Rencana pemerintah Cina untuk menjadikan Islam selaras dengan budaya dan masyarakat Cina mengundang kecaman luas. Bisakah Beijing mencapai tujuan ini di tengah situasi global saat ini? Laporan William Yang.
Iklan
Pada Minggu (06/01), otoritas Cina mengumumkan rencana mereka untuk mengintegrasikan Islam ke dalam kehidupan sosial budaya Cina melalui rencana lima tahun. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan tanggal 4 Januari 2019 di surat kabar pemerintah Global Times, perwakilan asosiasi Islam dari delapan provinsi di Cina berpartisipasi dalam suatu seminar di Beijing dan membahas garis besar cara menyelaraskan Islam dengan norma-norma Cina. Seorang pejabat pemerintah mengatakan, penting bagi komunitas Muslim Cina untuk "memperbaiki sikap politik mereka dan mengikuti pimpinan Partai Komunis."
Pengumuman itu datang hanya beberapa hari setelah polisi dilaporkan menggerebek tiga masjid yang tidak terdaftar di barat daya provinsi Yunnan, melukai puluhan jemaah dan menangkap lebih dari 40 orang.
David Stroup, seorang pakar tentang Cina di Universitas Oklahoma, mengatakan kepada DW bahwa pemerintah Cina ingin memperketat kontrol atas kelompok-kelompok Islam dan mengambil langkah untuk menghilangkan karakter yang terlalu asing dari tempat-tempat umum.
"Ini bisa berarti upaya berkelanjutan untuk menghilangkan tanda-tanda publik dalam bahasa Arab atau membuat perubahan pada masjid bergaya Arab," kata Stroup. "Pada saat yang sama, pemerintah mungkin mencoba untuk mengambil kontrol langsung atas praktik ibadah, terutama pada khotbah mingguan ulama," tambahnya.
Cina melarang minoritas muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya bangsa Uighur?
Foto: Reuters/T. Peter
Represi dan Larangan
Uighur adalah etnis minoritas di Cina yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah ketimbang mayoritas bangsa Han. Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Dalih Radikalisme
Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala redikalisme agama."
Foto: Reuters/T. Peter
Balada Turkestan Timur
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke20 etnis tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan Cina dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Foto: Reuters/T. Peter
Minoritas di Tanah Sendiri
Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar 6%, tahun 2010 lalu jumlahnya berlipatganda menjadi 40%. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. W. Young
Hui Yang Dimanja
Kendati lebih dikenal, Uighur bukan etnis muslim terbesar di Cina, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim Cina yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong
Terorisme dan Separatisme
Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.
Foto: Getty Images
Kemakmuran Semu
Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Foto: Reuters/T. Peter
Ketimpangan Berbuah Konflik
BBC menulis akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh Cina. Akibatnya etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti Cina di kalangan etnis Uighur. Ed.: Rizki Nugraha (bbg. sumber)
Foto: Getty Images
8 foto1 | 8
'Isolasi Muslim'
Haiyun Ma, seorang profesor sejarah di Frostburg State University yang berbasis di Amerika Serikat, mengatakan bahwa usaha pemerintah Cina untuk mengintegrasikan Islam ke norma sosial budaya Cina hampir seperti tindakan xenofobia. Ma percaya bahwa dengan menekankan perlunya menghilangkan pengaruh asing, Partai Komunis ingin menciptakan versi Islam Cina yang dipandu oleh ateisme.
"Selain itu, pemerintah ingin memisahkan Muslim Cina dari negara-negara Muslim lainnya. Dengan kata lain, Cina berusaha untuk mengisolasi komunitas Muslimnya seraya mengklaim bahwa mereka merangkul globalisasi," tambah Ma.
Banyak pengamat melihat peningkatan upaya untuk memodifikasi Islam sebagai bagian dari penumpasan besar-besaran terhadap Muslim, terutama di wilayah Xinjiang. Pihak berwenang dilaporkan telah menempatkan setidaknya satu juta Muslim Xinjiang di kamp-kamp interniran. Langkah-langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat Islam di provinsi lain bahwa Beijing ingin menerapkan model sinofikasi di seluruh negeri.
Pada November tahun lalu, Global Times melaporkan bahwa para pejabat di daerah dengan populasi Muslim yang cukup besar "belajar" dari hal yang terjadi di Xinjiang, yang menurut pemerintah bertujuan untuk mengekang terorisme.
Sejak tiga dekade terakhir Islam tumbuh dan berkembang di kalangan suku Maya di Meksiko. Diskriminasi dan kemiskinan yang dialami warga kelas dua itu membuat mereka berpaling kepada agama yang tidak mengenal kasta.
Foto: Reuters/E.Garrido
Jejak Islam di San Cristobal
Di negara bagian Chiapas, sebuah kawasan berbukit nan hijau dan asri di selatan Meksiko, hidup sekelompok kecil Muslim yang kebanyakan merupakan anggota suku Tzotzil. Sebagian besar bertukar keyakinan dari Katholik atau Kristen menjadi Islam. Saat ini kaum muslim di Meksiko berjumlah hampir 4.000 orang.
Foto: Reuters/E.Garrido
Ekspor Agama dari Spanyol
Adalah perantau asal Spanyol yang kemudian memperkenalkan Islam sekte Murabitun di Meksiko akhir dekade 80an. Awalnya mereka bermukim di kota San Cristóbal dan memiliki kedekatan ideologis dengan pengikut Zapatista yang beraliran kiri dan anti kapitalis. Pada 2015 banyak anggota suku asli Maya, termasuk Tzotzil, beralih memeluk Islam.
Foto: Reuters/E.Garrido
Muslim di Jantung Katholik
Menurut sensus terakhir, 83% penduduk Meksiko beragama Katholik. Meski populasi kaum muslim cuma berkisar kurang dari 1% dari 120 juta penduduk, kebanyakan merupakan suku asli yang hidup di sekitar San Cristóbal, sebuah kota di dataran tinggi Chiapas yang memadukan budaya Spanyol dan Maya.
Foto: Reuters/E.Garrido
Berbaur dengan Budaya Maya
"Orang memandang kami dengan aneh, mereka pikir kami teroris dan mereka takut," kata Mustafa, seorang anggota komunitas Ahmadiyah. "Tapi seiring dengan waktu dan berkat tindakan kami, pandangan tersebut mulai berubah," imbuhnya. Kaum muslim di Meksiko mudah dikenali lewat kopiah yang dikenakan para lelaki dan syal khas suku Maya yang diubah menjadi jilbab oleh kaum perempuan.
Foto: Reuters/E.Garrido
Diskriminasi Sehari-hari
Suku asli Maya tergolong warga kelas dua di Meksiko. Kemiskinan pun menjadi keseharian. Potret diskriminasi terhadap suku Maya bisa terlihat dari keseharian di San Cristóbal: warga asli yang sedang berjalan di atas trotoar terbiasa menyingkir ke jalan jika berpapasan dengan penduduk kulit putih. Sementara pasar terbesar di kota dikuasai oleh suku asli beragama Katholik.
Foto: Reuters/E.Garrido
Islam Bersambut Kecurigaan
Pemerintah Meksiko awalnya juga menaruh kecurigaan pada gelombang Islamisasi suku Maya. Presiden Vicente Fox kala itu mengkhawatirkan pengaruh ideologi radikal dan potensi terorisme. Dinas Rahasia ditugaskan memantau komunitas muslim di San Cristóbal. Namun kecurigaan tersebut berakhir setelah ketahuan minoritas muslim di Meksiko tidak memiliki agenda politik apapun.
Foto: picture alliance/dpa/R. Arauxo
Pertarungan Tiga Agama
Chiapas sudah sejak lama menjadi ladang pertikaian antar agama. Awalnya penjajah Spanyol memaksa suku asli memeluk agama Katholik, tidak jarang dengan kekerasan. Namun separuh abad kemudian giliran misionaris Kristen Protestan asal Amerika yang mencoba mengusir pengaruh Vatikan dari pedalaman Meksiko.
Foto: Reuters/E.Garrido
Kecil dan Aktif
Kaum muslim di San Cristóbal memiliki sebuah restoran Pizza dan bengkel kayu. Di halaman belakang mereka membuka sekolah Al-Quran untuk anak-anak dan sebuah Mushalla kecil untuk menunaikan sholat lima waktu. Uniknya setiap suku asli yang memeluk Islam diwajibkan menebar dakwah Islam kepada sanak keluarganya. (rzn/yf - rtr, spiegel, vice)
Foto: Reuters/E.Garrido
8 foto1 | 8
Pengaruh eksternal
Stroup mengatakan komunitas internasional perlu meningkatkan tekanan pada Beijing untuk memaksa pemerintah mengubah perlakuannya terhadap komunitas Muslim.
"Sejauh ini, komunitas internasional belum menanggapi masalah ini dengan serius," kata Stroup.
Ma berpandangan bahwa tidak mudah bagi Beijing untuk melancarkan rencananya karena program pemerintah Belt and Road Initiative (BRI) bernilai miliaran Dolar melibatkan sejumlah negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Kazakstan, Pakistan dan Turki.
Tetapi para pengamat percaya AS bisa menggunakan pengaruhnya untuk menekan Cina.
"Ada kemungkinan bahwa AS dan negara-negara Barat lainnya dapat bekerja sama dengan negara-negara Muslim untuk mengatasi masalah ini," saran Ma. "Dengan kata lain, AS dapat memenangkan hati dan pikiran negara-negara Islam utama."
Prekursor konflik besar?
Ma percaya bahwa pemerintah lokal cenderung memainkan peran utama dalam upaya sinofikasi Islam dan Cina, tetapi memperingatkan bahwa peran ini disertai dengan beberapa risiko.
Konflik kekerasan antara otoritas lokal dan komunitas Muslim telah meletus di Ningxia dan Yunnan dalam beberapa tahun terakhir. Cui Haoxin, seorang penyair Hui Muslim, mengatakan kepada DW bahwa langkah-langkah sinofikasi Islam tidak akan mudah diterima oleh komunitas Muslim.
Cui mengatakan bahwa tindakan seperti itu dapat memiliki efek bola salju dan kemungkinan akan berubah menjadi konflik besar di masa depan.
"Sulit untuk merasionalisasi langkah-langkah ini," kata Cui seraya menambahkan bahwa situasi bagi umat Islam di Cina semakin buruk.
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Buka Kunci Sejarah Indonesia
Terletak di kawasan perumahan di Tangerang, ruko berlantai dua ini diubah menjadi penyimpanan berbagai buku, majalah, koran, komik dan literatur tentang Tionghoa yang diberi nama “Museum Pustaka Peranakan Tionghoa”.
Foto: Monique Rijkers
Mengenal Museum Peranakan Tionghoa
Proses pengumpulan pustaka dilakukan sejak 2005. Kehadiran museum ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang peran orang Tionghoa di Indonesia dan memupus kesan negatif yang masih melekat pada segelintir orang Indonesia.
Foto: Monique Rijkers
Kontribusi Nyata Non Tionghoa
Azmi Abubakar bukan keturunan Tionghoa dan tidak berkaitan dengan Tiongkok. Namun ia berkontribusi bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Koleksinya dilirik hingga ke luar negeri dan membawa Azmi jadi pembicara tentang peranakan Tionghoa. Setelah museum, Azmi Abubakar berupaya membangun Universitas Cheng Ho di Aceh, tanah kelahirannya.
Foto: Monique Rijkers
Koleksi Pustaka, Koleksi Pengetahuan Sejarah
Bambang Sriyono, kawan seperjuangan Azmi Abubakar dalam membangun Museum ini memperkirakan hingga awal 2018 sudah ribuan buku ada di sini. Buku-buku itu berasal dari toko buku bekas di beberapa kota, diberikan orang hingga perburuan ke orang yang pindah rumah. Menurut Bambang Sriyono atau akrab disapa Ibeng, koleksi museum bisa dipamerkan di luar museum sebagai sarana edukasi kepada masyarakat.
Foto: Monique Rijkers
Bahasa Mandarin Dalam Aksara Jawa
Pengelola museum, Bambang Sriyono berkata, “Karena tak tahu bahasa Mandarin, banyak buku yang belum ketahuan isinya.” Ia berharap ada yang berminat menerjemahkan buku-buku ini ke bahasa Indonesia agar menambah khazanah pengetahuan. Buku tertua ini misalnya, ditulis dalam aksara Jawa kuno tetapi berbahasa Mandarin sehingga butuh penerjemah bahasa Jawa yang bisa bahasa Mandarin.
Foto: Monique Rijkers
Pendidikan Untuk Murid Tionghoa
Dari buku-buku tahunan ini diketahui ada sekolah khusus Tionghoa di Jakarta, Semarang dan Cirebon. “Tiong Hoa Hwee Koan” adalah sekolah di Jalan Patekoan 31 Jakarta yang berdiri sejak 1901 hingga ditutup pemerintah 1960. Di Jl Kampung Baru Utara 80, Jakarta ada sekolah dwibahasa bernama “The Chinese High School”. Kini di Tangerang ada upaya membangun kembali sekolah serupa yaitu Sekolah Pa Hoa.
Foto: Monique Rijkers
Pemakaman Bersejarah di Cirebon
Dari biografi “Majoor Tan Tjin Kie” yang disusun Tan Gin Ho, anak almarhum membawa pembaca pada peristiwa kematian Tan Tjin Kie, pemilik pabrik gula “Suikerfabriek Luwunggadjah”, orang terkaya di Cirebon, Jawa Barat. Saat meninggal 1919, peti matinya ditarik 240 orang dan dihadiri masyarakat Cirebon yang kehilangan sosoknya yang membangun masjid dan Rumah Sakit “Dr. Gottlieb” (RSUD Gunung Jati).
Foto: Monique Rijkers
Pendiri Rumah Sakit Husada di Jakarta
Dokter Kwa Tjoan Sioe pada 1924 sudah mengajak rekan-rekan dokter dan pengusaha Tionghoa dirikan perkumpulan Jang Seng Ie guna membangun klinik bersalin di Jakarta. Saat itu angka kematian bayi mencapai 45% dari jumlah kelahiran. Saking banyaknya pasien, kadang para pasien harus diinapkan di rumah dokter. Pada tahun 1965, Rumah Sakit Jang Seng Ie diganti nama jadi RS Husada oleh pemerintah.
Foto: Monique Rijkers
Lie Kim Hok, Tokoh Sastra Tionghoa-Melayu
Catatan kesusasteraan Melayu-Tionghoa banyak menyebut nama Lie Kim^Hok sebagai penulis Melayu-Tionghoa pertama yang sangat mempengaruhi perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ia merintis penggunaan bahasa Melayu yang kemudian jadi bahasa Indonesia di Jawa, Padang, Medan, Palembang, Banjarmasin dan Makassar. Buku pada foto ini ditulis oleh Tio Ie Soei untuk mengenang ulang tahun Lie KimHok ke-105.
Foto: Monique Rijkers
Cita Rasa Tionghoa Dalam Keberagaman
Cita rasa Tionghoa sangat mempengaruhi masakan di Indonesia. Dari buku resep masakan yang dikompilasi oleh Lie Tek Long terbitan Batavia tahun 1915, pembaca bisa mengetahui aneka bumbu dan bahan dalam makanan Betawi, Jawa dan Melayu seabad silam. Untuk sambal saja, buku ini memuat 40 resep sambal. Selain sambal, ada pula resep laksa, perkedel nyonya, sate Njo Kim Poei, sop telor burung, dll.
Foto: Monique Rijkers
Daur Ulang Komik Tionghoa Kekinian
Banjir sejak dahulu rupanya sudah menjadi momok bagi warga Jakarta. Hal ini bisa dilihat dalam komik yang menggambarkan kritik sosial dan keseharian seorang Tionghoa yang digambarkan selalu sial dalam komik yang berjudul Put On atau “Si Gelisah”. Put On menjadi judul komik karya Kho Wan Gie yang diterbitkan setiap edisi majalah Sin Po mulai tahun 1931.
Foto: Monique Rijkers
Koleksi Foto Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Saat rumah Jon Lie mau dijual, pendiri museum, Azmi Abubakar datangi rumah itu dan mendapat koleksi surat dan album foto pahlawan nasional Tionghoa pertama Indonesia itu. John Lie atau Lie Tjeng Tjoan dikenal sebagai mayor, komandan maritim Jakarta. Kisah tentangnya sangat minim karena profesinya sebagai penyelundup senjata untuk kebutuhan Angkatan Laut Indonesia melawan Belanda.
Foto: Monique Rijkers
Nama Indonesia dari Majalah Sin Po Tahun 1926
Membuka lembar-lembar halaman koleksi museum ini sesungguhnya menyelami rekam jejak sejarah Indonesia. Nama Indonesia dahulu digunakan oleh penulis-penulis Belanda dan Jerman pada rentang 1850-1880. Namun koran Sin Po yang terbit sejak 1910 dianggap mempopulerkan Indonesia. Pada terbitan mingguan Sin Po tahun 1926, Indonesia dipilih menjadi nama kolom yang memuat tulisan tentang beragam hal.
Foto: Monique Rijkers
Menjadi WNI
Meski peranakan Tionghoa di Indonesia berkontribusi pada bangsa ini, namun kebijakan politik Orde Lama hingga Orde Baru sisakan luka. Museum ini memiliki segepok dokumen kependudukan yang menorehkan catatan kelam dalam sejarah Indonesia. Surat pernyataan melepas kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok untuk menjadi Warga Negara Indonesia di foto ini dikeluarkan di Surabaya pada tahun 1961.
Foto: Monique Rijkers
Ketika Ada "Staf Chusus Urusan Tjina"
Mengacu pada dokumen Laporan Tahunan Kabinet Pembangunan tahun 1968, berdasarkan Undang-undang No 4/1961 WNI yang masih memakai nama Cina wajib mengubah namanya sesuai nama Indonesia asli. Repotnya nama yang dipilih itupun masih bisa digugat oleh pihak yang keberatan pada pilihan nama baru tersebut. Dalam dokumen ini disebutkan masa tunggu ada-tidaknya gugatan selama tiga bulan.
Foto: Monique Rijkers
Di Balik Papan Nama Bolak-Balik
Berbagai papan nama Tionghoa - saksi bisu asimilasi identitas - jadi bagian penting koleksi museum. Papan nama yang dulu umumnya dipasang di depan rumah ini bisa dibolak-balik tergantung situasi. Jika ada keluarga yang akan berkunjung, papan bertuliskan Tan Lian Tjhoen yang ditampilkan. Setelah keluarga pergi, demi kenyamanan bertetangga, papan nama kembali menjadi nama Indonesia, Djoenaedy.
Foto: Monique Rijkers
Merawat Sejarah, Merajut Keberagaman
Dudi Duta Akbar, rekan Azmi Abubakar mengumpulkan bahan tulisan tentang koleksi museum. Kelak, seluruh pustaka yang ada diharapkan bisa jadi sumber sejarah Tionghoa dan rujukan jejak nenek moyang keluarga keturunan Tionghoa. Koleksi museum sudah berhasil menghadirkan bukti keberagaman di Indonesia yang harus selalu dirajut tanpa lelah. Penulis: MoniqueRijkers (ap/vlz)