh siapa pun, kata Jochen Flasbarth, wakil menteri Kementerian Lingkungan Hidup Jerman. Dia menyebutnya sebagai "salah satu kontribusi terbesar untuk pembangunan konsensus dalam sejarah pascaperang Jerman."

Tiga bulan kemudian, parlemen Jerman menetapkan untuk menghapus pemasokan listrik energi atom pada akhir tahun 2022.

Tenaga nuklir aman dan ramah iklim?

Sejumlah pemerintahan lainnya, seperti Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, tetap menganggap pebangkit listrik energi nuklir dengan emisi CO2 yang rendah adalah instrumen utama untuk memperlambat perubahan iklim, karena itu bersikeras untuk mempertahankan atau bahkan mengembangkannya.

Tetapi gagasan bahwa energi nuklir dapat membantu iklim adalah "ilusi", kata Jochen Flasbarth. Karena energi nuklir saat ini hanya menghasilkan sekitar 5% dari pasokan energi dunia. Selain itu, tambahnya, energi nuklir tidak dapat bersaing secara ekonomis dengan energi matahari atau energi angin. Mahalnya biaya penanggulangan kecelakaan rekator Chernobyl atau Fukushima adalah pelajaran baik. "Energi terbarukan akan menjadi lebih murah dan lebih murah lagi, sementara energi nuklir menjadi semakin mahal," dia menjelaskan.

Jochen Flasbarth juga hanya melihat sedikit peluang bagi energi nuklir untuk membuat terobosan baru: "Bagaimana itu bisa berhasil di negara berkembang, ketika bahkan negara-negara industri maju dengan teknologi mutakhir saja mengalami kesulitan?, tanya dia. Selain masalah keamanan, pembangunan reaktor nuklir juga perlu waktu lama dengan biaya yang sangat besar, sementara untuk limbah atomnya belum ditemukan solusi final yang memuaskan.

(hp/as) 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait