Sejak kudeta 1 Februari 2021, Myanmar terjerembab ke dalam perang saudara antara militer dan pasukan pemberontak. Namun, minimnya informasi yang bisa dipercaya mempersulit analisa menyeluruh situasi di lapangan.
Sejumlah laporan, opini atau analisa yang muncul di media internasional dalam enam pekan terakhir mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Apa kata pakar tentang perang saudara Myanmar?
Dalam sebuah analisa di Asia Times, pakar militer Anthony Davis menulis betapa kini dia meyakini gerakan pemberontak berhasil memperluas wilayah kekuasaan, setelah awalnya diyakini akan ambruk menyusul kudeta militer.
Davis melontarkan pernyataan serupa saat diwawancara media Myanmar, The Irrawaddy.
Michael Martin, analis di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, AS, baru-baru ini menulis analisa yang mempertanyakan daya tahan Tatmadaw dalam menghadapi pemberontakan. Hal serupa diungkapkan Ye Myo Hein dan Lucas Meyer, dua analis internasional, yang menulis betapa perlawanan bersenjata berpotensi mengembalikan demokrasi ke Myanmar.
Namun begitu, analisa seputar jalannya perang saudara bisa sangat bervariasi, bergantung dari outlet yang memublikasikannya.
The Economist contohnya mewanti-wanti, bahwa "gerakan perlawanan Myanmar berpotensi termakan propaganda sendiri," di mana kampanye media sosial mewartakan "narasi kemenangan" kelompok pemberontak dalam waktu dekat.
Namun fakta di lapangan berkata lain, tulis The Economist. "Di balik kabut propaganda, kita menemukan gambaran yang lebih muram. Kelompok pemberontak masih terpecah dan berceceran di sana-sini tanpa koordinasi terpusat. Kelangkaan senjata menyulitkan mereka menggunakan taktik selain serangan gerilya atau pembunuhan."
Adapun pada spektrum lain terdapat pandangan Michael Martin untuk CSIS. "Ada tanda-tanda bahwa militer Myanmar akan sangat kewalahan untuk bertahan hidup."
Kebanyakan analis meyakini kaum pemberontak Myanmar sedang berada di atas angin. Tapi seberapa jauh perbedaan di lapangan?
Iklan
Perbedaan angka
Penilaian detail atas situasi di Myanmar juga disulitkan oleh perbedaan data dan angka. Dalam sebuah artikel, situs berita militer War on the Rocks, menulis kelompok pemberontak sejauh ini sudah merekrut 100.000 pejuang. Cuma sekitar 40 persen di antaranya yang memiliki senjata, termasuk senjata rakitan.
Myanmar: Aksi Protes Perahu Menentang Kudeta Militer
Warga etnis Intha di negara bagian Shan, Myanmar, melakukan protes unik terhadap junta militer dengan aksi protes perahu di Danau Inle, salah satu tujuan wisata populer di negara itu.
Foto: Robert Bociaga
Protes meluas di Myanmar
Protes terhadap kudeta militer di Myanmar 1 Februari lalu meluas ke luar kota Yangon. Pada 18 Februari, penduduk di sekitar Danau Inle, salah satu tujuan wisata populer di negara bagian Shan selatan, berdemonstrasi menentang junta militer dan menuntut pemulihan demokrasi.
Foto: Robert Bociaga
Protes dari atas perahu
Warga dari semua lapisan masyarakat berpartisipasi dalam aksi protes perahu. Mereka terlihat membawa megafon dan plakat-plakat, sambil melantunkan lagu-lagu revolusi.
Foto: Robert Bociaga/DW
Kudeta militer
Pihak militer awal Februari mengkudeta pemerintahan sipil dengan mengklaim terjadi penipuan yang luas dalam pemilihan umum November lalu, yang dimenangkan secara telak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dari Aung San Suu Kyi, sekalipun militer ketika itu membuat partai politik untuk menang pemilu. Sejak kudeta, banyak anggota NLD dan pemerintahan sipil yang ditahan, termasuk Suu Kyi.
Foto: AP Photo/picture alliance
Pembangkangan sipil
Sejak kudeta, puluhan ribu orang melakukan protes dan kampanye pembangkangan sipil. Pihak militer menanggapi dengan keras dengan gelombang penangkapan ancaman sanksi berat.
Foto: REUTERS
Aksi protes perahu dukung sanksi Barat terhadap pelaku kudeta
Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin kudeta dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan para tahanan politik lain. Pengunjuk rasa di Danau Inle menyambut baik sanksi tersebut dan mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk mengakhiri dominasi militer selamanya. Namun, mereka tidak mendukung rekonsiliasi dengan para jenderal, kebijakan yang diambil Suu Kyi selama ini.
Foto: Robert Bociaga
Sistem demokrasi satu-satunya jalan melindungi minoritas
Negara bagian Shan dihuni oleh warga etnis Intha, yang juga dikenal sebagai "orang danau". "Satu-satunya cara untuk melindungi tradisi minoritas adalah melalui sistem demokratis dan desentralisasi. Itulah mengapa kami membutuhkan demokrasi federal di Myanmar," kata Ko Su, seorang aktivis etnis Intha, kepada DW.
Foto: Robert Bociaga
Sektor turisme di bawah pengawasan militer
Suku Intha mengatakan, mereka belum dapat sepenuhnya memanfaatkan pariwisata karena sebagian besar hotel dan bisnis di daerah tersebut dimiliki oleh orang-orang yang memiliki koneksi dengan militer. Namun sebelum kudeta, penduduk setempat setidaknya bisa mendapatkan keuntungan dari industri pariwisata yang berkembang pesat. (hp/vlz)
Foto: Robert Bociaga
7 foto1 | 7
Analisa Davis memunculkan angka yang lebih kecil. Menurutnya, Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) mengaku hanya merekrut antara 50.000 hingga 100.000 pejuang, dengan 25 persen di antaranya bersenjata.
Adapun Min Zaw Oo, pakar keamanan di Institut Perdamaian dan Keamanan (MIPS) di Myanmar, memperkirakan hanya 10 persen gerilayawan pemberontak yang memiliki senjata otomatis. Dia mengaku angka tersebut dirangkum dari laporan NUG terkait senjata rampasan perang.
Kebanyakan artikel yang mencoba mewartakan perkembangan perang di Myanmar terutama mempermasalahkan keabsahan data yang ada. Dalam artikelnya untuk Asia Times, Davis menulis "analisa menyeluruh menjadi rumit karena tingginya frekuensi dan sebaran pertempuran kecil di seluruh negeri, serta minimnya pemberitaan imparsial dari medan tempur."
Wartawan lokal yang menggunakan nama samaran "Cape Diamond", mengatakan media independen di Myanmar tidak memberitakan "gambaran menyeluruh" dan seringkali "mengecilkan laporan kekalahan" Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF).
Aung San Suu Kyi: Ironi Pejuang Kemerdekaan
Aung San Suu Kyi dari Myanmar memiliki komunitas global yang mendukungnya ketika dia menjadi tahanan politik belasan tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir dia dihujani protes soal militer membantai Muslim Rohingya.
Foto: picture-alliance/dpa
Lahir untuk demokrasi
Aung San Suu Kyi lahir tanggal 19 Juni 1945 di Yangon, yang dulu merupakan ibu kota Myanmar di yaman koloni Inggris. Ia anak perempuan pahlawan nasional Jenderal Aung San yang menjadi korban serangan tahun 1947. Suu Kyi mengenyam pendidikan di Inggris dan pulang ke Myanmar pada akhir 1980an. Dia menjadi tokoh kunci dalam pemberontakan 1988 melawan kediktatoran militer di negara tersebut.
Foto: dapd
Tahanan Rumah
Tahun 1989, sesaat sebelum pemilu, Aung San Suu Kyi untuk pertama kalinya menjadi tahanan rumah. Hampir selama 15 tahun ini hanya mendekam di rumahnya. Setelah tahun 1995, Suu Kyi dilarang bertemu kedua putra dan suaminya, Michael Aris, bahkan setelah suaminya didiagnosis menderita kanker. Aris, terlihat di foto menampilkan gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada istrinya.
Foto: TORSTEN BLACKWOOD/AFP
Nobel Perdamaian
Tahun 1991 Aung San Suu Kyi diberi penghargaan Nobel Perdamaian bagi "usahanya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia." Karena ia khawatir, junta militer tidak akan mengizinkannya kembali ke Myanmar, putranya Kim yang menerima penghargaannya di Oslo. Setelah 20 tahun berselang, Aung San Suu Kyi baru bisa menyampaikan pidato penerimaannya.
Foto: AP
Bebas dari tahanan rumah
Masa tahanan rumahnya benar-benar berakhir tanggal 13 November 2010. Ini momen yang menandakan proses pendekatan antara Aung San Suu Kyi dan junta militer. Militer tidak ingin terus diisolasi oleh dunia internasional dan Aung San Suu Kyi sadar, bahwa ia hanya akan sukses juga melakukan dialog dengan pihak militer.
Foto: picture alliance/epa/N. C. Naing
Kunjungan Pertama Seorang Presiden AS
Akhir 2012, Presiden AS Barack Obama berkunjung ke Myanmar. Ia bertemu dengan Aung San Suu Kyi di rumah tempat ia menjadi tahanan selama bertahun-tahun. Lewat kunjungannya, Obama seakan menghormati perjuangan sang tuan rumah dan membantu Myanmar keluar dari isolasi.
Foto: Reuters/K. Lamarque
Penghargaan dari Berlin
Tahun 2014 Aung San Suu Kyi berkunjung selama dua hari ke Berlin. Ia bertemu dengan Presiden Jerman Gauck dan meraih penghargaan Willy-Brandt atau upayanya memperjuangkan HAM dan demokrasi. Saat itu ia menegaskan, masa depan demokrasi negaranya masih belum jelas.
Foto: picture-alliance/dpa
Disumpah sebagai anggota parlemen
Usahanya selama puluhan tahun akhirnya membuahkan hasil, dan pada tahun 2012 Suu Kyi diizinkan mencalonkan diri dalam pemilu. Dia memenangkan kursi di parlemen saat Myanmar memulai peralihannya dari pemerintahan militer. Ia menjadi pemenang dalam pemilu tahun 2015, tapi pada akhirnya ia menjabat sebagai menteri luar negeri dan penasihat negara - peran yang mirip perdana menteri.
Foto: AP
Dikritik soal Rohingya
Krisis pengungsi Rohingya sedikti mencoreng namanya. Lembaga pembela hak asasi manusia melontarkan kritik terhadap pemenang hadiah Nobel perdamaian itu. Ia dtuding tidak berupaya untuk mengatasi krisis ini. Suu Kyi dianggap takut ditinggalkan pendukungnya yang mayoritas Buddha dalam Pemilu Parlemen.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Tidak lagi disukai
Ketika menjadi penasihat negara di tahun 2016, Suu Kyi membentuk komisi untuk menyelidiki klaim tindak kekejaman negara terhadap kaum Rohingya di negara bagian Rakhine. Suu Kyi menuding Rohingya menyebarkan "segunung informasi yang salah", dan prihatin dengan "ancaman teroris" yang ditimbulkan oleh para ekstremis. Sikapnya memicu protes di negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/Zumapress/J. Laghari
Pemilu kontroversial
Pada tahun 2020, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi(NLD) yang berkuasa di Myanmar memenangkan pemilu 8 November, dengan kursi yang cukup untuk membentuk pemerintahan berikutnya. Namun, pihak militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan, mengklaim penipuan dan menuntut pemilihan baru yang diawasi oleh militer. Dengan itu muncul komentar-komentar yang menyinggung kemungkinan kudeta.
Foto: Shwe Paw Mya Tin/REUTERS
Militer menahan Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi bersama dengan beberapa sekutu politiknya, ditahan dalam penggerebekakan dini hari pada 1 Februari 2021 yang dipimpin oleh militer. Langkah itu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer. Junta militer mengklaim kecurangan pemilu dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan menunjuk seorang mantan jenderal sebagai penjabat presiden.
Foto: Franck Robichon/REUTERS
11 foto1 | 11
Menembus kabut perang di Myanmar
Sebab itu Min Zaw Oo merasa skeptis terkait berbagai analisa yang berusaha memberikan gambaran utuh situasi perang di Myanmar. Sebagian laporan bersifat lokal dan sulit diverifikasi. CSIS, yang mempublikasikan peta perang Myanmar, juga menggunakan dalih serupa.
"Peta ini tidak berusaha memastikan siapa yang menang di Myanmar, melainkan menekankan bahwa kudeta telah mengubah pola pertempuran dengan munculnya aktor dan aliansi baru, dengan dampak berbeda-beda di seluruh negeri."
Satu-satunya yang bisa dipastikan di Myanmar adalah intensitas yang tinggi tindak kekerasan terhadap warga sipil. Sedangkan siapa yang akan memenangkan perang saudara di Myanmar, sejauh ini baru berupa tebakan. (rzn/pkp)