"Siapa merasa keislamannya paling sempurna, dia radikal"
19 Oktober 2017
Radikalisme yang marak di kalangan kaum muda muslim di Jerman menjadi perhatian pemerintah dan komunitas Islam. Kepada DW, konsultan pencegahaan radikalisme Pinar Cetin memaparkan gejala radikalisasi pada kaum muda.
Iklan
Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah Jerman mulai memahami pentingnya tindak pencegahan dan deradikalisasi untuk menghalau ideologi terorisme. Terutama kaum muda muslim berlatarbelakang migran banyak menjadi korban radikalisasi dan jatuh ke pangkuan organisasi teror seperti Islamic State.
Konflik identitas dan kegagalan berintegrasi yang dialami kaum muda kerap membuka pintu bagi radikalisme. Konsultan pencegahan radikalisme di Berlin, Jerman, Pinar Cetin, mengungkap alasan kaum muda Jerman pergi berjihad ke Suriah kerap bukan agama, melainkan masalah sosial dan keluarga. Simak wawancaranya DW dengan Pinar Cetin tentang program pencegahan radikalisme dan potensi teror di kalangan kaum muda muslim Jerman.
DW: Program pencegahan radikalisme dan deradikalisasi ex-teroris baru bergulir sejak beberapa tahun terakhir. Apakah Jerman terlalu lambat bereaksi?
Pinar Cetin: Untungnya dalam hal pencegahan radikalisme kami tidak telat karena tidak ada serangan teror ketika kami memulai kerja. Jadi dalam hal ini kami lebih dini. Tapi kalau sifatnya pencegahan tindak terorisme memang mungkin agak telat, terutama yang berkaitan dengan penyuluhan anak muda.
Bagaimana Anda mengenali gejala radikalisasi pada remaja secara dini?
Pada dasarnya bisa dilihat dari argumentasinya dan cara mereka menerima sebuah ajaran agama. Jadi jika mereka menerima tanpa bertanya atau melihatnya secara kritis, maka itu sudah berjalan ke arah yang tidak baik. Hal semacam itu tentunya belum bisa dikategorikan sebagai radikal, tapi sikap seperti itu juga tidak lazim pada anak muda yang biasanya cenderung memberontak dan gemar bertanya balik. Terutama dalam pendidikan agama, karena Islam justru mengajarkan kepada kita untuk selalu berpikir (kritis).
Kenapa kita harus menggandakan peran agama buat menghadang gelombang radikalisme?
Kita sebenarnya tidak membutuhkan lebih banyak ajaran agama, tetapi ajaran yang memperkaya manusia dan membantu mewujudkan kebahagiaan, serta membuka pikiran penganutnya. Jadi kita tidak butuh lebih banyak ajaran agama, melainkan ajaran yang benar. Kita tidak bisa begitu saja memutus pertalian agama dari pemuda yang teradikalisasi dan berpandangan mereka berada di jalan yang benar. Kita hanya bisa menggunakan agama untuk mengembalikan kepercayaan mereka. Jadi ketika mereka berargumentasi dengan ayat-ayat Al-Quran, kita harus bertanya apa konteksnya dan apa reaksi Nabi Muhammad tentang ayat tersebut. Untuk itu kita harus memiliki pemahaman agama.
Seberapa Terintegrasi Muslim di Eropa?
Semakin meluasnya gerakan populis haluan kanan di Eropa menimbulkan keraguan apakah praktik agama Islam dapat sejalan dengan demokrasi barat. DW mengungkap beberapa kesalahpahaman soal integrasi yang tersebar.
Foto: picture-alliance/Godong/Robert Harding
Seberapa sukseskah integrasi linguistik?
3/4 warga Muslim kelahiran Jerman memakai bahasa Jerman sebagai bahasa ibunya. Di antara para imigran, hanya 1/5 yang mengaku bahasa Jerman sebagai bahasa pertama. Semakin lama suatu generasi di suatu negara, maka semakin baik kemampuan bahasanya. Tren ini terlihat di seluruh Eropa. Di Jerman, 46% Muslim mengaku bahasa nasional mereka adalah bahasa Jerman. Bandingkan di Austria 37% dan Swiss 34%.
Foto: picture-alliance/dpa
Bagaimana pandangan Muslim atas hubungan antar-agama?
Studi yang dirilis Religion Monitor (2017) mengungkap 87% Muslim Swiss mengisi waktu luang mereka dengan menjalin relasi secara teratur dengan warga non-Muslim. Di Jerman dan Perancis hasilnya 78%, sementara di Inggris 68% dan Austria 62%. Sebagian besar Muslim dari generasi terkini secara konstan menjalin kontak dengan warga non-Muslim, terlepas dari berbagai rintangan yang muncul di masyarakat.
Foto: Imago/R. Peters
Apakah Muslim merasa terkoneksi dengan Eropa?
96% Muslim Jerman merasa terkoneksi dengan negara yang mereka tinggali. Persentase setinggi ini juga dirasakan warga Muslim di Perancis, namun persentase tertinggi dimiliki Swiss dengan perolehan 98%. Terlepas dari sejarahnya yang sejak lama dikenal memiliki institusi yang terbuka terhadap keragaman budaya dan agama, hanya sedikit Muslim (89%) yang mengaku memiliki hubungan dekat dengan Inggris.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Seberapa pentingkah agama dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim Eropa?
Muslim dari keluarga imigran memiliki komitmen religius yang tinggi, yang terus dipertahankan lintas generasi. 64% Muslim yang tinggal di Inggris menyebut diri mereka "sangat religius". Perbandingan Muslim yang saleh di antara negara di Eropa yakni Austria 42%, Jerman 39%, Perancis 33% dan Swiss 26%.
Foto: DW/A. Ammar
Berapa banyak mahasiswa Muslim yang meraih gelar sarjana?
36% Muslim kelahiran Jerman meninggalkan bangku sekolah pada umur 17 tahun, tanpa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Di Austria proporsinya mencapai 39%. Di Perancis, dengan sistem pendidikan yang lebih setara, warga Muslim memiliki hasil pendidikan yang lebih baik. Hanya satu dari sepuluh siswa Muslim yang meninggalkan sekolah sebelum mencapai usia 17 tahun.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Berapa banyak warga Muslim yang mampu memasuki pasar kerja?
60% Muslim yang pindah ke Jerman sebelum tahun 2010 memiliki jam kerja penuh-waktu, sementara hanya 20% yang memiliki kerja paruh-waktu. Persentase ini sama bagi non-Muslim. Warga Muslim Jerman memiliki peluang kerja yang lebih tinggi dibandingkan negara lainnya di Eropa. Angka pengangguran di Perancis di antara warga Muslim mencapai 14%, lebih tinggi 8% dibandingkan dengan warga non-Muslim.
Foto: picture alliance/dpa/U.Baumgarten
Seberapa luas penolakan terhadap Islam?
Satu dari empat non-Muslim di Austria mengaku tidak mau tinggal bersebelahan dengan Muslim. Persentase di Inggris juga cukup tinggi, mencapai 21%. Di Jerman, 19% responden non-Muslim menyebut mereka tidak menerima Muslim sebagai tetangga. Angkanya tak jauh berbeda di Swiss 17% dan Perancis 14%. Di antara golongan minoritas lainnya, Muslim adalah kelompok sosial yang paling banyak ditolak.
Foto: AP
‘Muslim di Eropa - terintegrasi namun tak diterima’
Seluruh informasi terkait bagaimana integrasi Muslim di Eropa dirilis oleh Yayasan Bertelsmann dengan judul riset ‘‘Muslims in Europe - Integrated but not accepted?’ Kesimpulan diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap lebih dari 10.000 orang di Jerman, Austria, Swiss, Perancis dan Inggris. Pengungsi Muslim yang tiba di Eropa sebelum tahun 2010 tidak termasuk dalam kelompok responden.
8 foto1 | 8
Apakah konflik identitas yang dialami generasi muda muslim migran di Jerman ikut membuka jalan bagi radikalisasi?
Tentu saja. Kaum muda tidak teradikalisasi ketika mereka menerima pendidikan agama yang baik di rumah, melainkan sebaliknya karena mereka sedang mencari identitas, karena mereka merasa kehilangan, seperti dukungan keluarga, rasa aman, ritual keagamaan dan banyak hal lagi. Jika semua itu tidak ada, maka tercipta potensi radikalisme. Kebanyakan keluarga (kaum muda radikal) sama sekali tidak reilijus dan tidak mengenyam pendidikan agama. Ada juga yang berpindah agama (Muallaf) yang sebelumnya hidup bebas dan tidak memiliki pemahaman apapun tentang agama. Terkadang anak muda tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kebebasan yang mereka miliki.
Bagaimana Anda ingin melindungi kaum muda muslim dari pengaruh ideologi radikal?
Dengan memberikan pilihan kepada mereka. Karena memang tidak ada kebenaran hakiki yang bisa diyakini secara tekstual. Kita mengenal kehidupan Rasul dan Sahabatnya. Kita juga memahami Islam memiliki sejarah yang telah berusia 1500 tahun, di mana terjadi banyak hal yang berbeda-beda. Kita harus menegaskan (kepada pemuda muslim) bahwa kebenaran hadir di sepanjang spektrum keislaman dan tidak muncul dalam satu titik saja. Ada banyak jalan menuju Tuhan. Jika orang ingin mendapatkan pahala, bentuknya tidak harus berperang, melainkan bisa membantu sesama dengan melakukan pekerjaan sosial. Mereka harus dihadapkan pada alternatif (terhadap fundamentalisme) untuk menata keislamannya.
Dan seringkali kaum muda yang teradikalisasi belum pernah merasakan kesuksesan dalam hidup. Biasanya mereka memiliki prestasi buruk di sekolah, tidak diterima kerja atau gagal mendapat pendidikan kejuruan. Dalam hal ini kami bahkan tidak butuh agama, melainkan mengadopsi pendekatan aktivis jalanan yang berusaha menciptakan rasa bangga atas prestasi sendiri dengan misalnya membantu mereka mendapat pendidikan. Sebab itu kami tidak bekerja sendirian, melainkan dalam jejaring bersama aktivis jalanan, lembaga pendidikan, perusahaan dan pusat ketenagakerjaan.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Foto: picture alliance/dpa/M.Fathi
7 foto1 | 7
Sebenarnya pada level apa seorang anak muda bisa digolongkan radikal?
Ketika mereka mulai membenarkan tindak kekerasan dalam video penyiksaan yang mereka lihat di internet. Pada tahap itu kita sudah menghadapi radikalisasi. Tapi awalnya adalah klaim atas kebenaran hakiki, bahwa hanya saya dan kelompok saya yang mengetahui kebenaran dan yang lain berada di jalan yang salah. Juga ketika seseorang membenarkan tindak terorisme atau menentang prinsip kebebasan dan konstitusi, mereka sudah bisa digolongkan teradikalisasi.
Prinsip ekslusivitas sudah mendarah daging dalam agama, karena masing-masing mengklaim kebenaran yang paling hakiki, termasuk yang paling menonjol adalah kelompok konservatif Islam seperti Salafisme. Apakah anda sedang bekerja melawan ideologi tertentu dalam Islam?
Tidak. Namun di Jerman kaum radikal banyak berpangkal pada Salafisme. Tentunya tidak semua salafis lantas menjadi radikal, karena kebanyakan hanya ingin menerapkan ajaran yang ketat terhadap dirinya sendiri, tanpa ambisi politik atau membenarkan kekerasan. Dalam pemahaman keagamaan mereka mungkin radikal, tapi keyakinan mereka tidak mengusik orang lain, kehidupan antara golongan atau sistem negara. Tapi ketika orang tersebut mulai memaksakan ideologinya pada orang lain, maka itu sudah berbahaya.
* * *
Wawancara dilakukan oleh Rizki Nugraha.
Pinar Cetin adalah konsultan pencegahan radikalisme dalam proyek Bahira yang didanai pemerintah Jerman. Ia juga aktif di masjid Sehitlik milik organisasi Islam bentukan Kementerian Agama Turki, DITIB. Pinar yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota parlemen dari Berlin kini aktif mengayomi kaum muda muslim di Berlin agar terjauh dari radikalisasi.
Penyesalan Para WNI Simpatisan ISIS
Mereka terbuai kemakmuran yang dijanjikan Islamic State dan memutuskan pergi ke Suriah. Janji surga tak sesuai kenyataan, mereka pun menyesal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Tergiur janji manis
Banyak keluarga tergiur dengan janji kekalifatan Islamic State alias ISIS di Suriah dan Irak yang ditawarkan lewat internet. Harapan mendapat pendidikan dan layanan kesehatan gratis, upah tinggi dan jalani keislaman kekhalifahan mendorong gadis Indonesia memboyong keluarganya ke Suriah.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Sampai menjual properti
Keluarga Nurshardrina Khairadhania, bahkan sampai menjual rumah, kendaraan dan perhiasan untuk membiayai perjalanan mereka ke Raqqa, Suriah. Sesampainya di sana, kenyataan tak sesuai harapan. Tiap perempuan muda dipaksa menikahi gerilayawan ISIS. Semntara yang pria wajib memanggul senjata dan berperang. Nur dan bibinya masuk dalam daftar calon pengantin yang disiapkan buat para gerilyawan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Beberapa bulan penuh derita
Beberapa bulan setelah menderita di Raqqa, Nur dan keluarganya melarikan diri dengan membayar penyelundup buat keluar dari wilayah ISIS. Neneknya meninggal dunia, pamannya tewas dalam sebuah serangan udara dan beberapa anggota keluarga lainnya dideportasi sejak baru tiba di Turki. Bersama ibu, adik dan sanak saudara yang lainnya Nur berhasil masuk kamp pengungsi Ain Issa, milik militer Kurdi.
Foto: Getty Images/AFP/D. Souleiman
Jalani interogasi
Para WNI pria yang lari dari ISIS pertama-tama diamankan militer Kurdi dan diinterogasi. Setelah perundingan panjang, kini mereka dipulangkan ke Indonesia dan jalani program deradikalisasi yang disiapkan pemerintah. Menyesal! Tinggal kata tersebut yang bisa dilontarkan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Surga atau neraka?
Banyak relawan dari Indonesia yang ingin menjadi jihadis atau pengantin jihadis, untuk mengejar 'surga' yang dijanjikan Islamic State di Suriah atau Irak. Namun menurut mereka yang ditemui adalah 'neraka'
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Nur: IS tidak sesuai kaidah Islam
Dalam wawancara dengan Associated Press, Nur menceritakan perilaku jihadis ISIS tidak sesuai kaidah Islam yang ia pahami. "ISIS melakukan represi, tak ada keadilan dan tak ada perdamaian. Warga sipil harus membayar semua hal, listrik, layanan keseahatan dan lainnya. Sementara jihadis ISIS mendapatkannya secara gratis."
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Proses pemulangan
Banyak kalangan yang tergolong naif atau garis keras atau gabungan keduanya bergabung dengan ISIS, pada akhirnya menyerahkan diri atau ditangkap aparat keamanan. Pejabat Kurdi di Raqqa menyebutkan proses itu interogasi diperkirakan berlangsung hingga enam bulan, sebelum diambil keputusan bagi yang bersangkutan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Termasuk dari Jerman
Banyak warga negera-negara lain yang juga terbuai janji ISIS. Termasuk dari Jerman. Majalah mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan bulan Juli 2017, sejumlah perempuan Jerman yang bergabung dengan ISIS dalam beberapa tahun terakhir, termasuk gadis berusia 16 tahun dari kota kecil Pulsnitz dekat Dresden, menyesal bergabung dengan ISIS. Ed (ap/as/berbagai sumber)