1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKolombia

Gustavo Petro, Presiden Kiri Pertama di Kolombia

20 Juni 2022

Untuk pertamakalinya dalam sejarah Kolombia, seorang tokoh berhaluan kiri memenangkan pemilu kepresidenan. Gustavo Petro adalah bekas gerilyawan yang sempat dibui selama dua tahun sebelum terjun ke arena politik

Gustavo Petro
Gustavo Petro (2. ki.) usai menangkan pilpres KolombiaFoto: Fernando Vergara/AP Photo/picture alliance

Perolehan suara Gustavo Petro pada penghitungan suara Minggu (19/6) malam, melampaui 50,49 persen saat proses rekapitulasi sudah mencapai 99,7 persen. Hasil tersebut memastikan kemenangannya atas miliarder Kolombia, Rodolfo Hernandez, yang sebelumnya sempat diunggulkan.

Tapi meski popularitasnya cukup tinggi, pencalonan Petro tidak berjalan melenggang dan harus menghadapi oposisi yang kuat. Sebanyak 10,5 juta dari 50 juta penduduk Kolombia memilih pesaingnya di putaran kedua. "Perlu dipahami, bahwa ada jumlah besar pemilih yang tidak menginginkan Petro menjadi presiden,” kata Sergio Guzman, direktur lembaga analisa risiko, Colombia Risk Analysis. 

Petro, 62, pernah menjabat sebagai walikota Bogota antara 2012 dan 2015. Masa jabatannya kala itu diwarnai kontroversi seputar gaya kepemimpinannya. 

"Dia punya temperamen yang tergesa-gesa dan autoriter, dan jika dia bersikeras menjalankan proposalnya, dia tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan sektor lain untuk mempraktikan rencananya itu,” kata Daniel Garcia-Pena, bekas penasehat Petro.

Kolumbia Legalkan Perkebunan Ganja

03:48

This browser does not support the video element.

Testimoni tersebut berpusar pada rencana nasionalisasi perusahaan sampah di Bogota yang berlangsung kacau. Petro banyak mendulang kritik atas kebijakannya itu. Buntutnya, dia dua kali gagal mencalonkan diri sebagai presiden.

Namun pada kali ketiga, Petro berhasil meyakinkan kalangan miskin dan menengah bawah Kolombia dengan program kerja yang fokus pada pengentasan kelaparan dan ketimpangan. "Dia meyakini kemenangan ini adalah takdirnya,” kata seorang sumber yang dekat dengan presiden. "Bahwa dia adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Kolombia.”

Populis radikal atau tokoh progresif?

Ayah enam anak itu dikenal sebagai orator ulung, meski tanpa karisma yang membuncah. Dilahirkan di keluarga mapan di pesisir Karibik, Petro bergabung dengan kelompok gerilayawan M-19 di usia 17 tahun. Dia mengaku tugasnya saat itu bukan mengangkat senjata, melainkan di bagian organisasi dan logistik.

Pada 1985, Petro ditangkap aparat militer dan mengaku disiksa, sebelum mendekam selama dua tahun di penjara. Dia dibebaskan pada 1990 menyusul kesepakatan damai antara M-19 dan pemerintah. 

Oposisi berusaha menyudutkan Petro sebagai populis radikal yang akan menciptakan bencana ekonomi layaknya di negeri jiran Venezuela. Padahal Petro sendiri mengecam kekuasaan Nicolas Maduro di Venezuela sebagai "republik pisang.”

Petro sebaliknya mendeklarasikan niat mengurangi produksi minyak dan menggeser titik berat relasi dengan Amerika Serikat dari perang narkotika menjadi perang melawan perubahan iklim. Dia juga menjanjikan kredit lunak bagi usaha kecil dan menengah, serta redistribusi dana pensiun untuk menjamin kesejahteraan buruh.

Petro juga berjanji akan mengupayakan damai dengan kelompok gerilya terakhir di Kolombia, Tentara Pembebasan Nasiolan (ELN), yang berhaluan marxis. "Rencana ini sangat ambisius,” kata Elizabeth Dickinson, analis Kolombia di lembaga penelitian, International Crisis Group, di Bogota. 

"Tapi sangat penting, karena merupakan satu-satunya jalan keluar dari konflik bersenjata,” imbuhnya.

Kemenganan kandidat kiri dipahami sebagai pergeseran tradisi politik di Kolombia yang selama ini dipimpin tokoh prokorporasi. Kekuasaan pemerintahan konservatif dinilai gagal mereduksi ketimpangan ekonomi dan sosial, yang ikut mengompori konflik bersenjata selama enam dekade terakhir.

"Kolombia belum pernah punya pemerintahan yang progresif,” kata Petro kepada Reuters. "Setiap upaya yang dilakukan dalam satu abad terakhir ini dikutuk berakhir sebagai perang.”

rzn/as (ap,rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya