1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Silang Sengketa Pengurangan Subsidi Pertanian Uni Eropa

as21 November 2008

Terutama Jerman dan Perancis yang menolak pengurangan subsidi pertanian. Namun Brussel menilai, dalam jangka panjang sistem pasar bebas yang akan menentukan mati-hidupnya pasar komoditi pertanian.

Para peternak dan petani skala kecil mengecam rencana reformasi tambal sulam di bidang subsidi pertanian Uni Eropa.Foto: AP

Silang sengketa mengenai rencana pengurangan bahkan penghapusan subsidi pertanian di Uni Eropa serta program konjunktur Uni Eropa dikomentari sejumlah harian Eropa.

Harian Jerman Stuttgarter Zeitung yang terbit di Stuttgart dalam tajuknya berkomentar.

Dalam kenyataannya tidak ada yang merasa puas dengan kompromi pengurangan subsidi pertanian Uni Eropa. Sebab, bukannya membuat keputusan yang meringankan beban para petani kecil yang eksistensinya terancam, dan di sisi lainnya mengurangi subsidi untuk industri pertanian besar, para menteri pertanian Uni Eropa justru hanya memutuskan program tambal sulam reformasi kecil-kecilan. Yakni dengan cara setengah hati, mengurangi subsidi di satu sektor tapi juga sekaligus mengalihkannya ke sektor lain.

Harian Jerman lainnya Rhein Zeitung yang terbit di Koblenz dalam tajuknya juga menulis komentar senada.

Sudah jelas, reformasi kecil-kecilan dari Brussel baru tahap awal. Pada dasarnya kompromi itu bukan untuk menghapus subsidi secara keseluruhan. Tidak ada yang menghendakai budidaya monokultur seperti di AS. Tapi, masadepan pertanian di Uni Eropa tidak berada di kandang sapi, melainkan di laboratorium penelitian. Dipertanyakan bagaimana sebuah masyarakat pertanian hendak bersaing di pasar bebas, jika 80 persen dari anggaran rumah tangganya berupa subsidi? Sejauh ini tidak ada yang dapat menjelaskannya. Sistem anggaran dari kemarin, tidak cocok untuk Uni Eropa esok hari. Uni Eropa harus menyelaraskan sistem keuangan dengan prioritas politiknya.

Sementara harian konservatif Perancis Le Figaro mengomentari politik pemerintah Jerman yang tidak bersedia mengeluarkan tambahan anggaran untuk program konjuktur Uni Eropa. Harian yang terbit di Paris ini menulis :

Kanselir Jerman Angela Merkel berupaya agar negaranya jadi lokomotiv pertumbuhan ekonomi di Eropa. Namun tidak bersedia mengeluarkan anggaran tambahan satu sen-pun. Berlin tetap hanya menganggarkan 32 milyar Euro untuk program konjunktur Uni Eropa selama dua tahun. Padahal kontribusi Jerman seharusnya satu persen dari pendapatan domestik kotornya, dan itu jumlahnya 25 milyar Euro setahun. Walaupun Jerman selalu mengupayakan kompromi di sektor kontribusi anggaran bagi Uni Eropa, tetapi beban kewajiban akan terus menekan pemerintah di Berlin.

Dan terakhir harian ekonomi Inggris Financial Times yang terbit di London juga senada mengomentari sikap Jerman tsb.

Para politisi Jerman berperilaku ibarat burung unta, memasukkan kepalanya ke dalam pasir jika terancam bahaya. Mereka terlambat menyadari, betapa ringkihnya sektor perbankan nasionalnya dalam krisis keuangan global saat ini. Sekarang, kelihatannya para politisi Jerman juga keliru menaksir besaran krisis yang melanda sektor ekonomi. Karena itu Berlin hendak menghambat dijalankannya program konjunktur yang serius dan menyeluruh. Hal ini bukan hanya merugikan pemerintah Jerman saja, melainkan juga negara-negara tetangganya. Sekarang, konsumen Jerman harus mendapat rangsangan untuk semakin banyak belanja. Dengan itu konsumen menunjang ekonomi Jerman sendiri, sekaligus ekonomi di luar negerinya.