1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hilirisasi Bahan Baku Mineral, Siapa yang Diuntungkan?

Betty Herlina
11 Februari 2022

Kebijakan Presiden Joko Widodo terkait penghentian ekspor mineral mentah, seperti bauksit mulai tahun 2022 dan tembaga pada 2023, dipertanyakan dan dinilai hanya untungkan segelintir kalangan.

Aktivitas di tambang nikel, Soroako, Sulawesi Selatan
Gambar ilustrasi aktivitas di tambang nikel, Soroako, Sulawesi SelatanFoto: Basri Marzuki/ZUMA Press/imago images

Komitmen stop ekspor bahan mineral mentah kembali disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kali ini yang dihentikan adalah ekspor bauksit dan tembaga. Presiden mengatakan tujuan utama hilirisasi produk pertambangan adalah untuk membangun kemandirian bangsa.

"Hilirisasi industri, industrialisasi akan terus ditingkatkan karena kita tidak ingin sejak VOC kita selalu mengirimkan bahan-bahan mentah mengirimkan raw material ke luar negeri," tutur Jokowi saat berpidato di acara Peringatan HUT ke-49 PDI Perjuangan, seperti dikutip dari detik.com, Senin (10/01).

Jokowi juga mengatakan bahwa langkah ini akan membuka lapangan pekerjaan dalam skala besar dan meningkatkan pendapatan negara. Dilansir dari detik.com, dari penyetopan bahan mentah nikel pada tahun 2020, negara mampu mendapatkan pemasukan hingga Rp280 triliun karena yang diekspor adalah bahan jadi atau setengah jadi yang bernilai lebih.

Siapa yang menikmati?

Semangat hilirisasi dengan janji membuka banyak lapangan pekerjaan dinilai hanya terfokus pada aspek ekonomi, kata Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar. Alih-alih mengutamakan lingkungan dan keselamatan rakyat, langkah ini dinilai akan memperparah kerusakan lingkungan. Mineral alam tetap dikeruk dan peningkatan ekonomi yang terjadi tidak menguntungkan masyarakat, ujar Melky.

"Model pengembangan ekonomi yang menggantungkan pada tambang itu, ya rapuh, sesaat, tak berkelanjutan. Sebaliknya justru akan melenyapkan sumber perekonomian rakyat, tempat di mana industri ekstraktif itu bekerja," ujar Melky Nahar kepada DW Indonesia. 

Sementara Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, mengatakan pemerintah perlu mengecek apakah bisnis hilirisasi ini tidak terkait oligarki.

"Jika iya, akan ada alokasi sumber daya ekonomi yang tidak efisien dalam bentuk insentif yang dinikmati segelintir elit seperti halnya dalam hilirisasi batu bara dalam bentuk gasifikasi," ungkap Tata kepada DW Indonesia.

Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara memiliki semangat untuk mendorong nilai tambah ekspor mineral dan baru bara di Indonesia sehingga tidak ada lagi bahan mentah mineral yang langsung diekspor oleh perusahaan.

Sebelumnya, pemerintah juga melarang ekspor bahan mentah bijih nikel sejak Januari 2020. Larangan ini akan berlaku pada mineral mentah berupa emas dan timah. Baru-baru ini pemerintah pun melarang ekspor batu bara hingga 31 Januari 2022 karena pasokan energi dalam negeri berkurang.

Bangun smelter, lebih banyak PLTU?

Melky Nahar dari JATAM mengkhawatirkan hilirisasi mineral mentah akan menambah jumlah pabrik pemurnian bahan baku tambang atau smelter di Indonesia. Sebagai akibatnya, ada lebih banyak potensi didirikannya PLTU berbahan batu bara untuk memasok listrik ke smelter-smelter itu. Langkah ini jika tidak dilakukan dengan hati-hati akan malah membawa lebih banyak masalah bagi lingkungan dan masyarakat, ujarnya.

Dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara Kebijakan, setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Khusus wajib membangun pabrik smelter untuk pengolahan dan pemurnian mineral selambat-lambatnya lima tahun setelah UU Minerba/2009 diundangkan pada tanggal 12 Januari 2009.

Sumber Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan pemerintah mentargetkan pembangunan 53 smelter sampai tahun 2024. Rinciannya 4 tembaga, 30 nikel, 11 bauksit, 4 besi, 2 mangan dan 2 timbal dan seng. Namun hingga 2020 baru berdiri 19 smelter. Tahun 2022 ada 4 smelter yang akan menyusul.

Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, mengatakan kebijakan tersebut tidak akan membawa perbaikan kualitas lingkungan jika tidak diletakkan dalam kerangka green economy. "Kita harus monitor konsistensinya ke depan," imbuhnya.

Terpisah, Ekskutif Walhi Uli Artha Siagian menilai bahwa saat ini Indonesia masih menggantungkan 60% sumber listriknya dari energi batu bara. Harusnya dengan fakta tersebut, pemerintah dapat mempercepat transisi dari energi fosil ke energi yang ramah lingkungan serta berbasis kebutuhan masyarakat.

Menurut Uli, selama ini produksi energi listrik tidak berbasis kebutuhan nasional tetapi adalah konsumsi global. "Corak konsumsi ini yang harus diubah, meskipun batu bara dijual di dalam negeri, bukan dengan harga DMO (domestic market obligation) tapi mengacu dengan harga batu bara global ini adalah proses meningkatkan nilai batu bara dan mempercepat pengerukan, konsekuensinya harga listrik akan semakin mahal dan yang menanggung tetap rakyat," Uli mengatakan. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait