1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikYaman

Siapa Sebenarnya Pemberontak Houthi di Yaman?

23 Januari 2024

Aksi blokade laut oleh pemberontak Houthi terhadap kapal yang mengarah ke Israel memperparah eksalasi konflik di Timur Tengah. Siapa sebenarnya pemberontak Houthi dan apa kepentingan mereka di balik blokade Israel?

Parade militer Houthi di Sanaa, Yaman
Parade militer Houthi di Sanaa, YamanFoto: Mohammed Mohammed/Xinhua News Agency via picture alliance

Kiprah pemberontak Houthi kembali meruak ke kesadaran publik usai mendeklarasikan blokade terhadap kapal laut yang menuju Israel di Laut Merah. Blokade itu diklaim hanya akan berakhir jika Israel mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.

Sebagai respons, Amerika Serikat dan Inggris menggalang koalisi dengan Bahrain, Kanada, Prancis, Belanda, Spanyol dan Republik Seychelles dan membombardir aset militer Houthi di Yaman.

Alhasil, pemberontak yang antara lain disokong Iran itu bersumpah akan membalas dendam. "Pertempurannya akan meluas, melampaui imajinasi dan ekspektasi Amerika dan Inggris," tutur pejabat Houthi, Ali al-Qahoum, seperti dilansir kantor berita Associated Press.

Aksi protes simpatisan Houthi menentang serangan udara AS dan Inggris di YamanFoto: Houth Media Center/Handout via REUTERS

Perang panjang di Yaman

Gerakan Houthi adalah kelompok kesukuan yang berasal dari utara Yaman, di dekat perbatasan dengan Arab Saudi. Mereka memeluk Islam Syiah beraliran Zaydiyyah. Aliran ini diikuti oleh sekitar 30 persen penduduk Yaman. Berbeda dengan Syiah arus utama, pemeluk Zaydiyyah tidak mengikuti ajaran 12 imam dan acap dianggap lebih menyerupai Islam Sunni.

Pemberontakan teranyar etnis Houthi dilancarkan oleh Hussein al-Houthi, bekas politisi Yaman yang bermusuhan dengan bekas Presiden Ali Abdullah Saleh, yang ironisnya juga berasal dari etnis Houthi. Perlawanan mulai memanas setelah pemerintahan Saleh dijatuhkan aksi protes Musim Semi Arab 2011 dan digantikan oleh Abed Mansour Hadi, seorang pemeluk Sunni yang didukung AS dan Arab Saudi.

Di bawah kekuasaannya, Houthi merasa dimarjinalkan sebagai minoritas. Buntutnya, pemberontakan mulai menjalar sejak 2014 yang direspons dengan serangan udara mematikan oleh koalisi bentukan Saudi. Perang yang menelan banyak korban sipil itu berakhir pada 2022 seiring kesepakatan gencatan senjata selama enam bulan antara Houthi dan pemerintahan Saudi.

Oleh PBB, perang di Yaman disebut memicu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Ironisnya, Presiden AS Joe Biden termasuk yang paling gigih mendesak Arab Saudi untuk mengakhiri serangan udara di Yaman.

Dukungan Iran

Ideologi Houthi antara lain dirumuskan dalam slogannya, yakni "Allah Maha Besar, matilah AS, matilah Israel, terkutuklah kaum Yahudi dan kemenangan bagi Islam."

Sikap anti pendudukan Israel dan dukungan bagi kedaulatan Palestina sudah menjadi haluan politik pemerintahan Yaman, sejak sebelum kekuasaan Houthi. Tapi kelompok Houthi justru mengadopsi posisi yang lebih radikal terkait konflik di Timur Tengah. Cara itu dipandang berhasil mendulang simpati warga sipil di Yaman.

Perlawanan Houthi di Yaman banyak disokong bantuan militer dari Iran. Kedua entitas memandang diri sebagai Poros Perlawanan, sebuah aliansi bentukan Iran yang antara lain mencakup kelompok Hamas di Jalur Gaza dan Hezbollah di Lebanon.

Namun ada perbedaan mendasar antara Houthi dan kelompok bersenjata lain yang didukung Iran, kata Hamidreza Azizi, peneliti di German Institute for International and Security Affairs. Menurutnya, pemberontak Houthi tidak terlalu bergantung kepada Iran, terutama jika dibandingkan Hezbollah, kata dia kepada DW.

Pengamat militer juga meragukan, bahwa Iran berperan besar dalam aksi blokade Houthi di Laut Merah. Menurut Farea al-Muislimi, peneliti di Chatham House, Inggris, aksi tersebut tidak digalang semata-mata demi mengakhiri blokade Israel di Jalur Gaza, melainkan untuk memuaskan audiens di dalam negeri.

"Perang ini menjadi kesempatan emas bagi kelompok Houthi untuk mendemonstrasikan kebijakan pro-Palestina, serta sikap anti-Israel dan Amerika Serikat, terutama kepada populasi lokal," ujarnya. Aksi tersebut juga diyakini tidak akan banyak mempengaruhi kebijakan kemananan di Israel.

Namun meski begitu, blokade Houthi di Selat Bab el-Mandeb memaksa perusahaan asuransi perkapalan dan penyedia jasa angkutan laut untuk tidak lagi melintasi Laut Merah menuju Israel, melainkan memutari Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Rute baru itu menambah jarak sekitar 6.482 kilometer, dibandingkan jika memotong lewat Terusan Suez.

rzn/hp

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait