1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Sinyal Bagi Opsi Referendum?

20 November 2017

Bumi Papua kembali bergolak. Bila tidak ada penyelesaian substansial akan kembali berulang di lain waktu. Opini Aris Santoso.

Indonesisches Militär in Papua
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images

Papua kembali bergolak. Apa yang terjadi hari-hari ini di Mimika masih belum jelas benar, karena berita yang berkembang masih simpang-siur. Sedang terjadi perang opini di media, di satu pihak menyebut peristiwa di Mimika sebagai penyanderaan oleh kelompok bersenjata, sementara sumber lain menyebut, itu sebuah gerakan penyampaian aspirasi dari salah satu elemen masyarakat di Papua. Masing-masing versi berita, memiliki pendukung sendiri dengan argumentasi yang sama-sama valid.

Namun bagi kita yang sedikit memiliki perhatian pada isu Papua, akan paham, bahwa apa yang terjadi hari ini adalah rangkaian dari pergolakan sebelumnya, yang bila tidak ada penyelesaian substansial akan kembali berulang di lain waktu.

Papua adalah sebuah narasi besar. Kontradiksi di Papua sudah terjadi sejak awal 1960-an, dan terus berakumulasi hingga rezim Jokowi sekarang. Isu kedaulatan, ketimpangan sosial, pelanggaran HAM, minimnya akses di bidang kesehatan dan pendidikan, akan terus menjadi beban  bagi siapa pun yang berkuasa di negeri ini.

Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Kepentingan TNI dan Polri

Selain TNI dan Polri, tentu ada pihak atau lembaga lain yang berkepentingan di Papua. Dengan membahas kepentingan TNI dan Polri di Papua, sudah cukup menjadi jendela dalam memahami kompleksitas masalah di Papua.

Kepentingan TNI dan Polri terlihat ketika didirikan komando kewilayahan baru untuk wilayah Papua Barat, yakni Kodam XVIII/Kasuari dan Polda Papua Barat. Keberadaan komando wilayah ini bisa menjadi saluran penempatan bagi perwira-perwira menengah di TNI (khususnya AD) dan Polri, mengingat jumlah pamen sudah berlebih, khususnya di level kolonel atau kombes. Sementara untuk formasi level bintara dan tamtama, diprioritaskan merekrut  pemuda lokal, sebagai cara memberi lapangan pekerjaan bagi generasi produktif di Papua.

TNI AD juga berkepentingan memelihara kemampuan teknis segenap anggotanya, melalui operasi pengamanan perbatasan (pamtas). Bagi TNI, konsep kesejahteraan tidak sebatas apa yang terlihat, seperti gaji, ULP (uang lauk pauk), logistik, dan seterusnya, namun juga mencakup  sarana latihan dan kesiapan prajurit.

Dalam posisi ini, TNI AD sangat tertolong dengan karakter geografis Papua. Tidak terbayangkan bagaimana melatih kemampuan prajurit (khususnya dari kecabangan infanteri)  bila tidak ditugaskan di Papua. Papua menjadi wahana anggota TNI dalam memelihara kemampuan teknisnya dalam operasi pamtas. Sehingga secara berkala (11 bulan), selalu terjadi rotasi  pasukan yang melaksanakan operasi pamtas.

Kepentingan Polri bisa jadi mirip dengan kepentingan TNI AD dalam hal pengembangan SDM anggotanya. Namun Polri memiliki peran yang lebih spesifik, yakni memiliki otoritas dan legalitas untuk menjaga obyek vital, salah satu yang bisa disebut adalah kawasan tambang Freeport di Mimika. Penugasan ini juga berdampak pada kesejahteraan bagi lembaga maupun anggota, karena ada dana besar sebagai kompensasi. Faktor aliran dana seperti  ini  kadang menjadi pemicu konflik di lapangan, antara anggota TNI AD dan Polri (khususnya Brimob), yang menjadikan masalah di Papua semakin rumit.

Kesia-siaan otonomi khusus

Dalam hal administrasi pemerintahan, Papua memperoleh kelonggaran sejak lama, yakni kebijakan otonomi khusus, yang  berdampaknya pada munculnya sejumlah kabupaten baru.  Namun munculnya kabupaten baru sebagai  tindak lanjut kebijakan  otonomi khusus, belum berdampak positif bagi masyarakat asli Papua, mereka masih tetap terpuruk dan  mengalami berbagai diskriminasi, dan keterbelakangan dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Munculnya kabupaten baru, juga dibarengi dengan tampilnya elite-elite baru di ranah politik lokal. Cuma masalahnya keberadaan elite pemerintahan di Papua bukanlah solusi, justru menambah beban. Cerita soal korupsi elite lokal atau bupati yang lebih sering di Jakarta, ketimbang di wilayah kerjanya, sudah acapkali kita dengar.

Posisi elite pemerintahan lokal  seharusnya dapat menjadi pembawa aspirasi masyarakat Papua, seperti masih berlangsungnya pelanggaran HAM, memperjuangkan kemudahan akses warganya di bidang pendidikan, kesehatan, dan seterusnya. Namun dalam praktiknya  justru sebaliknya, elite pemerintahan lokal  lebih sering "mati angin” bila menghadapi gejolak di masyarakat, seperti yang terjadi di Mimika hari ini. Sampai sekarang belum jelas benar bagaimana visi elite politik Papua terkait status otonomi khusus.

Momentum Jokowi

Kompleksitas masalah di Papua, bisa jadi merupakan sinyal bagi rezim Jokowi, untuk merilis wacana referendum. Sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran soal referendum, karena referendum tidak identik dengan kemerdekaan. Referendum dimaksud adalah untuk menangkap aspirasi rakyat Papua yang hakiki.

Satu catatan penting adalah soal transparansi bila referendum disetujui untuk dilaksanakan oleh rezim Jokowi, agar jangan sampai terulang rekayasa model Opsus (operasi khusus) dari Ali Moertopo dulu, dalam Pepera tahun 1969. Saat itu orang-orang Ali Moertopo dalam Opsus, menyuplai bir dalam jumlah besar, juga tembakau terbaik, bagi elite dan para kepala suku, agar mereka mengikuti apa yang menjadi kehendak Jakarta. Oleh sebab itu diperlukan juga keterlibatan komunitas internasional sebagai pemantau.     

Keberanian Jokowi menyelenggarakan referendum di Papua kelak akan dicatat dengan tinta emas. Soal waktu, tidak perlu tergesa-gesa, bisa saja dilaksanakan pada periode kedua pemerintahan Jokowi, dengan catatan Jokowi akan menjabat dua periode.

Bahwa referendum tidak identik dengan kemerdekaan, niscaya membuat TNI (dan Polri) tetap besar hati. Dengan demikian semboyan "NKRI Harga Mati” tetap lestari, utamanya di tanah Papua.

Bila Papua lepas, potensi bencana sosial juga segera menghadang. Konfigurasi etnik Papua tak kalah rumitnya, mengingat jumlah sukunya sangat banyak dan di antara suku tersebut rentan konflik. Belum lagi visi yang berbeda antara masyarakat pegunungan dan kawasan pesisir. Bangsa ini memiliki tanggung jawab moral untuk mencegah bencana itu.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis