1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikNepal

Siapkah Nepal Jawab Keadilan Korban Perang Saudara?

Swechhya Raut
30 Agustus 2024

Undang-undang keadilan transisi Nepal yang akhirnya disahkan diharapkan bisa menangani kasus dugaan kejahatan perang selama 10 tahun pemberontakan Maois melawan kerajaan.

Tentara Nepal tengah melakukan pemeriksaan terhadap penumpang bus di Kathmandu, 2001
Perang saudara di Nepal antara 1996 dan 2006Foto: Devendra Man Singh/AFP/Getty Images

Ribuan orang di Nepal masih menunggu keadilan 20 tahun setelah puluhan ribu orang disiksa, diperkosa, dibunuh, dan dihilangkan secara paksa selama konflik berdarah selama satu dekade antara Partai Komunis Nepal dan pasukan pemerintah.

Amandemen undang-undang yang telah lama tertunda itu ditujukan untuk menangani kejahatan perang yang dilakukan selama perang saudara 1996-2006. Pengesahannya diharapkan akhirnya akan memberikan keadilan bagi para korban seperti Laxmi Khadka.

Khadka terakhir kali bertemu suaminya, Dil Bahadur, pada 13 Maret 2004, ketika sedang makan malam bersama ketiga anaknya di rumah mereka di distrik Bardiya di Nepal barat.

Keintiman itu terusik oleh kedatangan sekelompok tentara Maois yang memasuki rumah dan menyeret Bahadur keluar, dengan alasan perlu "membahas beberapa hal."

Tapi Bahadur tidak pernah pulang.

Dua minggu kemudian, sebuah surat kabar lokal melaporkan bahwa kelompok Maois telah "melenyapkan" Bahadur sebagai musuh yang dicurigai. Tapi karena merasa tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut, Khadka menolak untuk percaya bahwa suaminya telah terbunuh.

"Dia adalah seorang pria biasa yang baru pulang ke rumah beberapa hari lalu setelah berbulan-bulan bekerja di India," katanya kepada DW, mengingat bagaimana dia bahkan pergi mencari suaminya yang hilang di hutan dekat rumah mereka.

"Hal itu berbahaya, tidak hanya karena binatang buas tetapi juga karena konflik," katanya.

Nepal's mercenaries fight for Russia

12:36

This browser does not support the video element.

Sepuluh tahun pertumpahan darah

Pemberontakan kaum Maois, yang dipimpin oleh Partai Komunis Nepal untuk menggulingkan monarki, berakhir pada tahun 2006 dengan lebih dari 13.000 orang tewas dan sekitar 1.300 orang hilang.

Pemerintah Nepal dan Maois menandatangani Perjanjian Damai Komprehensif, CPA, yang membuka jalan bagi pembentukan dua mekanisme keadilan transisi, yakni Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, TRC, dan Komisi Investigasi Orang Hilang Paksa, CIEDP.

Komisi-komisi tersebut dibentuk untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama konflik, tetapi mereka menghadapi tantangan hukum.

Putusan Mahkamah Agung tahun 2015 membatalkan beberapa bagian undang-undang yang membentuk TRC dan CIEDP, "terutama karena mereka diberi wewenang untuk memberikan amnesti kepada pelaku kejahatan serius menurut hukum internasional," menurut Human Rights Watch.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

"Undang-undang tersebut dinilai lemah, sehingga menyulitkan para korban, aktivis hak asasi manusia, dan masyarakat sipil untuk berkoordinasi secara efektif dengan komisi-komisi tersebut," kata pengacara Om Prakash Aryal kepada DW.

Dia mengklaim bahwa pemerintah menunda penunjukan anggota komisi, yang berisiko merusak bukti-bukti kriminal.

"Anggota parlemen tersebut termasuk mantan pejabat pemerintah dan Maois," kata Aryal.

"Mereka memblokir intervensi internasional untuk memastikan impunitas atas tindakan-tindakan yang diambil selama konflik."

Mahkamah Agung Nepal telah menginstruksikan pemerintah untuk merevisi beberapa bagian dari undang-undang tersebut.

Lampu hijau parlemen

Pada bulan Juli lalu, tiga partai besar ​​Kongres Nepal, Partai Komunis Marxis-Leninis Bersatu, dan Partai Komunis Nepal Maois, membentuk mekanisme untuk mencari titik temu pada ketentuan yang kontroversial dalam RUU tersebut.

Mereka mencapai kesepakatan tertulis pada awal bulan ini, dan pada tanggal 14 Agustus, majelis rendah parlemen Nepal menyetujui amandemen yang telah lama tertunda terhadap undang-undang keadilan transisi.

Ram Kumar Bhandari, yang ayahnya menghilang selama konflik, melihat ini sebagai "pencapaian bersejarah."

Bhandari yakin ketentuan hukum baru mencakup jaminan kebenaran, keadilan, dan ganti rugi tetapi menunggu penerapan hukum yang efektif.

"Kami telah terjerat dalam jaringan hukum dan politik selama bertahun-tahun. Sekarang, kami mengharapkan penekanan pada kebutuhan dasar korban dan penyintas akar rumput, bukan hanya aspek hukum," katanya kepada DW.

Sambutan kritis

Prakash Chaudhary, korban penghilangan paksa oleh negara selama 82 hari pada tahun 2002, menyambut baik amandemen tersebut.

Pada tahun 2005, adik laki-laki Chaudhary, yang masih sekolah, dibunuh karena diduga membeli mi instan untuk kaum Maois.

"Keluarga kami menghabiskan waktu bertahun-tahun menunggu keadilan," kata Prakash. "Jika undang-undang baru menghukum mereka yang bertanggung jawab atas penderitaan kami, penantian panjang kami akan terbayar."

Namun, beberapa aktivis dan organisasi hak asasi manusia menunjukkan bahwa ketentuan yang bermasalah tetap ada, termasuk definisi dan klasifikasi pelanggaran hak asasi manusia.

Pengacara Om Prakash Aryal mencatat bahwa definisi tersebut tidak konsisten dengan standar hak asasi manusia internasional.

Improving land management in Nepal

07:00

This browser does not support the video element.

"Definisi tersebut tidak membahas masalah yang terkait dengan tentara anak dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang disebutkan dalam perjanjian damai dan konstitusi sementara," katanya.

"Bagaimana korban dapat merasa puas jika masalah tersebut tidak ditangani oleh hukum?" Lenin Bista, yang direkrut sebagai tentara Maois pada usia 12 tahun, memiliki pendapat yang sama. "Kami telah mengadvokasi dukungan ekonomi dan psikososial bagi tentara anak-anak. Namun pemerintah terus menyangkal keberadaan kami bahkan dalam undang-undang keadilan transisi."

Kompensasi di atas keadilan?

Pernyataan bersama dari Amnesty International, Human Rights Watch, dan Komisi Ahli Hukum Internasional menyoroti bahwa meskipun UU Keadilan Transisi memuat beberapa ketentuan positif, ia juga memiliki unsur-unsur yang dapat memadamkan efektivitasnya.

"Keadilan transisi seharusnya tidak berubah menjadi praktik lain di mana para korban didorong untuk menerima kompensasi tanpa kebenaran dan keadilan," kata pernyataan tersebut.

Khadka, yang berjuang dengan jargon hukum yang digunakan oleh para pemimpin dan organisasi, menunggu arahan tentang langkah selanjutnya. Keadilan baginya berarti mengetahui nasib suaminya.

"Jika mereka membuktikan bahwa suami saya terbunuh, saya akan melakukan upacara terakhirnya," katanya. "Itu akan menjadi kebenaran yang paling menyakitkan, tetapi saya percaya jiwanya akhirnya akan menemukan kedamaian."

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait