Bumi Papua kembali bergolak. Bila tidak ada penyelesaian substansial akan kembali berulang di lain waktu. Opini Aris Santoso.
Iklan
Papua kembali bergolak. Apa yang terjadi hari-hari ini di Mimika masih belum jelas benar, karena berita yang berkembang masih simpang-siur. Sedang terjadi perang opini di media, di satu pihak menyebut peristiwa di Mimika sebagai penyanderaan oleh kelompok bersenjata, sementara sumber lain menyebut, itu sebuah gerakan penyampaian aspirasi dari salah satu elemen masyarakat di Papua. Masing-masing versi berita, memiliki pendukung sendiri dengan argumentasi yang sama-sama valid.
Namun bagi kita yang sedikit memiliki perhatian pada isu Papua, akan paham, bahwa apa yang terjadi hari ini adalah rangkaian dari pergolakan sebelumnya, yang bila tidak ada penyelesaian substansial akan kembali berulang di lain waktu.
Papua adalah sebuah narasi besar. Kontradiksi di Papua sudah terjadi sejak awal 1960-an, dan terus berakumulasi hingga rezim Jokowi sekarang. Isu kedaulatan, ketimpangan sosial, pelanggaran HAM, minimnya akses di bidang kesehatan dan pendidikan, akan terus menjadi beban bagi siapa pun yang berkuasa di negeri ini.
Kepentingan TNI dan Polri
Selain TNI dan Polri, tentu ada pihak atau lembaga lain yang berkepentingan di Papua. Dengan membahas kepentingan TNI dan Polri di Papua, sudah cukup menjadi jendela dalam memahami kompleksitas masalah di Papua.
Kepentingan TNI dan Polri terlihat ketika didirikan komando kewilayahan baru untuk wilayah Papua Barat, yakni Kodam XVIII/Kasuari dan Polda Papua Barat. Keberadaan komando wilayah ini bisa menjadi saluran penempatan bagi perwira-perwira menengah di TNI (khususnya AD) dan Polri, mengingat jumlah pamen sudah berlebih, khususnya di level kolonel atau kombes. Sementara untuk formasi level bintara dan tamtama, diprioritaskan merekrut pemuda lokal, sebagai cara memberi lapangan pekerjaan bagi generasi produktif di Papua.
TNI AD juga berkepentingan memelihara kemampuan teknis segenap anggotanya, melalui operasi pengamanan perbatasan (pamtas). Bagi TNI, konsep kesejahteraan tidak sebatas apa yang terlihat, seperti gaji, ULP (uang lauk pauk), logistik, dan seterusnya, namun juga mencakup sarana latihan dan kesiapan prajurit.
Dalam posisi ini, TNI AD sangat tertolong dengan karakter geografis Papua. Tidak terbayangkan bagaimana melatih kemampuan prajurit (khususnya dari kecabangan infanteri) bila tidak ditugaskan di Papua. Papua menjadi wahana anggota TNI dalam memelihara kemampuan teknisnya dalam operasi pamtas. Sehingga secara berkala (11 bulan), selalu terjadi rotasi pasukan yang melaksanakan operasi pamtas.
Kepentingan Polri bisa jadi mirip dengan kepentingan TNI AD dalam hal pengembangan SDM anggotanya. Namun Polri memiliki peran yang lebih spesifik, yakni memiliki otoritas dan legalitas untuk menjaga obyek vital, salah satu yang bisa disebut adalah kawasan tambang Freeport di Mimika. Penugasan ini juga berdampak pada kesejahteraan bagi lembaga maupun anggota, karena ada dana besar sebagai kompensasi. Faktor aliran dana seperti ini kadang menjadi pemicu konflik di lapangan, antara anggota TNI AD dan Polri (khususnya Brimob), yang menjadikan masalah di Papua semakin rumit.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Kesia-siaan otonomi khusus
Dalam hal administrasi pemerintahan, Papua memperoleh kelonggaran sejak lama, yakni kebijakan otonomi khusus, yang berdampaknya pada munculnya sejumlah kabupaten baru. Namun munculnya kabupaten baru sebagai tindak lanjut kebijakan otonomi khusus, belum berdampak positif bagi masyarakat asli Papua, mereka masih tetap terpuruk dan mengalami berbagai diskriminasi, dan keterbelakangan dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Munculnya kabupaten baru, juga dibarengi dengan tampilnya elite-elite baru di ranah politik lokal. Cuma masalahnya keberadaan elite pemerintahan di Papua bukanlah solusi, justru menambah beban. Cerita soal korupsi elite lokal atau bupati yang lebih sering di Jakarta, ketimbang di wilayah kerjanya, sudah acapkali kita dengar.
Posisi elite pemerintahan lokal seharusnya dapat menjadi pembawa aspirasi masyarakat Papua, seperti masih berlangsungnya pelanggaran HAM, memperjuangkan kemudahan akses warganya di bidang pendidikan, kesehatan, dan seterusnya. Namun dalam praktiknya justru sebaliknya, elite pemerintahan lokal lebih sering "mati angin” bila menghadapi gejolak di masyarakat, seperti yang terjadi di Mimika hari ini. Sampai sekarang belum jelas benar bagaimana visi elite politik Papua terkait status otonomi khusus.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Momentum Jokowi
Kompleksitas masalah di Papua, bisa jadi merupakan sinyal bagi rezim Jokowi, untuk merilis wacana referendum. Sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran soal referendum, karena referendum tidak identik dengan kemerdekaan. Referendum dimaksud adalah untuk menangkap aspirasi rakyat Papua yang hakiki.
Satu catatan penting adalah soal transparansi bila referendum disetujui untuk dilaksanakan oleh rezim Jokowi, agar jangan sampai terulang rekayasa model Opsus (operasi khusus) dari Ali Moertopo dulu, dalam Pepera tahun 1969. Saat itu orang-orang Ali Moertopo dalam Opsus, menyuplai bir dalam jumlah besar, juga tembakau terbaik, bagi elite dan para kepala suku, agar mereka mengikuti apa yang menjadi kehendak Jakarta. Oleh sebab itu diperlukan juga keterlibatan komunitas internasional sebagai pemantau.
Keberanian Jokowi menyelenggarakan referendum di Papua kelak akan dicatat dengan tinta emas. Soal waktu, tidak perlu tergesa-gesa, bisa saja dilaksanakan pada periode kedua pemerintahan Jokowi, dengan catatan Jokowi akan menjabat dua periode.
Bahwa referendum tidak identik dengan kemerdekaan, niscaya membuat TNI (dan Polri) tetap besar hati. Dengan demikian semboyan "NKRI Harga Mati” tetap lestari, utamanya di tanah Papua.
Bila Papua lepas, potensi bencana sosial juga segera menghadang. Konfigurasi etnik Papua tak kalah rumitnya, mengingat jumlah sukunya sangat banyak dan di antara suku tersebut rentan konflik. Belum lagi visi yang berbeda antara masyarakat pegunungan dan kawasan pesisir. Bangsa ini memiliki tanggung jawab moral untuk mencegah bencana itu.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Ribuan penduduk mengais emas dari limbah tambang Freeport di Timika. Pemerintah ingin menutup kegiatan ilegal itu karena memicu kerusakan lingkungan. Tapi banyak oknum yang terlanjur menikmati bisnis gelap tersebut
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tambang Ilegal di Aikwa
Penambang emas mendulang emas di sungai Aikwa di Timika, Papua. Meski banyak penduduk suku Kamoro yang masih berusaha mencari uang sebagai nelayan, kegiatan penambangan emas merusak dasar sungai yang kemudian memangkas populasi ikan di sungai Aikwa.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Emas Punya Siapa?
Sejumlah penduduk bahkan datang dari jauh untuk menambang emas di sungai Aikwa. Indonesia memproduksi emas yang mendatangkan keuntungan senilai 70 miliar Dollar AS setahun, atau sekitar 900 triliun Rupiah. Tapi hanya sebagian kecil yang bisa dinikmati penduduk lokal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Buruh Papua Mencari Kerja
Kebanyakan penduduk asli setempat telah terusir oleh kegiatan perluasan tambang. Saat ini Freeport mengaku memiliki hampir 30.000 pegawai, sekitar 30% berasal dari Papua, sementara 68% dari wilayah lain di Indonesia dan kurang dari 2% adalah warga asing. Berkat tekanan dari Jakarta, Freeport berniat menambah komposisi pekerja Papua menjadi 50%.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Sumber Kemakmuran
Tambang Grasberg adalah sumber emas terbesar di dunia dan cadangan tembaganya tercatat yang terbesar ketiga di dunia. Dari sekitar 238.000 ton mineral yang diolah setiap hari, Freeport memproduksi 1,3% emas, 3,4% perak dan 0,98 persen tembaga. Artinya tambang Grasberg menghasilkan sekitar 300 kilogram emas per hari.
Foto: Getty Images/AFP
Berjuta Limbah
Grasberg berada di dekat Puncak Jaya, gunung tertinggi di Indonesia. Setiap hari, tambang tersebut membuang sekitar 200.000 ton limbah ke sungai Aikwa. Pembuangan limbah tambah oleh Freeport ujung-ujungnya membuat alur sungai Aikwa menyempit dan dangkal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Nilai Tak Seberapa
Setiap tahun sebagian kecil dari jutaan gram emas yang ditambang di Grasberg terbuang ke sungai Aikwa dan akhirnya didulang oleh penduduk. Semakin ke hulu, maka semakin besar kemungkinan mendapatkan emas. Rata-rata penambang kecil di Aikwa bisa mendulang satu gram emas per hari, dengan nilai hingga Rp. 500.000.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Simalakama Penambangan Ilegal
Pertambangan rakyat di sungai Aikwa selama ini dihalangi oleh pemerintah. Tahun 2015 silam TNI dan Polri berniat memulangkan 12.000 penambang ilegal. Pemerintah Provinsi Papua bahkan berniat mengosongkan kawasan sungai dengan dalih bahaya longsor. Namun kebijakan tersebut dikritik karena menyebabkan pengangguran dan memicu ketegangan sosial.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kerusakan Lingkungan
Asosiasi Pertambangan Rakyat Papua sempat mendesak pemerintah untuk melegalisasi dan menyediakan lahan bagi penambangan rakyat di sungai Aikwa. Freeport juga diminta melakukan hal serupa. Ketidakjelasan status hukum berulangkali memicu konflik antara kelompok penambang. Mereka juga ditengarai menggunakan air raksa dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung penduduk setempat
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Persaingan Timpang
Konflik antara penambang antara lain disebabkan persaingan yang timpang. Ketika penduduk lokal masih mengais emas dengan kuali atau wajan, banyak pendatang yang bekerja dengan mesin dan alat berat. Berbeda dengan penambang kecil, penambang berkocek tebal bisa meraup keuntungan hingga 10 juta Rupiah per hari.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Bisnis Gelap di Timika
Pertambangan rakyat di sungai Ajkwa turut menciptakan struktur ekonomi sendiri. Karena banyak pihak yang diuntungkan, termasuk bandar yang menampung hasil dulangan emas penduduk di Timika dan oknum pemerintah lokal yang menyewakan lahan penambangan secara ilegal. Situasi tersebut mempersulit upaya penertiban pertambangan rakyat di Papua. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
10 foto1 | 10
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis