Selama 25 tahun terakhir kursi Sekretaris Jendral PBB selalu diisi oleh diplomat non barat. Kali ini pun khalayak mendesak seorang perempuan. Tapi justru seorang pejabat Portugal yang terpilih. Siapakah Antonio Guterres?
Iklan
Beberapa tahun silam Menteri Keimigrasian Selandia Baru, Jonathan Coleman, pernah menyebut Antonio Guterres sebagai seorang pribadi yang menyenangkan. Ia bisa memenangkan pemilu cuma dengan mengandalkan karakternya semata, kisahnya kepada New Zealand Herald. Tebakan Coleman tidak meleset. Rabu (5/19) Guterres terpilih menjadi sekretaris jendral PBB terbaru.
Kecuali di Portugal dan Eropa, tidak banyak yang mengetahui sepak terjang diplomat berusia 67 tahun tersebut. Mengawali karir politik di Partai Sosialis pada tahun keruntuhan rejim represif, Estado Novo, Guterres lalu memuncaki karir sebagai perdana menteri Potugal dari 1995 hingga 2002.
Tapi jabatannya sebagai direktur Badan Pengungsi PBB, UNHCR, yang pada akhirnya memoles rekam jejak Guterres buat menjadi kandidat serius untuk posisi sekretaris jendral. Betapapun Guterres harus berhadapan dengan "krisis kemanusiaan terbesar sejak Perang Dunia II." Saat ini lebih dari 34.000 orang mengungsi setiap hari. Jumlahnya mencapai 21,3 juta manusia di seluruh dunia.
Guterres mengaku akan memprioritaskan pencegahan krisis jika mengepalai PBB. "Kita butuh meningkatkan diplomasi damai," tuturnya. "Masyarakat internasional selama ini lebih banyak menghabiskan waktu dan dana untuk mengelola krisis ketimbang mencegahnya."
Pemilihan Guterres juga dinilai menjadi isyarat ketidakberdayaan PBB mengalang dukungan buat menuntaskan krisis pengungsi. "Seorang sekretaris jendral harus berusaha mengurangi jumlah konflik dan juga jumlah korban," pungkasnya.
Di bawah kepemimpinannya UNHCR memangkas pegawai adiministrasi dan menambah kapasitas personil di kawasan krisis. Salah satu jasa Guterres adalah menggerakkan negara industri maju untuk mau menampung pengungsi.
"Kita tidak bisa mengusir mereka yang berusaha menyelamatkan nyawa sendiri," tulisnya di majalah Time tahun lalu. "Mereka akan datang. Pilihannya saat ini adalah mengelola kedatangan mereka dengan baik dan berperikemanusiaan."
Kenapa Indonesia Tidak Ramah Pengungsi?
Studi Amnesty International mengungkap sikap sebagian masyarakat Indonesia yang cendrung menolak keberadaan pengungsi. Untuk itu Amnesty menyodorkan lima pertanyaan seputar pengungsi. Inilah jawaban responden Indonesia:
Foto: Reuters/Beawiharta
Indonesia Terbawah
Cina menduduki peringat pertama dalam indeks keramahan terhadap pengungsi yang dirilis Amnesty International. Sementara Indonesia mendarat di posisi buncit bersama Thailand, Polandia dan Rusia. Indeks tersebut merangkum berbagai pertanyaan terkait keterbukaan sikap masyarakat terhadap keberadaan kaum terbuang di negeri dan lingkungannya.
Foto: Reuters/R. Bintang
Keterbukaan
Apakah orang yang melarikan diri dari perang dan presekusi boleh masuk ke negara Anda? Cuma sekitar 72% responden asal Indonesia bersedia menerima masuk pengungsi ke negaranya. Jumlah tersebut termasuk yang paling rendah di dunia. Spanyol dan Jerman misalnya mencatat skor 97%. Sebaliknya cuma 33% penduduk Rusia yang menerima kedatangan pengungsi.
Foto: Getty Images/AFP/D. Dilkoff
Hak Berlindung
Apakah pengungsi yang lari dari perang dan presekusi harus diberikan akses mendapat suaka di negeri lain? Sebanyak 73% penduduk Indonesia mendukung hak berlindung buat pengungsi. Jumlah tersebut serupa dengan rata-rata dunia. Sebaliknya di negeri jiran Thailand cuma 27% yang mengamini. Jerman dan Spanyol lagi-lagi berada di posisi teratas dengan skor 97%.
Foto: Reuters
Peran Pemerintah
Apakah pemerintah di negara Anda harus lebih banyak berbuat membantu pengungsi? Sebanyak 70% responden asal Indonesia mendukung peran pemerintah yang lebih aktif dalam membantu pengungsi. Sebaliknya dukungan paling rendah berasal dari Rusia (26%), Thailand (29%) dan India (41%)
Foto: Reuters/G. Moutafis
Pengungsi di Rumah Sendiri
Apakah Anda bersedia menampung pengungsi di rumah sendiri? Lagi-lagi Cina membuktikan diri sebagai bangsa yang ramah terhadap pengungsi dengan sekitar 46% responden mengaku siap menyediakan kamar bagi pengungsi di rumahnya sendiri. Sebaliknya tidak sampai 1% penduduk Indonesia yang bersedia melakukan hal tersebut. Skor serupa dicatat Rusia.
Foto: picture-alliance/dpa/M.Djurica
Realita
Hingga tahun lalu badan pengungsi PBB, UNHCR, mencatat terdapat sekitar 5277 pengungsi di Indonesia dan hingga 8000 pencari suaka. Kebanyakan adalah korban pelanggaran HAM di Myanmar, Afghanistan, Somalia, Iran dan Irak. Indonesia kerap menjadi stasiun sementara pengungsi yang ingin hijrah ke Australia.