1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismeTimur Tengah

Siapa Yusuf al-Annabi, Emir Baru Al-Qaeda di Afrika Utara? 

25 November 2020

Al-Qaeda di Maghreb (AQIM) menunjuk Yusuf al-Annabi sebagai pemimpin baru. Dia dikenal sebagai veteran, tanpa karisma khas pendahulunya. Pergantian emir di Aljazair diyakini memicu gesekan antara jihadis di Afrika Utara.

Serangan teror terhadap Hotel Splendid di Ougadougou, Burikna Faso, yang diklaim oleh Al-Qaida di Maghreb (AQIM), 16 Januari 2016.
Serangan teror terhadap Hotel Splendid di Ougadougou, Burikna Faso, yang diklaim oleh Al-Qaida di Maghreb (AQIM), 16 Januari 2016.Foto: picture-alliance/dpa/W. Elsen

Abu Obaida Yusuf al-Annabi dilahirkan di Aljazair lebih dari separuh abad silam. Sejak Selasa (23/11), dia diangkat sebagai pemimpin baru Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM), menggantikan Abdelmalek Droukdel yang dibunuh militer Prancis di Mali, Juni silam. 

Kabar itu dipublikasikan oleh SITE, sebuah lembaga yang melacak aktivitas terorisme di internet. Sebelum diangkat, al-Annabi sudah lebih dulu mengepalai dewan pembina dan “kepala urusan media,” kata Laurence Bindner, salah seorang pendiri Jos Project yang menganalisa propaganda ekstremis di dunia maya. 

“Dia adalah salah seorang yang telah bersumpah setia kepada Ayman al-Zawahiri, pemimpin al-Qaeda, pada tahun 2011. Dan dia adalah perumus berbagai pernyataan resmi al-Qaeda di Maghreb dalam beberapa tahun terakhir,” imbuhnya kepada AFP. 

Annabi saat ini diyakini bercokol di Aljazair. Namanya masuk ke dalam daftar teror Amerika Serikat (AS) pada 2015, dan PBB satu tahun kemudian.  

Kelompoknya mengklaim bertanggungjawab atas berbagai serangan, antara lain penyerbuan terhadap sebuah hotel dan restoran di Burkina Faso pada 2016 silam yang menewaskan 30 orang, kebanyakan warga barat. 

Menyusutnya pengaruh emir di Aljazair 

Meski demikian, pengakuan terhadapnya sebagai pemimpin AQIM diyakini tidak telalu menonjol di kalangan jihadis muda. 

“Annabi dikenal, setidaknya bagi saya, sebagai seorang ahli propaganda dan seorang pseudo-ulama, ketimbang figur operasional,” kata Alex Thurston, analis politik di University of Cincinnati yang fokus pada Islam di barat laut Afrika. 

Peta wilayah daerah operasi kelompok teror di Afrika, Al-Qaeda (biru), Islamic State (oranye), Al-Shabbab (kuning) dan Boko Haram (merah muda).

“Menunjuk seseorang yang tidak memiliki pengalaman operasional seperti Droukdel, bagi saya merupakan sebuah pertanda sebuah organisasi yang lemah,” imbuhnya, sembari menambahkan bahwa AQMI “sedang berjuang agar tetap relevan, tanpa otoritas yang karismatik.” 

Analis di Counter Extremism Project, lembaga nonprofit di New York, AS, meyakini hubungan pribadi antara Annabi dan Droukdel sempat meregang. Situasi ini turut membebani hubungan antara emir di Aljazair dan gerakan yang dipimpin Iyad Ag Ghaly, seorang muslim Touareg, di Mali.  

Meski sudah menyatakan kesetiaan kepada al-Qaeda, Ghaly menikmati hak otonomi yang luas dari pendahulu Annabi. Apakah dia akan merawat status quo itu, atau merombak jejaring jihad al-Qaeda, akan menentukan perkembangan gerakan teror di Afrika.  

Ketegangan baru antara jihadis Afrika 

“Selalu ada ketegangan antara para gerilayawan di lapangan di utara Mali, dengan emir AQIM yang sangat terisolasi di Aljazair,” kata Elie Tenenbaum, peneliti French Institute of International Relations (IFRI). 

Dia mengatakan, kebijakan pertama Annabi akan membantu memahami bagaimana dia ingin memosisikan kelompoknya, ketika jejaring al-Qaeda mendapat tekanan dari Islamic State yang juga ingin memperluas wilayah kekuasaan. 

“Apakah dia akan menunjuk komandan-komandan baru untuk semua Katiba (unit tempur) di selatan Aljazair?” tanyanya. “Apakah dia akan menempatkan orang-orangnya sendiri di sana? Apakah dia akan mengubah pola relasi dengan sekutu-sekutu lokal AQIM?” 

Saat ini komunitas keamanan di Afrika menunggu sikap Annabi terkait tawaran negosiasi oleh pemerintah Mali. Langkah itu dikecam Prancis yang menurunkan militernya untuk menghalau ancaman teror di negeri muslim di tepi Sahel tersebut. 

Pemerintah Mali sendiri dikabarkan menganggap grup pimpinan Iyad Ag Ghaly sebagai “kelompok yang bisa diajak berbicara,” kata Tenenbaum lagi. Posisi tersebut menurutnya memperkuat posisi Ghaly dalam persaingan dengan Islamic State. 

Namun hal itu juga berarti potensi konflik di antara kelompok jihadis akan membesar. “Waktu bagi rekonsiliasi sudah berakhir dan terkesan tidak lagi masuk ke dalam agenda,” pungkasnya. 

rzn/pkp  (afp, rtr)  


 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya