1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismePrancis

Sidang Pembunuhan Samuel Paty Hantui Sekolah-sekolah Prancis

Lisa Louis
8 Desember 2023

Enam remaja didakwa membantu pembunuhan terhadap Samuel Paty terkait karikatur Nabi Muhammad. Pengadilan kini bersiap menjatuhkan vonis. Tapi Prancis mendebatkan kenapa kaum muda bisa terlibat dalam aksi brutal tersebut.

Lokasi pembunuhan Samuel Paty di Conflans-Sainte-Honorine, 30 km dari ibu kota Prancis, Paris
Lokasi pembunuhan Samuel Paty di Conflans-Sainte-Honorine, 30 km dari ibu kota Prancis, ParisFoto: Bertrand Guay/AFP

Pembunuhan terhadap guru sejarah Prancis Samuel Paty tanggal 16 Oktober 2020 hingga kini masih terngiang di benak banyak orang. Betapa tidak? Di depan gerbang sekolah Jumat sore itu, lehernya digorok oleh seorang pemuda Chechnya berusia 18 tahun setelah menunjukkan gambar karikatur Nabi Muhammad terbitan majalah satir Charlie Hebdo di jam pelajaran.

Paty ingin menggugah diskusi tentang kebebasan berekspresi. Namun sang pembunuh mengaku ingin "membalaskan dendam nabi". Alasan serupa dipakai oleh dua orang teroris untuk menyerang kantor Charlie Hebdo di ibu kota Paris pada Januari 2015 silam dan menewaskan 12 awak redaksi.

Selain pelaku utama, terdakwa teror di Paris mencakup lima orang remaja pria dan seorang remaja perempuan. Mereka berusia antara 13 hingga 15 tahun ketika kejadian. Sebabnya, pengadilan memerintahkan sidang tertutup demi melindungi terdakwa. Karena berusia di bawah umur, mereka hanya diancam hukuman penjara hingga dua setengah tahun.

French teachers in danger

05:10

This browser does not support the video element.

Kampanye kebencian di media sosial

Salah seorang terdakwa adalah murid perempuan yang pertama kali menghasut aksi protes mematikan terhadap Paty. Dia mengaku kepada ayahnya bahwa Paty telah meminta murid beragama Islam untuk meninggalkan kelas sebelum menampilkan kartun kontroversial tersebut. Gadis itu membingkai seakan dia dikeluarkan dari sekolah karena menentang aksi sang guru.

Ayahnya yang marah sontak mengunggah video online dan menuntut sanksi, sambil menyebut nama Samuel Paty. Hasutan itu menjadi viral dan menarik perhatian nasional. Tapi apa yang saat itu belum diketahui adalah bahwa remaja putri itu telah berbohong. Dia bahkan tidak dijadwalkan menghadiri kelas Paty dan hanya mencari alasan setelah diskors karena berperilaku buruk. Kini dia didakwa telah menyebar fitnah.

Lima terdakwa lainnya mengaku telah membantu sang pembunuh mengidentifikasi Paty dengan imbalan uang. Kepada anak-anak tersebut, sang pembunuh diyakini mengklaim hanya ingin membuat Samuel Paty meminta maaf di depan kamera.

Selama sidang, keluarga Paty ingin memahami bagaimana serangan itu bisa terjadi, kata Virginie Le Roy, pengacara yang mewakili orang tua Paty, saudara perempuannya, seorang ipar serta dua keponakannya.

"Apakah anak-anak muda menganggap Paty pantas dihukum karena menayangkan kartun tersebut atau mereka hanya mengejar uang?” tanyanya dalam wawancara dengan DW. "Poin ini menjadi lebih penting karena semua terdakwa lahir di Prancis dan harus berkomitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, termasuk kebebasan berekspresi,” tambah Le Roy.

Efek jera vonis pengadilan

Raphael Dargent, seorang guru sejarah dan anggota serikat guru Prancis, SNALC, mengatakan diskursus nasional tentang bagaimana mencegah tindak kriminal atau terorisme di kalangan remaja saat ini sudah terlambat. "Banyak guru mengkhawatirkan serangan baru,” kata pria berusia 53 tahun itu kepada DW.

"Pemerintah harus fokus pada pengendalian yang lebih baik terhadap akses jejaring sosial, memberikan kami dukungan yang diperlukan untuk mengkampanyekan sekularisme, yang ditolak oleh sejumlah siswa, dan mengamankan sekolah secara memadai untuk mencegah penyerang masuk,” tambah Dargent.

Paul Renault, seorang remaja berusia 18 tahun dan anggota organisasi mahasiswa, FIDL, mengamini pendapat tersebut. "Banyak siswa yang takut,” kata dia kepada DW. "Persidangan ini seharusnya menjadi kesempatan untuk menggencarkan debat publik tentang bagaimana menjamin keamanan di sekolah. Namun, hal ini tidak terjadi,” tambahnya.

Le Roy masih berpendapat bahwa kasus di pengadilan bisa menjadi efek jera – jika ada putusan bersalah.

"Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan kita membela nilai-nilai dasar demokrasi, dan pihak yang terlibat tidak bisa lepas begitu saja,” katanya. rzn/hp

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite. 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait