Myanmar diuntungkan oleh kebijakan non-intervensi ASEAN dalam isu pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya. Namun dalam KTT ASEAN ke-50 di Manila, Indonesia dan Malaysia siap menanggalkan konsensus lama tersebut.
Iklan
Ketika Aung San Suu Kyi berupaya menggulingkan hegemoni junta militer Myanmar dua dekade silam, dia mendesak negeri jiran ASEAN untuk menggunakan pengaruh terhadap Yangon. "Kebijakan non-intervensi cuma alasan untuk tidak menolong," ujarnya mengritik salah satu konsensus 10 negara Asia Tenggara untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara anggota.
"Di hari-hari seperti ini," tulis Suu Kyi di harian Thailand, The Nation, tahun 1999, "anda tidak bisa menghindari campur tangan terhadap urusan negara lain." Antara lain tekanan politik ASEAN pula yang kemudian menggerakkan junta militer Myanmar untuk membuka jalan bagi demokrasi.
Namun kini Suu Kyi berpaling arah ketika memimpin negeri yang sering bergolak oleh pemberontakan dan perang saudara itu. Ketika mendatangi KTT ASEAN di Manila, Senin (13/11), dia bertaruh pada sikap diam negeri jiran terhadap bencana kemanusiaan dan genosida yang dialami etnis Rohingya.
Bocah Rohingya: Diperkosa, Diculik dan Ditelantarkan
Pelarian Rohingya adalah kisah penderitaan panjang anak-anak. Lebih dari 60% pengungsi etnis minoritas itu berusia di bawah umur. Sebagian besar mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan orangtuanya dibantai.
Foto: DW/J. Owens
Ditembak dan Ditusuk
Sejak Agustus silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Dihantui Trauma
Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Konflik Panjang
Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Pelarian Bocah Yatim
Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Diburu Seperti Binatang
Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Penculikan Anak
Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."
Foto: DW/J. Owens
"Pikiran saya tidak normal"
Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Dibunuh dan Diperkosa
Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya. (Foto: John Owens/rzn/yf)
Foto: DW/J. Owens
8 foto1 | 8
"Saat ini pemerintahan Suu Kyi diuntungkan oleh budaya diam ASEAN," kata David Mathieson, mantan pegiat HAM yang kini bekerja sebagai analis independen di Myanmar. Perempuan yang memenangkan hadiah Nobel Perdamaian 1991 silam berkat "pergulatan tanpa kekerasan demi Demokrasi dan Hak Azasi Manusia," itu malah mengabaikan pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di negaranya.
Maka di tahun ke 50 sejak pendiriannya, kebijakan non-intervensi ASEAN menghadapi ujian dalam kasus Rohingya. Chandra Widya Yudha, Direktur Kerjasama Politik dan Keamanan ASEAN di Kementerian Luar Negeri mengaku akan mengangkat isu Rohingya selama KTT. "Kita tidak bisa bersikap diam karena kita harus menolong mereka," ujarnya kepada Associated Press.
Selain Indonesia, Malaysia juga diyakini bakal menggunakan forum di Manila untuk menekan pemerintah Myanmar.
Khin Zaw Win, analis politik di Yangon, mengatakan ASEAN harus lebih tegas dalam kasus Rohingya. "Isunya harus diangkat jika ASEAN ingin mempertahankan kredibilitasnya," kata Win. Menurutnya negara-negara anggota ASEAN khawatir akan menghadapi tekanan asing jika kebijakan non-intervensi diabaikan. "Mereka khawatir nanti masalah di dalam negeri akan mengundang kritik dari luar."
Bantuan Indonesia bagi Rohingya
Rabu 13 September, Indonesia kirim bantuan tahap pertama bagi warga Rohingya yang berada di daerah perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh. Bantuan berikutnya akan menyusul pekan-pekan mendatang.
Foto: Biro Pers Setpres
Presiden Lepas Bantuan Kemanusiaan
Presiden Joko Widodo berbicang sejenak tentang masalah pengiriman bantuan yang dibawa oleh pesawat milik Angkatan Udara Indonesia, dari bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 13 September 2017.
Foto: Biro Pers Setpres
Ditujukan Agar Secepat Mungkin Diterima
Barang bantuan diberangkatkan dengan menggunakan empat pesawat Hercules. Berbeda dengan bantuan lain yang sudah pernah diberikan Indonesia bagi Rohingya akhir tahun lalu, yang dibawa dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Foto: Biro Pers Setpres
Membawa Barang Yang Diperlukan
Dalam empat pesawat Hercules diangkut beras, makanan siap saji, family kit, tangki air, tenda pengungsi, pakaian anak dan selimut. Demikian dikatakan Presiden Joko Widodo saat melepas keberangkatan pesawat.
Foto: Biro Pers Setpres
Mendekati Lokasi Pengungsi
Presiden mengatakan juga, diharapkan bantuan bisa dibawa hingga sedekat mungkin dengan pesawat ke lokasi tempat pengungsi berada di perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar. Dari pesawat barang bantuan akan diangkut dengan truk.
Foto: Biro Pers Setpres
Sokongan Semua Pihak
Saat melepas bantuan, Presiden didampingi Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala BNPB Willem Rampangilei. (Penulis: ml/hp)