1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Siapa yang Diunggulkan Jelang Pemilu Presiden Iran?

27 Juni 2024

Iran akan gelar pemilu presiden Jumat (28/6) untuk mencari pengganti mendiang Ebrahim Raisi. Enam kandidat diloloskan, tanpa seorang pun dianggap favorit. Banyak warga Iran yang tidak lagi ikut memilih.

Enam kandidat presiden Iran
Enam kandidat presiden IranFoto: Iranian State TV/ZUMA/picture alliance

Enam calon presiden akan bersaing berebut dukungan elektoral dalam pemilihan umum pada hari Jumat 28 Juni. Sebanyak 61 juta dari 85,5 juta penduduk Iran tercatat berhak memilih.

Tapi krisis ekonomi dan iklim represif memudarkan gairah demokrasi di Republik Islam itu. Kendati masa kampanye digelar selama tiga pekan, lebih dari 30 juta warga mengaku tidak akan mencoblos, demikian menurut survei teranyar.

Namun jajak pendapat yang digelar Institut Meta dari Universitas Imam Sadiq justru memprediksi tingkat partisipasi sebesar 51,7 persen. Universitas di Teheran itu merupakan lembaga pendidikan untuk aparatur sipil negara. Termasuk di antara lulusannya adalah Saeed Jalili, salah seorang kandidat terkuat kubu ultrakonservatif.

Mantan juru runding nuklir Iran itu sempat unggul di awal masa kampanye dibandingkan calon lain. Namun, survei terbaru Institut Meta menempatkan pesaingnya dari kubu moderat, Masoud Pezeshkian, di peringkat teratas.

Pezeshkian adalah bekas menteri kesehatan di bawah Presiden Mohammed Khatami dari tahun 2001 hingga 2005. Menurut jajak pendapat, dia kini memimpin popularitas dengan 24,4 persen suara.

Tingkat partisipasi pemilih menyusut tajam pada pemilihan presiden terakhir di pertengahan 2021. Saat itu, hanya 48,8 persen warga pergi mencoblos, terendah sejak Revolusi Islam tahun 1979.

Iranian president Raisi killed in helicopter crash

04:46

This browser does not support the video element.

Bertaruh pada partisipasi pemilih Iran

Setelah sempat ditolak Dewan Wali pada 2021, lolosnya pencalonan Pezeshkian diyakini sebagai strategi politik untuk menjaring tingkat partisipasi yang lebih besar. Sejak awal, dia berusaha memenangkan dukungan kaum reformis, antara lain dengan lantang mengkritik kewajiban berjilbab.

"Saya berjanji akan menghentikan perilaku yang terjadi pada putri dan saudara perempuan kita di jalanan,” katanya dalam sebuah acara kampanye di Teheran, Minggu (23/6).

Pezeshkian berjanji akan memulihkan kepercayaan kepada pemerintah. Para pendukungnya memandang pencalonannya sebagai kesempatan terakhir untuk menghindari kemenangan kelompok garis keras. Harapannya, potensi kemenangan politisi ultra-konservatif seperti Jalili akan menciptakan rasa takut dan memobilisasi pemilih moderat.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Saeed Jalili dan ketua parlemen Mohammed Bagher Ghalibaf dianggap sebagai kandidat paling menjanjikan dari kalangan konservatif. Hanya kurang dari lima persen  responden yang disurvei mengaku akan memilih tiga kandidat lain.

Survei terbaru yang dilakukan oleh ISPA Institute pada tanggal 23 Juni juga menunjukkan keunggulan Peseshkian dengan 24,4 persen suara, di atas Jalili dengan 24 persen dan Ghalibaf dengan 14 persen suara. Meski berstatus lembaga nonpemerintah, institut di Teheran ini dianggap dekat dengan penguasa.

Untuk memenangkan pemilu, Pezeshkian membutuhkan suara mayoritas absolut. Jika gagal, dia harus maju ke putaran kedua pada tanggal 5 Juli.

Telah jemu bersuara

Dalam sistem politik Iran, presiden bukan kepala negara, melainkan kepala pemerintahan. Kekuasaan tertinggi pun tidak dipegang parlemen sebagai perwakilan rakyat, tetapi di tangan pemimpin spiritual Ayatollah Ali Khamenei, yang menggawangi Dewan Wali.

Dewan yang beranggotakan 12 orang ulama dan ahli hukum itu berwenang menentukan siapa yang boleh mencalonkan diri. Dengan cara itu, Khamenei ikut menentukan siapa yang kelak akan memegang jabatan eksekutif.

Analis dan pengamat politik meyakini tidak akan terjadi gejolak politik dalam pemilu kali ini. "Pemimpin revolusi tidak mau mengambil risiko besar terhadap para kandidat. Kepemimpinan terutama berfokus pada kesinambungan," kata pakar Iran Azadeh Zamirirad dari Science and Politics Foundation, SWP, dalam wawancara dengan kantor berita dpa. 

Voter apathy marks Iran election

05:09

This browser does not support the video element.

Bagi warga Iran, pesta demokrasi kali ini pun dirasa hanya sebagai ajang mencari legitimasi bagi rezim baru Republik Islam. "Saya tidak akan memilih," kata  seorang pemuda berusia 27 tahun saat berbincang dengan DW.

"Saya ambil bagian dalam protes jalanan baru-baru ini, meskipun bertaruh nyawa," lanjutnya. "Saya ingin rezim ini menghilang. Mengapa saya harus melegitimasi pemerintah dengan surat suara saya?" Sentimen serupa diungkapkan pemilih muda lainnya, seperti yang dilaporkan kantor berita Reuters.

Adalah perlakuan brutal aparat keamanan yang memutus tali kepercayaan antara kaum moderat Iran dan rezim di Teheran. Penindasan terhadap aksi demonstrasi pro-perempuan pada September 2022 masih menyisakan trauma, yang kini tercermin pada tingkat partisipasi warga.

(rzn/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait