Siapa yang Mampu Pimpin Mediasi Konflik Israel-Palestina?
Ian Bateson
18 Mei 2021
Kekerasan dalam konflik Israel dan Palestina berlarut-larut tanpa ada tanda-tanda gencatan senjata. Para pemimpin internasional telah menyerukan negosiasi perdamaian, tetapi siapa yang akan memimpin mereka?
Iklan
Saat kekerasan antara Israel-Gaza terus berlanjut hingga minggu kedua, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah menyerukan agar pihak-pihak yang bertikai segera mengakhiri pertempuran. Meski begitu, gencatan senjata dinilai tidak akan bertahan lama kecuali digabungkan dengan negosiasi yang lebih luas.
Pertanyaannya, badan atau pemerintah internasional mana yang dapat mengambil peran utama dalam pembicaraan semacam itu?
Iklan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Guterres mengatakan bahwa PBB "secara aktif melibatkan semua pihak menuju gencatan senjata" dan meminta pemerintah Israel dan organisasi Hamas "untuk mengizinkan mediasi guna mengintensifkan dan menyukseskan (upaya tersebut).‘‘
Tetapi, upaya PBB untuk menyelesaikan konflikIsrael-Palestina secara diplomatis mengalami kesulitan karena Amerika Serikat (AS) masih ‘‘menahan diri‘‘ di Dewan Keamanan.
Pada pertemuan Minggu (16/5), anggota dewan mengutuk kekerasan yang terjadi, tetapi gagal menyetujui pernyataan publik. Cina, yang mengisi posisi presiden Dewan Keamanan saat ini, menyalahkan AS sebagai satu-satunya pihak yang menentang tindakan tersebut. Departemen Luar Negeri AS menolak berkomentar tentang masalah ini.
AS sebelumnya telah menggunakan hak veto dan posisinya di Dewan Keamanan untuk memblokir resolusi dan pernyataan tentang Israel.
Amerika Serikat
Israel adalah sekutu terdekat AS di Timur Tengah, dan AS adalah sumber penting bantuan dan peralatan militer bagi Israel. Hubungan itu selalu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap AS saat membawa Israel ke meja perundingan ketika konflik meningkat.
Hubungan kedua pihak mencapai puncaknya selama kepresidenan Donald Trump. Ketika itu Trump melakukan tindakan yang memihak ke Israel, termasuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Proposal perdamaian Trump yang gagal pun dinilai sangat sesuai dengan ketentuan Israel, yang akan mengakui pemukiman di wilayah pendudukan sebagai bagian dari Israel.
Sementara pemerintahan Biden tampaknya terjebak oleh eskalasi konflik terbaru. Biden tidak menempatkan masalah itu sebagai prioritas setelah pemerintahan sebelumnya, termasuk di masa pemerintahan Obama, saat Biden menjadi wakil presiden, gagal membuat kemajuan. AS saat ini tidak memiliki duta besar di Israel.
Sebelumnya pada Sabtu (15/5), Biden telah berbicara secara terpisah dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Utusannya, Wakil Asisten Sekretaris Urusan Israel-Palestina Hady Amr, juga tiba di Tel Aviv di hari yang sama.
Liga Arab telah meminta AS untuk mengambil peran lebih aktif dalam proses perdamaian Timur Tengah. Masih belum jelas seberapa cepat pemerintahan Biden dapat menghasilkan rencana yang layak untuk konflik tersebut, karena masalah ini tidak menjadi salah satu prioritasnya.
Rangkaian Perjanjian dan Prakarsa Damai Israel-Palestina yang Gagal
Selama lebih dari setengah abad, berbagai upaya telah digalang untuk mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina, namun semuanya gagal.
Perjanjian Camp David dan Perdamaian Israel-Mesir, 1978-1979
Perundingan Arab-Israel dimulai pada tahun 1978 di bawah penengahan AS. Bertempat di Camp David, pada 26 Maret 1979, Perjanjian Damai Israel Palestina ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat (kiri) dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin (kanan), melalui penengahan Presiden AS Jimmy Carter (tengah).
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Daugherty
Perjanjian Oslo I, 1993
Negosiasi di Norwegia antara Israel dan PLO menghasilkan Perjanjian Oslo I, yang ditandatangani pada September 1993. Perjanjian tersebut menuntut pasukan Israel mundur dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan otoritas sementara Palestina akan membentuk pemerintahan otonomi untuk masa transisi lima tahun. Kesepakatan kedua ditandatangani pada tahun 1995.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Sachs
Pertemuan Puncak Camp David, 2000
Presiden AS Bill Clinton pada tahun 2000 mengundang Perdana Menteri Israel Ehud Barak (kiri) dan Pemimpin PLO Yasser Arafat (kanan) ke Camp David untuk membahas masalah perbatasan, keamanan, permukiman, pengungsi dan status Yerusalem. Meskipun negosiasi menjadi lebih rinci dari sebelumnya, tidak ada kesepakatan yang dicapai.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Edmonds
Prakarsa Perdamaian Arab dari KTT Beirut, 2002
Negosiasi Camp David diikuti dengan pertemuan di Washington di Kairo dan Taba, Mesir - semuanya tanpa hasil. Setelahnya Liga Arab mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab di Beirut, Maret 2002. Rencana tersebut meminta Israel menarik diri ke perbatasan sebelum 1967. Sebagai imbalannya, negara-negara Arab akan setuju untuk mengakui Israel.
Foto: Getty Images/C. Kealy
Peta Jalan Kuartet Timur Tengah, 2003
AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB bekerja sama sebagai Kuartet Timur Tengah untuk mengembangkan peta jalan menuju perdamaian. PM Palestina saat itu, Mahmoud Abbas, menerima teks tersebut, namun mitranya dari Israel, Ariel Sharon, keberatan. Peta jalan itu memuat tentang solusi dua negara Sayangnya, hal itu tidak pernah dilaksanakan. Dalam foto: Yasser Arafat dan pejabat Uni Eropa Lord Levy.
Foto: Getty Iamges/AFP/J. Aruri
Prakarsa Perdamaian Trump, 2020
Presiden AS Donald Trump memperkenalkan rancangan perdamaian tahun 2020. Tetapi rancangan itu menuntut warga Palestina menerima pemukiman Yahudi di kawasan Tepi Barat yang diduduki Israel. Palestina menolak rencangan tersebut.
Foto: Reuters/M. Salem
Konflik kembali berkobar 2021
Rencana Israel mengusir empat keluarga Palestina dan memberikan rumah mereka di Yerusalem Timur kepada pemukim Yahudi berujung bentrokan dan aksi protes di Yerusalem. Hamas kemudian menembakkan lebih 2.000 roket ke Israel, dibalas dengan serangan udara militer Israel, yang menghancurkan banyak bangunan di Jalur Gaza. (hp/gtp)
Foto: Mahmud Hams/AFP
7 foto1 | 7
Uni Eropa
Perwakilan tinggi Uni Eropa (UE), Josep Borrell, telah menyerukan diakhirinya kekerasan dengan segera di Israel dan wilayah Palestina. Menteri luar negeri UE akan bertemu pada hari ini Selasa (18/5) untuk membahas masalah tersebut.
Borrell mengatakan dia telah melakukan kontak dengan anggota Kuartet Timur Tengah, yakni PBB, AS, UE dan Rusia, untuk meredakan situasi.
UE tidak memainkan peran utama dalam negosiasi perdamaian Timur Tengah dan sebaliknya berfokus pada bantuan kemanusiaan. UE adalah donor tunggal terbesar untuk Otoritas Palestina. Melalui departemen bantuan kemanusiaannya, Komisi Eropa telah mengirimkan total € 700 juta (RP 12 triliun) ke Jalur Gaza dan Tepi Barat sejak tahun 2000.
"AS yang memainkan peran aktif," ujar Norbert Röttgen, ketua komite kebijakan luar negeri parlemen Jerman Bundestag, kepada media publik Deutschlandfunk pada Jumat (14/5).
"Mereka segera mengirim perwakilan Departemen Luar Negeri untuk masalah ini." Dia mengatakan UE praktis tidak memainkan peran, namun dapat berkontribusi dengan terus memberikan bantuan kemanusiaan.
Eskalasi Kekerasan Israel-Palestina Korbankan Rakyat di Kedua Pihak
Aksi kekerasan terus memuncak antara Israel dan kelompok Hamas. Kehancuran melanda Jalur Gaza, roket menghantam Tel Aviv. Korban terbanyak adalah warga sipil, di kedua belah pihak.
Foto: Mahmud Hams/AFP/Getty Images
Gaza hadapi horor
Asap membumbung dan api membakar perumahan di Khan Yunis di Jalur Gaza yang jadi target serangan Israel Rabu (12/5). Aksi kekerasan dan saling serang kembali memuncak sejak beberapa hari terakhir.
Foto: Youssef Massoud/AFP/Getty Images
Warga mengungsi dalam kepanikan
Warga dievakuasi dari gedung di Jalur Gaza yang jadi target serangan Israel. Sedikitnya 56 warga Palestina di Jalur Gaza tewas akibat serangan Israel. Roket yang ditembakkan militan dari Jalur Gaza menewaskan 6 orang di Israel.
Foto: Mahmud Hams/AFP/Getty Images
Kehancuran di Gaza City
Israel menurut pernyatan sendiri menyebutkan, miiternya menyerang secara terarah bangunan di Gaza City yang dijadikan kantor kelompok militan atau dihuni pimpinannya.
Foto: Suhaib Salem/REUTERS
Roket di langit Tel Aviv
Kelompok militan Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza menembakkan sejumlah roket ke Tel Aviv. Sistem pertahanan rudal Israel melindungi kota dan menghancurkan sebagian besar proyektil di udara atau mengalihkan jalurnya, untuk meminimalkan kerusakan.
Foto: AnAs Baba/AFP/Getty Images
Berlindung dengan cemas
Tapi sistem pertahanan udara "Iron Dome" tidak mempu melindungi 100%. Jika sirene mengaung, itu tanda bagi warga Israel untuk secepatnya mengamankan diri di "shelter perlindungan", tidak peduli apakah itu tengah malam atau dinihari.
Foto: Gideon Marcowicz/AFP/Getty Images
Bahaya tetap mengancam
Juga jika roket bisa dihancurkan atau dihalau, runtuhan puing bangunan tetap berbahaya. Seperti sebuah rumah di Yehud dekat bandara Ben Gurion yang hancur dihantam roket. Militer Israel melaporkan, sejak Senin (10/5) sedikitnya 1.000 roket ditembakkan dari Jalur Gaza ke wilayah Israel.
Foto: Gil Cohen-Magen/AFP/Getty Images
Cari perlindungan
Jika saat alarm berbunyi, warga tidak sempat mencari bunker perlindungan, mereka berusaha melindungi diri sebaik mungkin. Seperti warga di kota Ashkelon sekitar 10 km di utaraperbatasan ke Jalur Gaza ini.
Foto: Jack Guez/AFP/Getty Images
Batu dilawan gas air mata
Dalam beberapa hari terakhir, aksi bentrokan berat antara demonstran Palestina melawan militer Israel terjadi di berbagai kota. Di Hebron, kota di tepi barat Yordan yang diduduki Israel, demonstran melemparkan batu yang dibalas tembakan gas air mata oleh tentara Israel.
Foto: Hazem Bader/AFP/Getty Images
Ambil posisi dan bidik
Aparat keamanan Israel menembakkan gas air mata, peluru karet dan granat kejut untuk membubarkan demonstran. Pemicu demonstrasi warga Palestina antara lain ancaman pengusiran paksa di kawasan timur Yerusalem. Aksi ini akhirnya bermuara pada konflik terbuka.
Foto: Hazem Bader/AFP/Getty Images
Sampai kapan konflik berlangsung?
Saat ini tidak terlihat ada pertanda deeskalasi kekerasan. Warga Palestina di Gaza City ini mencari perindungan di halaman kantor perwakilan PBB, karena ketakutan akan jadi sasaran serangan Israel berikutnya.
Foto: Mahmud Hams/AFP/Getty Images
10 foto1 | 10
Mesir
Badan intelijen di Mesir, yang berbatasan dengan Israel di barat, masih memiliki koneksi yang baik dengan kelompok Hamas. Selama akhir pekan lalu, Mesir berperan dalam upaya mediasi bersama dengan PBB dan Qatar untuk merundingkan gencatan senjata selama dua jam agar bahan bakar dapat diangkut ke satu-satunya fasilitas listrik di Gaza. Namun upaya itu gagal setelah Israel menyerang rumah kepala Hamas Yahya Sinwar.
Pada Rabu (12/5), delegasi Mesir bertemu dengan kelompok-kelompok Islam Palestina di Gaza sebelum pergi ke Tel Aviv pada Kamis (13/5). Para pemimpin Israel sejauh ini menolak perjanjian gencatan senjata, demikian menurut pemerintah Mesir.
Pada Minggu (16/5), Netanyahu semacam mengonfirmasi bahwa dia tidak akan mengupayakan gencatan senjata dengan segera. "Kami mencoba menurunkan kemampuan teroris Hamas dan menurunkan keinginan mereka untuk melakukan ini lagi," kata Netanyahu kepada media AS CBS. "Sehingga, butuh waktu. Saya harap tidak lama, tapi juga tidak segera,” ujarnya. (pkp/gtp)