1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PanoramaJerman

Setop Ritual Pukul Pantat Perempuan dengan Tanduk Sapi

3 Desember 2024

Penduduk Pulau Borkum di Laut Utara Jerman akan menghentikan tradisi Festival Klaasohm di mana para pemuda memukul pantat perempuan dengan tanduk sapi.

Festival Klaasohm
Gambar ilustrasi tradisi yang dikritik karena menggunakan kekerasan pada perempuanFoto: Reinhold Grigoleit/dpa/picture alliance

Kebanyakan orang di Jerman mengasosiasikan perayaan Santo Nikolas atau di Indonesia disebut Sinterklas dengan tradisi yang tidak berbahaya: Misalnya, anak-anak meninggalkan sepatu mereka yang sudah dibersihkan di samping pintu depan rumah pada malam tanggal 5 Desember, dan keesokan paginya, mereka berharap menemukan sepatu mereka terisi penuh dengan hadiah dan kudapan kecil yang dibawa oleh Santo Nikolas.

Namun, ada beberapa daerah di Jerman, seperti di Bayern, di mana karakter yang mirip Sinterklas itu memiliki sahabat karib yang jahat bernama Krampus. Setan berbulu itu memiliki nama yang berbeda-beda menurut daerahnya, dan merupakan bagian dari perayaan rakyat yang melibatkan kostum dan prosesi yang menakutkan.

Ada pula Festival "Klaasohm" - tradisi perayaan Santo Nikolas tahunan pada malam tanggal 5 Desember di Pulau Borkum di Laut Utara, yang berpenduduk lebih dari 5.000 jiwa.

Festival ini menjadi sorotan di Jerman setelah tayangan sebuah laporan video dari lembaga penyiaran publik NDR.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Dalam cerita tersebut, dua reporter pria mencoba merekam perayaan tersebut pada tahun 2023.

Dengan menggunakan ponsel, mereka dengan mudah merekam perayaan siang hari, saat masyarakat berkumpul di sekitar pria muda yang belum menikah mengenakan kostum tradisional Klaasohm, berupa topeng yang terbuat dari dengan kulit domba dan bulu burung.

Kemudian, para Klaasohm dari berbagai usia saling menantang dalam semacam pertandingan gulat. Acara ini diperuntukkan bagi penduduk pulau, jadi wisatawan atau reporter sebenarnya tidak diperbolehkan menontonnya.

Pesta berlanjut hingga malam. Para reporter secara diam-diam merekam sekelompok orang yang disebut "penangkap" saat mereka mengejar perempuan, menahan mereka, sementara para Klaasohm memukul pantat mereka dengan tanduk sapi. Orang-orang di sekitar mereka, termasuk anak-anak, bersorak sorai ketika seorang perempuan dipukul.

Kesaksian secara anonim karena takut konsekuensinya

Laporan NDR memuat wawancara anonim dengan tiga perempuan dan seorang mantan penduduk laki-laki di pulau tersebut yang telah berpartisipasi dalam ritual tersebut dan kini mengecamnya.

Para perempuan tersebut menjelaskan, saat masih kanak-kanak, mereka dibesarkan dengan keyakinan bahwa itu adalah permainan petak umpet yang mengasyikkan dan merupakan bagian dari identitas bersama penduduk pulau. Itulah sebabnya mereka dengan sukarela ambil bagian dalam ritual tersebut saat remaja — tetapi itu berakhir menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan. 

Bahkan pemuda yang telah meninggalkan Borkum masih merasa dan tidak dapat menunjukkan wajahnya di depan kamera, karena takut kritik apa pun terhadap ritual tersebut, dapat mengakibatkan konsekuensi negatif bagi keluarganya.

"Di Borkum, jika Anda berbicara terbuka tentang keinginan untuk menghentikan ini, Anda akan diberi tahu bahwa Anda tidak memahami festival tersebut, bahwa Anda tidak menghormati tradisi tersebut dan bahwa Anda entah bagaimana tunduk pada tekanan dari luar (pulau)," katanya.

Para reporter NDR meminta penduduk pulau untuk mengomentari ritual tersebut. Banyak di antara mereka yang awalnya setuju untuk berbicara, tapi kemudian bersikeras agar komentar mereka dihapus dari laporan sebelum disiarkan.

"Penting bagi kaum pria"?

Berbicara bebas di depan kamera, seorang wanita tua mengingat dipukuli di masa mudanya selama festival. Dia mengatakan bahwa dia sama sekali tidak pernah menyukai ritual tersebut.

Ketika ditanya mengapa hal itu begitu penting bagi orang-orang di Borkum, dia menjawab, "Penting bagi kaum pria."

"Orang-orang Borkum tumbuh seperti itu dan memang begitulah adanya. Ini murni hari kaum pria. Jadi Anda perlu bertanya kepada kaum pria, lihat apa yang mereka katakan tentang hal itu," tambahnya.

Seorang pria menertawakannya sebagai kesenangan yang tidak berbahaya, menjelaskan bahwa "ketika mereka (para pria muda) melihat seorang wanita, mereka memukulinya sedikit dengan tanduk sapi," menambahkan bahwa "itu tidak benar-benar kekerasan."

Namun, narasumber anonim tersebut mengatakan, ritual pemukulan tersebut membuat mereka memar dan kesakitan selama beberapa hari. Mantan penduduk pulau tersebut bercerita bahwa pria sebenarnya akan merasa bangga jika seorang perempuan tidak dapat duduk selama lima atau enam hari setelah dipukul.

Dunia Fantasi Musim Dingin di Tepi Danau Jenewa

03:40

This browser does not support the video element.

Penyelenggara festival, serta polisi dan wali kota Borkum, semuanya menolak untuk diwawancarai oleh wartawan NDR. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa semua liputan media sosial tentang acara tersebut tidak dianjurkan untuk menghindari terungkapnya identitas Klaasohm.

Pihak berwenang mengatakan pemukulan terhadap perempuan bukan lagi bagian dari festival.

Menghadapi reaksi marah yang dipicu oleh laporan tersebut, pihak berwenang Borkum mengakui dalam sebuah pernyataan bahwa menghindari media adalah sebuah kesalahan.

"Kami menyadari bahwa laporan tersebut, yang menggambarkan gambaran festival yang menyimpang dan berisi banyak ketidakakuratan jurnalistik, adalah hasil dari penolakan kami terhadap semua permintaan mereka," kata ketua Asosiasi Borkumer Jungens e.V. 1830, yang bertanggung jawab untuk melaksanakan tradisi Klaasohm.

Asosiasi tersebut mengakui, tradisi tersebut dapat dianggap kontroversial saat ini. Pemukulan dengan tanduk sapi merupakan bagian dari tradisi di masa lalu "dan dalam beberapa kasus dalam beberapa tahun terakhir," ungkap mereka dalam pernyataan pers. "Kami secara tegas menjauhkan diri dari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan meminta maaf atas tindakan yang berdasarkan sejarah pada tahun-tahun sebelumnya."

"Kami sebagai komunitas telah dengan jelas memutuskan untuk meninggalkan aspek tradisi ini di belakang kami," tambah asosiasi tersebut. Sebaliknya, mereka ingin "terus berfokus pada apa yang inti festival ini: Solidaritas penduduk pulau."

Demikian pula, polisi mengadopsi "kebijakan tanpa toleransi," kata juru bicara polisi. "Kekerasan tidak akan diterima." 

Pada hari Minggu (01/12), sekitar 150 hingga 200 perempuan dari Borkum berdemonstrasi untuk melestarikan ritual Santo Nikolas yang kontroversial.

Jurnalis NDR menunjukkan dalam laporan mereka bahwa kritik media dapat ditangani secara lebih terbuka, dengan menunjukkan contoh Pawai Krampus di Austria.

Menurut tradisi, orang-orang yang berpakaian seperti tokoh jahat mencambuk penonton prosesi dengan menggunakan batang kayu birch.

Pawai yang dipicu oleh alkohol dan energi kolektif anarkis ini telah menjadi berita utama dalam beberapa tahun terakhir karena kekerasan dan peserta yang terluka.

Kini keamanan di sekitar acara Austria diperketat, dengan tempat aman bagi mereka yang tidak ingin dipukul, dan nomor ditetapkan untuk setiap Krampus sehingga mereka dapat diidentifikasi jika diperlukan. Para Krampus kini didorong untuk hanya "menyikat" pengunjung festival secara simbolis, dan tidak benar-benar mencambuk mereka.

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait