1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Setelah Turki, Kini Saudi Deportasi Warga Uighur ke Cina

27 Januari 2020

Sejumlah negara muslim yang awalnya melindungi pelarian Uighur dari Cina kini berbalik arah dan mendorong agar mereka dideportasi. Motif ekonomi ditengarai sebagai faktor utama, menyusul derasnya investasi Cina.

Seorang warga Uighur berdemonstrasi di Eropa mengenakan topeng bermotif bendera Turkestan Timur.
Seorang warga Uighur berdemonstrasi di Eropa mengenakan topeng bermotif bendera Turkestan Timur.Foto: Getty Images/AFP/E. Bunand

Dengan mata berkaca-kaca seorang mahasiswa Uighur menghadap kedutaan Cina di Riyadh. Paspornya telah melewati masa berlaku. Namun kedutaan menolak memperpanjang dan sebaliknya menawarkan tiket sekali jalan untuk pulang ke kampung halaman.

Perwakilan Cina di Arab Saudi berhenti memperpanjang paspor minoritas muslim Uighur sejak lebih dari dua tahun lalu. Aktivis mengecam kebijakan tersebut merupakan taktik Beijing untuk memaksa kaum diaspora untuk pulang.

Di Riyadh, belasan keluarga Uighur getir menunggu giliran menghadap ke kedutaan. Mereka mengaku tidak ingin kembali ke Cina, di mana lebih dari satu juta warga Uighur dipaksa mendekam di kamp re-edukasi.

"Bahkan binatang saja diwajibkan memiliki pasport," kata seorang mahasiswa Uighur di Madinah dengan paspor yang sudah habis masa berlakunya sejak 2018 silam. "Mereka harus memperpanjang paspor saya atau biarkan saya menukar kewarganegaraan. Mereka membuat kami merasa seperti manusia tidak berharga."

Baca juga:HRW: Beijing Akan Menyebabkan Bencana Hak Asasi Manusia Secara Global 

Dalam sebuah surat yang ditulis sekelompok mahasiswa Uighur kepada kedutaan, mereka mengeluhkan kenapa paspor mahasiswa beretnis Han masih diperpanjang, sementara layanan serupa tidak diizinkan bagi kaum Uighur. "Selama dua tahun kami tidak bisa menghubungi ibu kami, ayah dan saudara kami di Cina. Kami mendengar mereka dipenjara karena kami kuliah di Arab Saudi," tulis para mahasiswa dalam surat tersebut.

Komunitas Uighur kini menghadapi pilihan sulit: pulang ke Cina dan mengambil risiko mendarat di kamp re-edukasi, atau hidup dengan status ilegal di Arab Saudi di bawah ancaman deportasi. 

Kampanye Internasional Anti Uighur

"Menolak perpanjangan paspor adalah bagian dari strategi Cina untuk membuat kaum diaspora keluar dari persembunyiannya dan memaksa mereka pulang ke Cina," kata pakar Uighur asal Norwegia, Abdulweli Ayup.

"Apa yang menanti mereka di Cina adalah kamp tahanan."

Adalah kedekatan Cina dengan pemerintah Riyadh yang membuat gentar kaum Uighur di Arab Saudi. Belum lama ini Pangran Mohammad bin Salman mengisyaratkan Cina bisa menggandakan jejak diplomasinya di Timur Tengah melalui Arab Saudi. Sejak beberapa tahun terakhir kedua negara giat meningkatkan kemitraan dagang, antara lain lewat proyek Jalur Sutra Abad 21 atau One Belt One Road Initiative.

Meski demikian Kedutaan Besar Cina di Riyadh membantah "bekerjasama degan otoritas Arab Saudi untuk mendeportasi etnis Uighur."

Baca juga:Di Mana Posisi Indonesia Terkait Kasus Minoritas Uighur di Cina? 

Pertautan antara Saudi dan Cina mulai menjadi perhatian media ketika negara barat menarik investasinya dari Arab Saudi menyusul pembunuhan terhadap jurnalis AS, Jamal Khashoggi, pada 2018 silam. Putra mahkota yang dituding mendalangi kebiadaban tersebut dihujani kecaman oleh dunia internasional.

Insiden tersebut terjadi saat Saudi sedang bergulat menghadapi proyeksi muram ekonomi lantaran harga minyak yang terus menurun.

Cina membuka lebar keran investasi untuk Riyadh, ketika perusahaan perusahaan raksasa seperti Tesla, Uber, Virgin dan beberapa bank besar layaknya JP Morgan, HSBC atau Standard Charterd, ramai-ramai membatalkan investasi di Arab Saudi. 

Ketidakpastian di Turki

Nasib serupa sudah menghampiri minoritas Uighur yang mencari perlindungan di Turki. Hingga beberapa tahun lalu PM Recep Tayyip Erdogan bersikap kritis terhadap kebjakan Cina di Xinjiang. Dia bahkan menawarkan warga Uighur untuk membangun kampung halaman sendiri di Turki.

Hingga kini Turki masih menampung populasi Uighur terbesar di luar Cina.

Namun sejak negeri di dua benua itu dilanda krisis ekonomi, sikap Ankara terkait Uighur mulai berubah. Dalam kunjungannya ke Beijing Juli 2019 silam, PM Erdogan menyatakan dukungannya terhadap tindak tanduk Cina di Xinjiang di hadapan media pemerintah, lapor Financial Times.

Baca juga: Ancam Anggota Keluarga, Pemerintah Cina Intimidasi Warga Uighur di Luar Negeri

"Kami tahu Cina menekan Turki," kata Seyit Tumturk, Kepala Dewan Nasional Turkestan Timur, kepada harian asal Inggris itu. Turkestan adalah nama negara yang disiapkan warga Uighur jika merdeka.

Sejak tahun lalu sejumlah warga Uighur yang tidak mendapat perpanjangan paspor dari pemerintah Cina dideportasi oleh Turki, termasuk dua perempuan yang hingga kini tidak jelas keberadaannya. Ancaman serupa kini menanti sekitar 2.500 warga Uighur yang tidak memiliki surat izin tinggal di Turki.

rzn/vlz (afp, ft, nyt, scmp)