Pilkada DKI tuntas. Ahok kalah telak dari Anies. Kita berharap gubernur mendatang dapat melanjutkan segala hal baik yang telah dilakukan Ahok dan menunaikan janji-janji manisnya selama masa kampanye. Opini Anton Kurnia.
Iklan
Delapan puluh tahun silam Jorge Luis Borges, pengarang terkemuka Argentina, menulis dalam "A Pedagogy of Hatred” bahwa "unjuk kebencian itu lebih tak senonoh ketimbang perilaku eksibisionisme” dan menandaskan bahwa "mengajarkan kebencian adalah kejahatan”. Tulisan itu adalah respons keras Borges atas politik anti-Yahudi yang diamalkan Nazi di Jerman.
Sejarah mencatat Hitler naik ke tampuk kekuasaan dengan memanfaatkan pedagogy of hatred ini. Kita tahu ia kemudian membuat kerusakan parah dalam sejarah: memicu Perang Dunia Kedua yang menyebabkan jutaan orang terbunuh dan melakukan holocaust dengan membantai jutaan orang Yahudi.
Apa yang ditulis Borges sepuluh windu lalu itu menjadi relevan saat ini di negeri kita sendiri. Kita sedih dan ngeri melihat belakangan ini unjuk kebencian dan ajakan untuk membenci marak di mana-mana. Perbedaan agama, perbedaan ras, dan perbedaan pandangan politik menjadi pemicu. Utamanya dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang pada ujungnya menyisakan dua kandidat: gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang double minority karena dia keturunan Tionghoa dan Kristen (berpasangan dengan Djarot Syaiful Hidayat) serta Anies Rasyid Baswedan yang muslim (berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno).
Politik Sektarian dan Kampanye Hitam
Dalam novel Salman Rushdie, Harun dan Samudra Dongeng, ada adegan karikatural saat Rasyid Khalifa si pendongeng ulung diminta sebuah partai politik untuk meramaikan kampanye mereka.
"Musuh-musuhku menyewa orang-orang murahan untuk menjejali telinga orang dengan cerita-cerita buruk tentang diriku dan orang-orang ceroboh itu menelannya mentah-mentah seperti susu. Untuk alasan ini aku berpaling kepadamu, Tuan Rasyid. Anda akan menceritakan kisah-kisah bahagia, kisah pujian, dan orang-orang akan memercayaimu, merasa bahagia, dan kemudian memilihku,” ujar sang politisi yang mencoba merayu Rasyid agar mau berkampanye untuk dia.
Inilah Suasana Pilkada DKI Jakarta
00:35
Begitulah. Bagi para politisi haus kekuasaan yang penting adalah perolehan suara sebanyak-banyaknya demi mendapatkan kursi. Bukan demi kepentingan rakyat banyak. Apalagi demi cita-cita mulia memperbaiki masa depan bersama yang adil sejahtera melalui program-program terencana yang berkesinambungan.
Lebih buruk lagi, semua itu kerap dilakukan dengan cara-cara kotor yang menghalalkan segala cara: berdusta, menipu, memberi janji kosong dan angin surga, atau pencitraan palsu. Setelah mereka terpilih, bagaimana nanti saja soal janji-janji itu, bukan?
Di sini, dalam gebalau pilkada DKI, kita melihat kampanye hitam semacam itu dimainkan. Kita menyaksikan betapa politik sektarian yang kotor digunakan. Kebencian disebarkan. Fitnah dan hoax merebak. Akibatnya konflik horizontal antara para pedukung paslon gubernur tak terhindarkan—utamanya melalui media sosial.
Sentimen anti-Tionghoa seiring dengan tuduhan Ahok sebagai "penista agama” diembus-embuskan secara masif: massa umat Islam dihasut dan dimobilisasi agar menolak gubernur "penista agama” yang "bukan pribumi” dan "berkewajiban” memilih "gubernur muslim”, sejumlah masjid dipasangi spanduk yang isinya menolak menyalatkan jenazah orang muslim yang memilih "penista agama” sebagai gubernur, bahkan khotbah Jumat pun dijadikan sarana untuk berkampanye penuh hasutan. Islam yang seharusnya menjadi rahmat bagi alam semesta digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik sesaat yang sesat.
Di sisi lain, banyak pihak mengakui bahwa Ahok yang sudah bekerja sebagai gubernur selama dua tahun telah melakukan banyak hal baik yang mengubah wajah Jakarta, di antaranya penataan ruang publik yang lebih baik—termasuk menyulap sungai-sungai di Jakarta yang semula penuh sampah menjadi jauh lebih bersih—serta menegakkan sikap antikorupsi dan transparansi di kalangan birokrasi. Sebelum isu sektarian menjelang pilkada ini diembus-embuskan, sebuah lembaga survei terkemuka menyatakan bahwa 60% warga Jakarta puas akan kinerja Ahok sebagai gubernur.
Memang Ahok punya kelemahan fatal. Dia tipe orang yang meledak-ledak dan sulit mengontrol emosi, termasuk kepada bawahan sendiri. Selain itu, oleh sebagian kalangan dia dikritik karena melakukan penggusuran terhadap warga dan terkesan mendukung reklamasi pantai Utara Jakarta—dua hal yang amat tidak populer bagi kalangan aktivis prorakyat.
Wara Wiri Gubernur Petahana
Meski segudang prestasi, gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta banyak mendulang kontroversi. Ini sejumlah skandal yang digunakan musuh politiknya untuk menohok bekas Bupati Belitung Timur tersebut
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
Pro dan Kontra
Gayanya yang blak-blakan dan terbuka kerap memicu perang mulut dengan sejumlah politisi atau pejabat di Jakarta. Ahok yang mengincar kursi DKI 1 pada Pilkada 2017 harus menghadapi sejumlah skandal untuk bisa melanjutkan masa jabatannya. Mampukah musuh-musuh politiknya menjungkalkan Ahok?
Foto: picture-alliance/epa/B. Indahono
Singkat Kata Penistaan Agama
Berawal dari pidatonya di Pulau Seribu ihwal politisasi surat Al-Maidah 51, Ahok kini berseteru dengan kelompok Islam konservatif yang digalang FPI buat mencari keadilan di depan meja hijau. Polemik penistaan agama menjadi bola liar pada pilkada, lantaran dampaknya pada elektabilitas yang dinamis dan sulit diukur. Sidang kasus penodaan agama menjadi batu sandungan terbesar ahok menuju kursi DKI 1
Foto: Reuters/B. Indahono/Pool
Reklamasi Sarat Kontroversi
Simpang siur soal kewenangan pemberian izin reklamasi pantai utara Jakarta adalah batu sandungan terbesar buat Ahok jelang Pilkada 2017. Sang gubernur diyakini menyalahi aturan soal pemberian izin. Proyek raksasa tersebut akhirnya ditunda setelah pemerintah turun tangan. KPK menangkap anggota DPRD DKI Sanusi dan Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, atas dugaan kasus suap reklamasi.
Foto: Fotolia/aseph
Sumber Waras Tanah Bertulah
Berawal dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, pembelian lahan di rumah sakit Sumber Waras memicu kontroversi karena diindikasikan sarat korupsi. Kasusnya hingga ditangani KPK. Negara ditengarai merugi sekitar 191 miliar Rupiah lantaran pembengkakan harga tanah. Tapi pemerintah daerah DKI meragukan keabsahan audit BPK karena dinilai menghitung harga tanah di jalan yang salah.
Foto: Gacad/AFP/Getty Images
Tumbang Luar Batang
Dengan rencana menata kampung Luar Batang dan Pasar Ikan di Jakarta Utara untuk dijadikan Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa, Ahok menggusur rumah penduduk yang berdiri di atas tanah ilegal. Penggusuran itu mendulang kritik karena dinilai merugikan kaum miskin. Pemda DKI berkilah telah menyediakan rumah susun yang lebih layak untuk penduduk Luar Batang.
Foto: Reuters/Beawiharta
Darah Kurban di Jalur Hijau
Menjelang hari raya Idul Adha ratusan massa Front Pembela Islam menyantroni Gedung DPRD DKI Jakarta. Mereka mengecam Ahok karena telah melarang penyembelihan dan penjualan hewan kurban. Pemda DKI sebaliknya mengatakan cuma menjalankan peraturan daerah yang melarang penjualan hewan kurban di jalur hijau.
Foto: Reuters/Darren Whiteside
Geger Kalijodo
Selama berpuluh tahun Kalijodo dibiarkan menjadi sarang prostitusi gelap. Ahok nekad menggusur kawasan tersebut untuk dijadikan jalur hijau. Langkah pemda DKI disambut gugatan di PTUN oleh sejumlah tokoh masyarakat Kalijodo. Ahok juga dikritik lantaran menyertakan 1000 tentara dan polisi untuk mengawal penggusuran. Kisruh langsung mereda setelah penggusuran berakhir.
Foto: Imago/Xinhua
Kisruh Bantar Gebang
Berawal dari keluhan DPRD Bekasi soal sampah Jakarta, kisruh seputar TPS Bantar Gebang kembali bergulir. Ahok sebaliknya menuding pengelola TPS, PT. Godang Tua wanprestasi. Hasilnya truk-truk sampah DKI dihadang massa tak dikenal. Ahok pun bentrok dengan DPRD. Kisruh berakhir setelah Presiden Joko Widodo turun tangan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Anggaran Siluman
Akhir 2014 Ahok murka lantaran menemukan dana siluman sebesar 8,8 trilyun dalam rancangan APBD 2015 yang telah digodok DPRD DKI. Setelah coret sana-sini, APBD kembali diserahkan kepada parlemen untuk dibahas. Namun DPRD memilih berpolemik karena merasa tudingan Ahok soal adanya indikasi mafia anggaran tidak berdasar. APBD DKI akhirnya baru disahkan bulan Februari dengan menggunakan pagu ABPD 2014.
Foto: Imago
9 foto1 | 9
Tenun Kebangsaan yang Koyak-moyak
Pada 19 April 2017 lalu pilkada DKI telah dituntaskan. Hasilnya kita sudah tahu sama tahu. Menurut hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei, Ahok kalah telak dari Anies dengan perolehan suara kurang lebih 42% berbanding 58%.
Bagaimanapun warga Jakarta telah memilih. Tentu saja kita berharap Anies sebagai gubernur mendatang dapat melanjutkan segala hal baik yang telah dilakukan Ahok dan menunaikan janji-janji manisnya selama masa kampanye, terutama soal penyediaan perumahan bagi warga dan lapangan pekerjaan yang menjamin kesejahteraan bersama. Namun, yang tak kalah penting adalah kewajiban moral memperbaiki kerusakan tatanan sosial yang menjadi dampak buruk kampanye pilkada selama berbulan-bulan.
Begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh gubernur baru yang akan mulai bertugas Oktober mendatang untuk memperbaiki—meminjam istilah yang kerap didengungkan Anies sendiri—"tenun kebangsaan” yang apa boleh buat kini telah koyak-moyak akibat pilkada yang diracuni politik sektarian yang anti-keberagaman dan intoleran.
Saya mungkin agak naif dan sentimental dalam hal ini, tapi saya kira kekalahan Ahok—seorang minoritas yang sesungguhnya telah bekerja dengan baik meski belum sempurna—adalah kehilangan bagi kita semua yang masih percaya pada prinsip keadilan di mana setiap orang bisa menjadi apa saja selama dia mampu dan mau bekerja keras tanpa memandang ras, etnis, atau agamanya.
Anton Kurnia, penulis, buku terbarunya yang akan segera terbit adalah Dalam Bayangan Bendera Merah: Sejumlah Catatan dan Esai Budaya.
@AntonKurnia9
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
7 Fakta Pilkada 2017
Pilkada Jakarta menjadi salah satu pertempuran politik panas dalam era demokratisasi di tanah air. Pertarungan untuk memimpin kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa itu memicu ketegangan politik.
Gubernur petahana ini mengambil alih kepemimpinan Jakarta tahun 2014, setelah Joko Widodo memenangkan kursi kepresidenan.Di era reformasi, ia jadi gubernur Jakarta pertama beretnis Cina-beragama Kristen. Saat proses Pilkada berjalan, ia tersandung kasus dugaan penistaan agama. Komitmen Ahok termasuk penganggulangan banjir kronis, mengatasi kemacetan lalu lintas & meningkatkan kinerja birokrasi.
Foto: Reuters/Antara Foto/H. Mubarak
Dari militer ke politik: Agus H. Yudhoyono
Dia adalah putra tertua mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pensiun dari militer pada usia 38 tahun dan ingin menjadi gubernur. Dia didukung oleh Partai Demokrat dan beberapa partai-partai Islam. Kampanye Agus yang didampingi Sylviana Murni berfokus pada peningkatan kehidupan kaum miskin Jakarta dan berjanji menyokong dana tunai untuk keluarga berpenghasilan rendah.
Foto: Reuters/Antara Foto/R. Esnir
Calon akademisi: Anies Baswedan
Baswedan, 47, adalah mantan menteri pendidikan di pemerintah Joko Widodo.Dia didukung oleh Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo Subianto. Kampanye Anies Baswedan dan pasangannya pengusaha Sandiaga Uno berfokus pada peningkatan pendidikan publik dan memerangi tingginya biaya hidup di ibukota.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
Proses voting di Jakarta
Hasil resmi pemungutan suara diperkirakan akan diumumkan 08-10 April 2017. Jika tidak ada kandidat mencapai suara mayoritas di babak pertama, maka dua kandidat yang mengamankan suara terbanyak akan kembali bersaing di putaran kedua. Kandidat yang tidak puas dengan hasil pemilu dapat membawa sengketa hasil pemungutan suara ke Mahkamah Konstitusi.
Foto: Reuters
Situasi khusus
Jika Ahok memenangkan pemilihan di Jakarta tapi divonis bersalah di pengadilan untuk kasus hukum dugaaan penistaan agama, maka ia masih diperbolehkan tetap menjabat sebagai gubernur selama proses banding masih berlangsung.
Foto: picture alliance / dpa
Fokus KPU: ancaman keras bagi politik uang
Dalam UU Pilkada diatur: "Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, gunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara jadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam penjara antara 36-72 bulan dan denda Rp.200 juta- 1 milyar.
Foto: Reuters
Bukan hanya di Jakarta
7,1 juta orang terdaftar untuk memilih di Jakarta. Namun, pilkada bukan hanya diadakan di Jakarta. Pilkada serentak diikuti 101 daerah yang tersebar di 31 provinsi. Tujuh provinsi termasuk Jakarta akan memilih gubernur. Di 31 provinsi berlangsung pemilihan walikota dan bupati. Ed: ap/yf (rtr/kpu)