Berkat karya-karyanya yang mengeksplorasi efek kolonialisme dan pengalaman para pengungsi, novelis asal Tanzania Abdulrazak Gurnah berhasil meraih Hadiah Nobel Sastra 2021.
Iklan
Hadiah Nobel Sastra 2021 diberikan kepada novelis asal Tanzania, Abdulrazak Gurnah. Menurut Komite Nobel, ia layak diberikan penghargaan "atas penetrasinya yang tanpa kompromi dan penuh kasih terhadap efek kolonialisme dan nasib pengungsi.”
"Dedikasi Gurnah terhadap kebenaran dan keengganannya pada penyederhanaan sangat luar biasa,” tulis Anders Olsson, ketua Akademi Penghargaan Nobel, yang memberikan penghargaan bergengsi itu.
"Meski hal ini bisa membuatnya terlihat dingin dan tanpa kompromi, tapi di saat yang sama ia mengikuti nasib individu dengan belas kasih yang besar dan komitmen yang teguh,” tambah Olsson.
Gurnah adalah penulis kelahiran Zanzibar yang saat ini menetap di Inggris. Ia meninggalkan Zanzibar – sekarang menjadi bagian dari Tanzania – pada tahun 1968. Saat itu, ia berangkat ke Inggris sebagai seorang mahasiswa.
Wajah 10 Tahun Nobel Sastra
Kurang perempuan, kurang literatur non Eropa, begitu kritik lama terhadap Akademi Swedia yang menetapkan pemenang Nobel Sastra. Bagaimana wajah pemenang Nobel Sastra selama 10 tahun terakhir?
Foto: AP
"Master" Cerita Pendek
Alice Munro, lahir 1931 di Ontario, Kanada adalah seorang penulis cerita pendek. Kumpulan cerpen pertamanya “Dance of Happy Shades” terbit 1968. Dua karyanya, Lives of girls and women (1994) dan "The Bear Came Over the Mountain” (2006) telah diadaptasi sebagai film. Pemenang Nobel Sastra 2013 disebut sebagai "Master" cerita pendek kontemporer.
Foto: PETER MUHLY/AFP/Getty Images
Realisme Fantastis
Mo Yan yang berarti "diam“ adalah nama pena Guan Moye. Ia lahir sebagai anak petani di propinsi Shandong, Cina. Terobosan dialaminya dengan karya “Red Sorghum” pada tahun 1987. Tim juri mengkategorikan tulisannya sebagai realisme fantastis.
Foto: picture-alliance/dpa
Buah Nominasi Panjang
Sejak 1993 dinominasi untuk Nobel Sastra, penyair Swedia Tomas Gösta Tranströmer memenangkan penghargaan ini pada tahun 2011. Kelahiran 1931, karyanya meliputi 12 kumpulan pusi. Pada usia 23 tahun, ia menerbitkan kumpulan puisi pertamanya "17 dikter“ pada tahun 1954.
Foto: Fredrik Sandberg/AFP/Getty Images
Gambaran Perlawanan Individu
Menulis dalam bahasa Spanyol, Jorge Mario Pedro Vargas Llosa, lahir di Peru pada tahun 1936. Salah seorang novelis dan esais Amerika Latin paling signifikan, namanya melejit tahun 60-an, dengan novel “La ciudad y los perros”. Nobel Sastra 2010 diterimanya untuk penggambaran perlawanan, pemberontakan dan kekalahan individu serta kartografi struktur kekuasaan dalam novel-novelnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Menyorot Kekerasan dan Teror
Herta Müller, penyair dan penulis Jerman keturunan Romania lahir tahun 1953. Ia pemenang Nobel Sastra 2009. Ttulisannya sudah diterjemahkan ke dalam lebih 20 bahasa. Karyanya banyak mengangkat dampak kekerasan dan teror. Novelnya, “Atemschaukel" (2009) bercerita tentang deportasi minoritas Roma-Jerman yang dideportasi ke gulag-gulag di Uni Soviet.
Foto: DW/N. Naumann
Utamakan Bahasa Perancis
Menulis dalam berbagai genre, karya-karya Jean-Marie Gustave Le Clézio meliputi puisi hingga cerita anak-anak yang seluruhnya dalam bahasa Perancis. Dengan sedikitnya 40 karya ia menerima Nobel Sastra, sebagai penulis yang mengeksplorasi kemanusiaan di luar masyarakat normatif. Le Clézio, penulis Mauritius-Perancis ini kelahiran 1940.
Foto: AP
Nobel di Usia Senja
Penulis Inggris Doris May Lessing lahir tahun 1919 di Kermansyah, Iran. Novel pertama “The Grass is Singing“ terbit tahun 1950. 2008 ia masuk ranking lima daftar “50 penulis terbaik Inggris sejak 1945”. Aktifitasnya menentang senjata nuklir dan apartheid di Afrika Selatan menyebabkan pencekalan dari negara itu. Pada tahun 2007, Lessing menjadi perempuan ke sebelas yang menerima Nobel Sastra.
Foto: AP
Mengusik Kebebasan
Nobel Sastra 2006 dimenangkan Orhan Pamuk, penulis Turki kelahiran 1952. Karyanya seperti “My name is Red” diterjemahkan ke dalam lebih 60 bahasa. 2005, Pamuk diadili karena mengangkat isu genosida warga Armenia di masa kekuasaan Otoman. Kontroversi yang berawal dari kritik soal kebebasan bersuara di Turki itu, disusul aksi-aksi pembakaran buku-bukunya.
Foto: DW
Angka Magis 50
50 merupakan angka magis sastrawan kenamaan Inggris Harold Pinter, kelahiran1930. Dalam 50 tahun karirnya, ia menyutradarai 50 produksi teater dan film, dan telah menerima 50 penghargaan, antara lain Nobel Sastra 2005. Karyanya yang paling terkenal termasuk “The French Lieutenant's Woman” (1981) dan “The Trial“ (1993). Ia meninggal Desember 2008.
Foto: AP
Musikalitas Suara
Penulis Austria Elfriede Jelinek, kelahiran 1946, menerima Nobel Sastra pada tahun 2004 untuk musikalitas suara-suara yang bertentangan, dalam tulisan-tulisannya yang menunjukkan absurditas dan tekanan yang terjadi, akibat gambaran-gambaran klise dalam masyarakat. Ia seorang penulis feminis. Tulisannya sering menyoroti seksualitas perempuan dan eksploitasi.
Foto: AP
Fokus Afrika
Penulis Afrika Selatan kedua, setelah Nadine Gordimer, yang memenangkan Nobel Sastra adalah John Maxwell "J. M." Coetzee. Ia menerima hadiah itu pada tahun 2003. Akademi Swedia mengatakan, Coetzee secara istimewa menggambarkan keterlibatan orang luar dalam berbagai pergulatan moral. Karyanya “Disgrace“ (1999) diadaptasi untuk film pada tahun 2008.
Foto: AP
11 foto1 | 11
Karya-karya Gurnah
Gurnah mulai menulis karya-karya fiksi saat masih berusia 21 tahun di pengasingan. Ia memilih Bahasa Inggris daripada bahasa pertamanya, Swahili, untuk karya sastranya tersebut. Novel pertamanya yang berjudul "Memory of Departure”, diterbitkan pada tahun 1987.
Iklan
Novel berjudul "Paradise” (1994) menjadi novel yang mengantarkan namanya dikenal secara internasional. Novel tersebut dibangun berdasarkan referensi intertekstual dari beberapa karya sastra klasik lainnya, seperti "Heart of Darkness” karya Joseph Conrad, dokumen Swahili dari abad ke-19, dan kisah Yusuf di dalam Quran.
Gurnah juga mengeksplorasi pengalaman pengungsi dalam novelnya yang berjudul "Admiring Silence” (1996) dan "By the Sea” (2001), di mana "fokusnya adalah pada identitas dan citra diri,” kata Komite Nobel.
Dua buku tersebut diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yaitu seorang pria dari Zanzibar yang melarikan diri ke Inggris dan berbohong tentang masa lalunya di Afrika guna melindungi dirinya dari rasisme dan prasangka.
Novel terbaru Gurnah di tahun 2020 berjudul "Afterlives”. Novel tersebut membahas tentang rasisme, penyerahan diri, dan pengorbanan. Sama seperti "Paradise”, novel tersebut mengambil latar waktu di awal abad ke-20, sesaat sebelum runtuhnya pemerintahan kolonial Jerman di Afrika Timur pada tahun 1919.
Pemenang yang tidak diduga-duga
Gurnah saat ini telah menginjak usia yang ke-70 tahun. Ia baru-baru ini pensiun dari posisinya sebagai Profesor Sastra Inggris dan Pascakolonial di University of Kent, Centerbury.
Meskipun Gurnah terkenal di kalangan akademis dan sastra pascakolonial, ia sejatinya tidak termasuk di antara kandidat favorit yang akan memenangkan penghargaan Nobel Sastra tahun ini. Nama-nama yang sebelumnya beredar di kalangan bookmaker Inggris adalah Ngugi wa Thion'o dari Kenya, Annie Ernaux dari Prancis, Haruki Murakami dari Jepang, Margaret Atwood dari Kanada dan penulis Antiguan-Amerika Jamaica Kincaid.
Berkat keberhasilannya meraih Nobel, Gurnah akan mendapatkan medali emas dan uang senilai 10 juta Krona Swedia (lebih dari 980.000 Euro). Penghargaan tersebut secara tradisional akan diberikan pada 10 Desember mendatang, bertepatan dengan peringatan kematian Alfred Nobel.