Siapa Marcus Aurelius, Kaisar Romawi yang Hits di Medsos?
20 Juni 2025
Raja yang dulu sangat berkuasa ini lebih memilih menjadi seorang filsuf: "Lihatlah ke dalam dirimu. Di dalam sana ada sumber kebaikan, dan itu akan terus mengalir jika kamu terus menggalinya."
Untaian kata-kata bijak seperti ini dapat ditemukan dalam Meditations (Renungan), karya Marcus Aurelius (121–180 M). Dia tidak pernah berniat menerbitkan catatan refleksi pribadinya ini, yang memang dia tulis hanya untuk dirinya sendiri.
Namun, tulisan ini kini menjadi salah satu karya yang paling banyak dibaca setelah Alkitab dan Al-Qur'an. Refleksi filosofisnya ini bahkan menjadi best seller, dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di seluruh dunia.
Marcus Aurelius dikenal sekarang sebagai raja sekaligus filsuf, yang memerintah pada masa penuh krisis dan bencana di zamannya. Dia naik tahta pada tahun 161 Masehi, beberapa tahun sebelum Perang Marcomanni (166–180 M)—di tengah konflik suku-suku Jermanik—yang mengguncang fondasi Kekaisaran Romawi. Selain itu, dia menghadapi masalah ekonomi, ketegangan sosial, serta penyebaran Wabah Antoninus yang menyerupai campak di seluruh wilayah kekuasaannya.
"Kamu memiliki kuasa atas pikiranmu sendiri, bukan atas kejadian di luar dirimu.”
Ketentraman jiwa dengan kemampuan pengendalian diri adalah salah satu prinsip dasar Marcus Aurelius, yang merupakan penggemar berat stoikisme—aliran filsafat kuno yang didirikan oleh Zeno dari Citium sekitar tahun 300 SM. Marcus ingin menjadi penguasa yang bijak, tapi apa sebenarnya arti kepemimpinan yang baik? Pertanyaan ini, yang masih sangat relevan hingga kini, menjadi perhatian utama Marcus dan tercermin dalam Meditations.
Namun, menurut arkeolog Direktur Museum yang bernama Rheinisches Landesmuseum di Kota Trier, Jerman, Marcus Reuter, tulisan-tulisan Marcus tidak pernah dibaca oleh orang sezamannya. "Orang Romawi pada masa itu juga tidak melihatnya sebagai ‘raja-filsuf'. Tulisan-tulisannya tidak pernah dipublikasikan saat dia hidup. Dia menulis untuk dirinya sendiri, dalam kesunyian kamar di malam hari. Citra Marcus Aurelius sebagai "kaisar-filsuf” baru terbentuk setelah Meditations diterbitkan pada abad ke-15 atau ke-16.
Marcus Reuter dan sejarawan Viola Skiba, yang juga merupakan direktur museum Kota Trier Stadtmuseum Simeonstift, menjadi kurator pameran Marcus Aurelius yang akan digelar di masing-masing institusi mereka dari tanggal 15 Juni sampai 23 November 2025.
Skiba menuturkan tema pameran ini justru terasa sangat relevan dan lebih mendesak dari yang mereka perkirakan. Pertanyaan tentang bagaimana seharusnya kepemimpinan yang baik dipandang makin penting, terutama di masa-masa krisis dan polarisasi yang terjadi di jagat raya saat ini. Uniknya, pertanyaan ini sudah ada sejak awal peradaban manusia dan memang menjadi fokus di dunia kuno.
Donald Trump ‘bukan contoh teladan'
Menurut Marcus Aurelius, apa yang membedakan kepemimpinan yang baik? "Pada dasarnya, dia dipandu oleh kebajikan utama zaman kuno,” ungkap Skiba. Kebajikan tersebut meliputi pilar-pilar kebaikan sejati: Kebijaksanaan, keadilan, kehati-hatian, dan kesederhanaan.
Konsep kunci lainnya adalah orientasi pada kebaikan bersama, yaitu bertindak demi maslahat umum secara keseluruhan. "Inilah, kurang lebih, yang membedakan mana penguasa yang baik dan yang buruk- menurut Aristoteles,” tambahnya. Reuter menambahkan bahwa jika masih hidup, Marcus kemungkinan besar menganggap Presiden Amerika Serikat Donald Trump bukanlah pemimpin yang baik, apalagi contoh teladan.
Namun tentu saja, Marcus Aurelius adalah produk zamannya, yang tumbuh dalam struktur sosial dunia kuno. "Pada masanya, ada perbudakan, dan Marcus Aurelius tidak berniat menghapusnya,” kata Reuter.
Sang kaisar juga tidak mempertanyakan sistem yang menjamin hak hanya bagi warga negara Romawi, atau bahwa perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Dari perspektif sekarang, mungkin terasa ganjil menganggap kaisar yang memimpin perang brutal sebagai sosok berbudi luhur. "Menurut standar kuno, kaisar memang diharapkan menjaga keamanan kekaisaran dan melindungi rakyatnya—meski dengan cara yang sangat keras jika diperlukan,” jelas Reuter. "Dia sangat terlibat dalam urusan pengadilan, berusaha memberikan putusan yang adil, dan selalu mengutamakan kepentingan negara,” imbuhnya.
Gerbang kuno Porta Nigra—ikon Kota Trier yang terkenal hingga kini—juga berawal dari masa pemerintahan Marcus Aurelius. Bangunan ini adalah bagian dari tembok kota yang dibikin untuk melindungi penduduknya.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Tak banyak yang diperlukan untuk bisa bahagia”
Dalam Meditations 7, Ayat 67, Marcus menekankan bahwa kebahagiaan sangat bergantung pada pikiran dan sikap kita, bukan pada hal-hal luar yang duniawi. "Sangat sedikit yang dibutuhkan untuk menjalani hidup bahagia; semuanya ada dalam dirimu, dalam cara berpikirmu.”
Kata-kata bijak seperti ini bisa terdengar laksana sindiran, jika keluar dari mulut seorang kaisar, Tapi Marcus Aurelius mengucapkannya dengan tulus. Dia menjalani gaya hidup yang relatif sederhana dan bahkan melelang barang-barang pribadi istananya saat negara mengalami krisis keuangan. "Sepengetahuan saya, tidak ada kaisar Romawi lain yang pernah melakukan hal seperti itu,” kata Reuter.
Marcus juga banyak merenungkan makna hidup, yang mungkin menjadi alasan mengapa banyak anak muda sekarang tertarik pada dirinya dan tulisan-tulisannya. Menurut Reuter, "Meditations adalah harta karun kecil yang berisi jawaban untuk hampir semua situasi kehidupan.”
Dia menambahkan bahwa tulisan Marcus Aurelius tidak dimaksudkan untuk dibaca dari awal sampai akhir, melainkan untuk dibuka secara acak guna mencari inspirasi. Buku ini adalah catatan pribadi seseorang yang meluangkan waktu untuk memikirkan hal-hal esensial di dalam hidup. Tidak heran jika kutipan-kutipannya kini tersebar luas di media sosial.
Pameran di Trier ini memanfaatkan minat kontemporer terhadap Marcus Aurelius dan isu-isu yang menjadi perhatian utamanya. Pameran ini bertujuan menginspirasi pengunjung dari seluruh dunia untuk merenungkan diri sendiri, masyarakat, dan apa yang masih bisa kita pelajari dari kaisar Romawi kuno itu hingga hari ini.
Atau seperti kata-kata Skiba, "Setiap masyarakat dibangun atas individu-individu, dan jika setiap individu mau bertanya pada dirinya sendiri tentang pertanyaan-pertanyaan filosofis dan politik ini, maka masyarakat itu juga akan berfungsi dengan baik.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Rizki Nugraha