Ingat peristiwa 27 Juli? Apa yang dicapai PDIP saat ini, tak bisa dilepaskan dari peristiwa berdarah itu. Sebuah titik kulminasi pertentangan antara Soeharto-Jenderal Benny Moerdani. Simak opini Aris Santoso berikut ini
Iklan
Peristiwa 27 Juli 1996 memang sudah lama berlalu. Namun untuk peristiwa dengan magnitude besar, rentang waktu menjadi relatif, karena peristiwa dimaksud akan selalu tersimpan dalam memori bangsa, seperti halnya Peristiwa 1965 dan Kerusuhan Mei 1998.
Khusus untuk Peristiwa 27 Juli, ingatan itu menjadi lebih terang, karena subyek dari peristiwa itu, yaitu PDIP, hari-hari ini sedang menikmati manisnya kekuasaan. Terlebih apa yang dicapai PDIP saat ini, tidak bisa dilepaskan dari peristiwa berdarah tersebut.
Jejak Benny Moerdani
Hampir semua peristiwa besar di tanah air tidak dapat dilepaskan dari konflik internal militer, begitu juga dengan Peristiwa 27 Juli. Peristiwa itu merupakan titik kulminasi pertentangan antara Soeharto dengan Jenderal Benny Moerdani. Untuk operasi di lapangan Presiden Soeharto banyak memanfaatkan kubu ABRI Hijau (di bawah Jenderal Feisal Tanjung, Akmil 1961), sesuai kedekatan Soeharto dengan ICMI.
Kebetulan pada saat itu kondisi moril Soeharto sedang limbung, sekitar tiga bulan sebelumnya, istrinya terkasih (Ibu Tien) baru saja meninggal dunia. Sudah menjadi pengetahuan umum, Ibu Tien berperan besar di belakang Soeharto dalam mengelola kekuasaan. Beban psikologis Soeharto tersebut sudah tentu terbaca oleh kubu Benny.
Dukungan Jenderal Benny Moerdani terhadap figur Megawati telah dirintis sejak tahun 1987, ketika Megawati tampil sebagai juru kampanye andalan PDI (belum memakai label Perjuangan), menjelang Pemilu 1987. Ketika posisi Benny surut ke belakang, dukungan terhadap Megawati kemudian dilanjutkan oleh anak didiknya, seperti Jenderal Hendro Priyono (Akmil 1967) dan Jenderal Agum Gumelar (Akmil 1968).
Bahkan figur Hendro Priyono masih berperan hingga sekarang. Saat tulisan ini disusun, dua orang dekat Hendro, yaitu Komjen Pol (Purn) Gories Mere dan Diaz Hendro Priyono (anak Hendro Priyono), baru saja diangkat sebagai staf khusus Presiden.
Bagi kubu Benny sendiri, peristiwa 27 Juli itu sendiri bisa dianggap “investasi politik”. Karena mereka baru dapat memetik hasilnya jauh di kemudian hari, saat Soeharto (dan Habibie) benar-benar jatuh. Sementara yang memperoleh manfaat langsung adalah Jenderal Wiranto (Akmil 1968), sesaat setelah peristiwa Wiranto menjadi KSAD, menggantikan Hartono (Akmil 1962). Wiranto bisa mulus menjadi KSAD, karena kandidat yang lain, yaitu Letjen Suyono (Akmil 1965) telah tersingkir pasca Peristiwa 27 Juli.
Sungguh skenario politik yang canggih, dan juga rumit. Maknanya baru bisa kita baca sekian tahun seletah peristiwa berlalu. Bagaimana kubu Benny bisa mengendalikan konflik yang melibatkan tiga jenderal dalam lingkaran Soeharto sendiri. Tanpa ada kepastian manfaat jangka pendek apa yang bakal mereka terima. Namun kini terbukti, hubungan antara kubu Benny (melalui Hendro Priyono dan Luhut Panjaitan) dengan Megawati (termasuk Jokowi dan PDIP), seolah sudah tak terpisahkan lagi. Dan tak seorang pun yang tahu, bagaimana ujung dari kemesraan ini.
Mesin Uang Gurita Cendana
Keserakahan keluarga Cendana nyaris membuat Indonesia bangkrut. Oleh banyak pihak keluarga Suharto disebut mengantongi kekayaan sebesar 200 triliun Rupiah. Inilah jurus gurita cendana mengeruk duit haram dari kas negara:
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Gurita Harta
Suharto punya cara lihai mendulang harta haram. Ia mendirikan yayasan untuk berbinis dan mendeklarasikannya sebagai lembaga sosial agar terbebas dari pajak. Dengan cara itu ia mencaplok perusahaan-perusahaan mapan yang bergerak di bisnis strategis, seperti perbankan, konstruksi dan makanan. Menurut majalah Time, Suharto menguasai 3.6 juta hektar lahan, termasuk 40% wilayah Timor Leste
Foto: AP
Yayasan Siluman
Tidak hanya menghindari pajak, yayasan milik keluarga Cendana juga mendulang rejeki lewat dana sumbangan paksaan. Cara-cara semacam itu tertuang dalam berbagai keputusan presiden, antara lain Keppres No. 92/1996 yang mewajibkan perusahaan atau perorangan menyetor duit sebesar 2% dari penghasilan tahunan. Dana yang didaulat untuk keluarga miskin itu disetor ke berbagai yayasan Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Bisnis Terselubung
Bekas Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro pernah menganalisa laporan keuangan ke empat yayasan terbesar Suharto. "Yayasan ini dibentuk untuk kegiatan sosial," tuturnya. "Tapi Suharto menggunakannya untuk memindahkan uang ke anak dan kroninya." Soedjono menemukan, Yayasan Supersemar menggunakan 84% dananya untuk keperluan bisnis, semisal pinjaman lunak kepada perusahaan yang dimiliki anak dan kroninya
Foto: picture alliance/dpa/A. Lolong
Lewat Kartel dan Monopoli
Cara lain yang gemar ditempuh Suharto untuk menggerakkan mesin uang Cendana adalah melalui monopoli. Teman dekatnya, The Kian Seng alias Bob Hasan, misalnya memimpin kartel kayu lewat Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO). Pengusaha yang kemudian dijebloskan ke penjara itu sering disebut sebagai ATM hidup keluarga cendana.
Foto: Getty Images/AFP/Firman
Bisnis Tepung Paman Liem
Taipan lain yang juga menjadi roda uang Cendana adalah Sudomo Salim alias Liem Sioe Liong. Sejak tahun 1969 pengusaha kelahiran Cina itu sudah mengantongi monopoli bisnis tepung lewat PT. Bogasari. Dari situ ia membangun imperium bisnis makanan berupa Indofood. Pria yang biasa disapa "Paman Liem" ini juga menjadi mentor bisnis buat putra putri Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Uang Minyak
Bukan rahasia lagi jika Pertamina pada era Suharto menjelma menjadi dompet raksasa keluarga Cendana. Sejak awal sang diktatur sudah menempatkan orang kepercayaannya, Ibnu Sutowo, buat memimpin perusahaan pelat merah tersebut. Sutowo kemudian memberikan kesaksian kepada majalah Time, tahun 1976 ia dipaksa menjual minyak ke Jepang dan menilap 0,10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak yang diekspor.
Foto: picture-alliance/dpa
Pewaris Tahta Cendana
Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sejak awal sudah diusung sebagai pewaris tahta Cendana. Putri tertua Suharto ini tidak cuma menguasai puluhan ribu hektar lahan sawit, stasiun televisi TPI dan 14% saham di Bank Central Asia, tetapi juga memanen harta tak terhingga lewat jalan tol. Hingga 1998 kekayaannya ditaksir mencapai 4,5 triliun Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Merajalela Lewat Bulog
Dari semua putera Suharto, Bambang adalah satu-satunya yang paling banyak berurusan dengan Liem Sioe Liong. Setelah mendirikan Bimantara Grup, Bambang terjun ke bisnis impor pangan lewat Badan Urusan Logistik yang saat itu didominasi Liem. Menurut catatan Tempo, selama 18 tahun kroni Suharto mengimpor bahan pangan lewat Bulog senilai 5 miliar Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Duit Cengkeh untuk Tommy
Melalui monopoli Hutomo Mandala Putra meraup kekayaan hingga 5 triliun Rupiah. Tahun 1996 ia mendapat status pelopor mobil nasional dan berhak mengimpor barang mewah dan suku cadang tanpa dikenai pajak. Selain itu Tommy juga menguasai Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang memonopoli penjualan dari petani ke produsen rokok. BPPC ditengarai banyak membuat petani cengkeh bangkrut.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Akhir Pahit Diktatur Tamak
Secara lihai Suharto membajak pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan keluarga. Menurut Bank Dunia, antara 1988 hingga 1996, Indonesia menerima investasi asing senilai USD130 miliar. Tapi struktur perekonomian yang dibuat untuk memperkaya kroni Cendana justru menyeret Indonesia dalam krisis ekonomi dan mengakhiri kekuasaan sang jendral. (rzn/yf: economist, times, bloomberg, bbc, kompas, tempo)
Foto: Gemeinfrei
10 foto1 | 10
Kedekatan Megawati dan Letjen Sutiyoso (Akmil 1968), juga bisa dipahami dalam konteks ini. Sutiyoso yang menjabat Pangdam Jaya saat peristiwa 27 July terjadi, justru memperoleh dukungan Megawati saat maju lagi sebagai Gubernur Jakarta (2002). Sutiyoso adalah bagian dari lingkaran Benny Moerdani. Tahun 1974 Sutiyoso sudah terlibat dalam Operasi Flamboyan di Timor Leste, yang dikendalikan langsung Benny Moerdani. Komandan Operasi Flamboyan adalah Brigjen Dading Kalbuadi, teman dekat Benny sejak lama.
Soal Wiranto yang belum firm. Posisinya seolah di “perbatasan” antara lingkaran Cendana dan kelompok Benny. Bila dihubungkan dengan kondisi sekarang, hal itu tampak ketika Wiranto hanya memperoleh bagian yang terbatas dalam alokasi kekuasaan. Menteri yang diusung Partai Hanura (pimpinan Wiranto), selalu masuk daftar yang bakal dikorbankan bila isu soal perombakan kabinet merebak.
Pesona Kekuasaan
Sampai sekarang belum jelas benar, mengapa pihak PDIP seolah ingin melupakan peristiwa tersebut. Padahal peristiwa itu merupakan modalitas awal bagi PDIP dalam meraih kejayaannya hari ini.
Salah satunya kemungkinannya adalah, disebabkan PDIP sudah memperoleh kompensasi (baca: kehormatan) yang berlebih sebagai dampak Peristiwa 27 Juli, sehingga peristiwa itu tidak relevan lagi untuk diingat. Bukankah sudah jamak dalam masyarakat kita, kekuasaan dan lingkungan yang berganti menjadikan seseorang mudah dihinggapi amnesia sejarah.
Bagi PDIP saat ini, tentu lebih memicu andrenalin mengelola kekuasaan, ketimbang memikirkan hal-hal sentimentil terkait Peristiwa 27 Juli. PDIP sedang sibuk memikirkan bagaimana skema paling menguntungkan sehubungan majunya kembali Ahok sebagai Gubernur Jakarta.
Kembalikan Wiji Thukul
Hingga kini ia tak diketahui rimbanya. Wiji Thukul, sastrawan yang giat menyuarakan kaum tertindas, hilang ketika penculikan terhadap para aktivis terjadi antara 1996-1998. Yaitu menjelang runtuhnya Orde Baru.
Foto: Wahyu Susilo
Mencintai puisi sejak kecil
Sastrawan dan aktivis yang melawan penindasan rezim Orde Baru ini lahir di Solo, 26 Agustus 1963. Ia mencintai puisi sejak kecil. Anak tukang becak ini menjadi buruh plitur, ngamen puisi dan mengalah putus sekolah demi pendidikan adik-adiknya.
Foto: Wahyu Susilo
Menyuarakan orang pinggiran
Di tengah kesulitan keuangan ia tetap giat menelurkan karya-karya puisi dan berteater di Sarang Teater Jagat. Ia juga mengajar anak-anak kecil melukis di Sanggar Suka Banjir dan menyuarakan nasib orang kecil dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat JAKKER.
Foto: Wahyu Susilo
Dengan puisi melawan penindasan
Foto ini diambil ketika Wiji Thukul latihan teater di Sarang Teater Jagat, Jagalan, Solo tahun 1987. Salah satu petikan puisi Wiji berjudul PENYAIR: " Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding.. Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!"
Foto: Wahyu Susilo
Dianiaya ketika membela kaum tertindas
1992 ia memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. 1994 dalam aksi petanidi Ngawi, Jawa Timur, Thukul dipukuli tentara. Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) selalu mendukung perjuangan suaminya.
Foto: Wahyu Susilo
Tanpa jejak
Pasca peristiwa 27 Juli 1996, jelang kejatuhan Soeharto tahun 1998, dia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Di masa itu ia tetap berkarya. Pada masa tersebut sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan dihilangkan secara paksa, termasuk Thukul. Sekitar bulan Maret-April 1998 jejaknya tak lagi diketahui. Tuduhan ia menyulut kerusuhan dlam peristiwa 27 Juli 1996 tak pernah terbukti.
Foto: Wahyu Susilo
Puisinya tetap abadi
Sajak-sajak Wiji Thukul populer di kalangan aksi massa. Di antaranya: Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok. Tanpa henti, puisinya selalu menggambarkan perjuangan kaum tertindas. Kumpulan puisinya dibukukan. Puisi nyanyian akar rumput melambangkan dendang para rakyat yang tidak terima dengan perlakuan pemerintahan yang tirani.
Foto: Wahyu Susilo
Keabadian dalam Sajak
Apa Guna: “Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah Kongkalikong dengan kaum cukong” (Wiji Thukul) Gambar: wijithukul.tk/BarisanPengingat
Foto: Barisan Pengingat / Wahyu Susilo
Janji Jokowi
Sebelum menjadi presiden, Joko Widodo menyatakan, baik hidup atau meninggal dunia, kejelasan nasib Wiji Thukul harus menjadi perhatian pemerintah. Dalam kunjungannya ke Eropa, April 2016, Jokowi berujar, pemerintah masih mendalami kasus pelanggaran HAM berat, termasuk di antaranya penghilangan aktivis 1997-1988.
Foto: DW/R.Nugraha
Perjuangan tiada akhir
Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) tak kenal lelah mencari keadilan, setelaah suaminya dihilangkan secara paksa. Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah. Hingga kini Sipon, keluarga dan kawan-kawannya masih terus berjuang mencarinya. Kembalikan Wiji Thukul.
Foto: Wahyu Susilo
9 foto1 | 9
PDIP sempat salah langkah, sehingga sampai perlu memanfaatkan organisasi satelitnya, yaitu relawan Jokowi, untuk menghambat laju Ahok.
Kemudian pada level yang lebih tinggi, Megawati masih memosisikan diri sebagai King (atau Queen) Maker, yang tidak senantiasa mulus dalam berhubungan dengan Presiden Jokowi. Dalam titik ini, Jokowi di-backup Hendro Priyono dan Luhut Panjaitan, agar tidak terlalu direpotkan oleh kehendak Megawati. Lagi-lagi kelompok Benny mengambil peran.
Dari observasi lapangan, kita bisa melihat hampir tidak ada bedanya antara PDIP dengan parpol lainnya, dalam merespons kekuasaan. Tidak ada hal baru yang ditawarkan PDIP, dalam etika dan perilaku anggotanya, dalam mengelola kekuasaan. PDIP sekadar menjalani kebiasaan yang sudah berlaku selama ini: the winner take it all.
Sementara soal komitmen pada wong cilik, hati kecil saya berkata, walau bagaimana pun partai ini masih bisa diharapkan. Dalam beberapa kali pembicaraan informal dengan eksponen PDIP, mereka masih nyambung bila diajak bicara soal tokoh kiri semacam Tan Malaka, Sutan Sjahrir (mantan Perdana Menteri), atau Amir Sjarifuddin (mantan Perdana Menteri yang terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948). Sesuatu yang sulit terjadi bila berjumpa dengan kader partai politik lain.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi di lembaga HAM Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.