Profil Riza Chalid, Sang Penguasa Bisnis Minyak di Indonesia
7 Desember 2015
Riza atau Reza Chalid dulu dikenal dekat dengan pentolan Cendana, Bambang Trihadmodjo. Selama bertahun-tahun dia mengendalikan Pertamina Energy Trading Ltd (PETRAL), anak usaha PT Pertamina.
Iklan
Riza atau Reza Chalid dulu dikenal dekat dengan pentolan Cendana, Bambang Trihatmodjo. Selama puluhan tahun dia mengendalikan Pertamina Energy Trading Ltd (PETRAL), anak usaha PT Pertamina.
Karena dia menjadi besar dan mendominasi bisnis itu, diapun disebut-sebut sebagai "penguasa abadi bisnis minyak" di Indonesia. Setelah kekuasaan rezim Suharto dan Orde Baru berakhir, dia mendekat ke Cikeas dan kubu Yudhoyono dan bermitra dengan Hatta Rajasa, orang penting dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Menurut catatan Goerge Junus Aditjondro dalam "Gurita Bisnis Cikeas", Riza Chalid harus membayar premi kepada keluarga Cikeas sebesar 50 sen Dolar per barrel minyak. Inilah yang membuat Dirut Pertamina saat itu, Karen Agustiawan gerah, dan akhirnya mundur teratur dari jabatannya.
Nama besar Riza Chalid juga terdengar sampai ke luar negeri. Dia sangat disegani di Singapura, karena kehebatannya memenangkan tender-tender besar bisnis minyak lewat perusahaannya, Global Energy Resources.
Global Energy Resources merupakan pemasok terbesar minyak mentah ke Pertamina Energy Services Ltd. Setelah ada aturan yang lebih ketat, Global Energy memang menghilang dari Pertamina, digantikan perusahaan lain, Gold Manor, yang juga dikuasai Riza Chalid.
Pada masa kepresidenan SBY, nama Riza Chalid bahkan tidak berani disebut secara terbuka. Banyak orang yang hanya menyebutnya Tuan "R". Berulangkali bisnis PETRAL dikritik, namun pemerintah tidak mampu menghentikan bisnis minyak dengan Global Energy itu.
Pada pemilihan presiden yang lalu, Riza Chalid mendukung kubu Prabowo dan Golkar, yang bersatu untuk menghentikan lajunya popularitas Jokowi. Pria yang jarang tampil di publik ini disebut-sebut mendanai berbagai media untuk mendiskreditkan duet Jokowi-JK. Antara lain lewat penerbitan Tabloid Obor Rakyat.
Riza Chalid jugalah yang mengeluarkan uang miliaran untuk membeli Rumah Polonia di Jakarta Timur, yang kemudian menjadi markas tim pemenangan Prabowo-Hatta.
Tapi dalam rekaman pembicaraan kasus Papa Minta Saham, Riza menyebutkan dia juga menggelontorkan uang untuk kubu Jokowi-JK, karena ingin bermain selamat. Agar tetap punya akses ke pemerintahan, siapapun yang menang pemilu presiden.
Peran Riza Chalid makin terkuak, setelah Ketua DPR Setya Novanto dari Partai Golkar meminta bertemu dengan Presiden Direktur PT Freeport, Maroef Sjamsoeddin. Novanto meminta pertemuan empat mata, namun ternyata kemudian membawa Riza Chalid.
Karena khawatir pembicaraan di sebuah lokasi di Jakarta itu bisa menjadi masalah, Maroef lalu merekam pembicaraan tersebut. Setya Novanto antara lain menjanjikan perpanjangan kontrak bagi PT Freeport, tapi meminta 20% saham anak perusahaan FreeportMcMoran yang berpusat di AS itu.
Bisnis PETRAL baru menjadi sorotan luas, setelah Presiden Jokowi menugaskan menteri ESDM Sudirman Said membentuk tim khusus untuk memotong bisnis-bisnis gelap. Nama Riza Chalid pun makin sering dibicarakan.
Majalah Tempo pernah mengulas tentang bisnis Riza Chalid tahun 2008, dengan judul: "Jejak Licin Saudagar Minyak". Waktu itu, belum banyak yang memperhatikan peran dan kehandalam Riza Chalid menguasai bisnis dan dunia politik di Indonesia.
Prahara Mei 1998
Mei 1998 menjadi arus balik dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Tapi bulan berdarah itu hingga kini masih menyisakan sejumlah pertanyaan tak terjawab perihal keterlibatan militer.
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
Kebangkitan Mahasiswa
Mai 1998 menandai perputaran sejarah Indonesia. Berawal dari ketidakpuasan rakyat atas kenaikan harga kebutuhan pokok, mahasiswa mulai bergerak memrotes pemerintahan Suharto. Saat itu presiden kedua Indonesia itu baru saja terpilih secara aklamasi oleh parlemen untuk ketujuh kalinya. MPR berdalih, kepemimpinan Suharto dibutuhkan di tengah krisis moneter yang melanda.
Foto: picture-alliance/dpa
Protes dari Kampus
Bibit protes sebenarnya sudah bermunculan sejak pengangkatan Suharto sebagai Presiden RI pada Maret 1998. Namun karena sebatas di wilayah kampus, aksi tersebut masih dibiarkan oleh militer. Kendati begitu bentrokan dengan aparat keamanan tetap tak terelakkan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Titik Api di Sumatera
Awalnya cuma sekelompok kecil mahasiswa yang berdemonstrasi menentang pemilihan ulang Suharto. Namun ketika pemerintah menaikkan harga barang pokok pada 4 Mai, rakyat kecil pun ikut terlibat. Penjarahan pertama muncul di Medan yang tidak berlangsung lama, tapi menjalar ke berbagai daerah.
Foto: Getty Images/AFP/P. Richards
Bara di Jakarta
Pada 9 Mei, sehari setelah kerusuhan Medan berakhir, Jakarta mulai bergolak. Tapi Suharto terbang ke Kairo untuk menghadiri KTT G15. Dia pulang lebih dini saat kerusuhan di Jakarta memasuki fase paling mematikan. Pada 12 Mei, 10.000 mahasiswa berkumpul di kampus Trisakti. Saat itu empat mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Heriyanto dan Hendriawan Sie tewas tertembak peluru polisi.
Foto: picture-alliance/AP Images
Protes dari Luar Negeri
Peristiwa berdarah di Indonesia juga disimak oleh aktivis kemanusiaan asing dan mahasiswa Indonesia di mancanegara. Berbagai aksi protes digelar di Australia, Jerman, Belanda, Inggris (gambar), Swedia, Perancis dan Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eggitt
Bergerak ke Senayan
Hingga tanggal 13 Mei kepolisian masih berupaya membarikade kampus-kampus di Jakarta untuk mencegah mahasiswa keluar. Sebagian yang berhasil menerobos, berkumpul di berbagai titik untuk kemudian bergerak ke arah Senayan. Momentum terbesar adalah ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR.
Foto: picture-alliance/dpa
Api di Klender
Termakan amarah lantaran mendengar kabar mahasiswa yang tewas ditembak, massa kembali melakukan aksi penjarahan di beberapa sudut kota. Yang terparah terjadi di kawasan Klender, di mana massa membarikade dan membakar gedung Yogya Department Store. Sekitar 1000 orang yang terjebak di dalam tewas seketika.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Pahit Orde Baru
Aksi pendudukan mahasiswa terhadap gedung MPR/DPR dan tekanan internasional memaksa Presiden Suharto undur diri dari jabatannya. Diktatur yang berkuasa selama 32 tahun itu menyisakan republik yang carut marut oleh kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Sesaat setelah pengunduran diri Suharto, Wapres B.J. Habibie memulai 517 hari perjalanannya membawa Indonesia kembali ke pangkuan demokrasi.
Foto: picture alliance/CPA Media
Saling Tuding di TNI
Tragedi 1998 menyisakan pertanyaan besar buat TNI. Bekas Pangkostrad, Prabowo Subianto diduga ikut mendalangi kerusuhan, berdasarkan temuan tim Gabungan Pencari Fakta. Bekas Jendral bintang tiga itu kemudian dipecat oleh Presiden Habibie menyusul isu kudeta yang disebarkan Panglima ABRI Wiranto. Prabowo sebaliknya menuding Wiranto lah yang mengeluarkan perintah agar TNI menyulut kerusuhan berdarah