1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

SIPRI: Denuklirisasi Global Tersendat Modernisasi Alutsista

14 Juni 2021

Untuk pertamakalinya laju perlucutan senjata nuklir di dunia mengalami perlambatan. Dalam laporan tahunannya, Sipri mencatat kemunculan benih perlombaan senjata di antara negara adidaya, terutama dipicu kebangkitan Cina

Ujicoba senjata nuklir milik Prancis di Gosong Murora, 1971
Ujicoba senjata nuklir milik Prancis di Gosong Murora, 1971Foto: picture-alliance/dpa

Laju penurunan angka senjata nuklir yang tercatat sejak dekade 1990an melambat, menyusul modernisasi dan ekspansi sistem persenjataan utama di berbagai negara, demikian kesimpulan laporan tahunan SIPRI, sebuah lembaga pemantau perdagangan senjata global.

"Kurva jumlah senjata nuklir yang terus menurun setiap tahun sejak akhir Perang Dingin terlihat mulai melandai," kata Hans Kristensen,  peneliti senior di Program Denuklirisasi, Pengawasan Senjata dan Non-Proliferasi di SIPRI.

Menurut laporan tersebut, jumlah hulu ledak nuklir di sembilan negara dunia, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina, India, Pakistan, Israel dan Korea Utara, mencaai 13.080 pada awal tahun 2021, naik tipis dari 13,400 hulu ledak nuklir setahun sebelumnya, tulis organisasi yang bermarkas di Stockholm, Swedia, itu.

Namun begitu, jumlah tersebut ikut menghitung hulu ledak yang telah dipensiunkan, dan menunggu dibesituakan. Tanpanya, jumlah hulu ledak nuklir di kesembilan negara naik dari 9,380 menjadi 9,620 unit.

Adapun jumlah senjata nuklir yang disiagakan dalam operasi militer juga meningkat, dari 3.720 pada 2020 menjadi 3,825 pada 2021. Menurut Sipri, sebanyak 2.000 hulu ledak nuklir saat ini "berstatus siaga tinggi," yang berarti siap diluncurkan dalam hitungan menit.

"Kami mencatat peningkatan signifikan pada program modernisasi hulu ledak di semua negara adidaya nuklir," kata Kristensen. Dia menambahkan, kesembilan negara nuklir dunia malah terkesan sedang meningkatkan "peran senjata nuklir dalam strategi militer."

Anggaran belanja militer untuk senjata nuklir di sembilan negara adidaya nuklir dunia, dalam miliar Dollar AS.

Denuklirisasi di AS dan Rusia dipengaruhi Cina

Perubahan ini bisa disimak di Rusia atau Amerika Serikat. Kedua negara memiliki 90% semua senjata nuklir di dunia, kata Krsitensen. Belum jelas apakah Presiden Joe Biden akan membatalkan kebijakan pro-nuklir pendahulunya, Donald Trump.

"Saya kira pemerintahan Biden sudah mengisyaratkan dengan jelas bahwa mereka akan tetap mempercepat program modernisasi nuklir yang digalakkan di era Trump," meski dicanangkan pada pemerintahan bekas Presiden Barack Obama.

Meski Rusia dan AS melanjutkan perlucutan hulu ledak tua, kedua negara menambah 50 hulu ledak nuklir dalam status "siaga operasi," di awal tahun 2021, dibandingkan tahun lalu.

Di luar kedua negara, "tujuh negara adidaya nuklir lainnya juga telah mengumumkan niat atau sedang mengembangkan sistem persenjataan nuklir baru," tulis para ilmuwan dalam laporannya.

LSM, Kampanye Internasional Perlucutan Senjata Nuklir (ICAN), bulan ini merilis laporan yang mencatat kenaikan anggaran belanja di negara-negara adidaya nuklir sebanyak USD 1,4 miliar, menjadi USD 72 militar pada 2020.

Meski melambatnya tren denuklirisasi, Kristensen dari Sipri mewanti-wanti terhadap ketidakpastian perkembangan senjata nuklir di masa depan. "Apakah artinya masa denuklirisasi sudah berakhir, atau kita akan melihat lebih banyak penambahan karena negara-negara lain menginginkan lebih banyak hulu ledak nuklir?," kata dia.

Dia menambahkan, kebijakan Cina menambah senjata nuklirnya akan berdampak terhadap kesiapan AS dan Rusia untuk melanjutkan denuklirisasi. Namun begitu, situasi selama Perang Dingin jauh lebih "menegangkan," ketimbang saat ini, kata Kristensen. Pada 1986, jumlah hulu ledak nuklir di dunia mencapai angka tertinggi, yaitu 70.000 unit.

rzn/vlz (afp, rtr)

Cadangan hulu ledak nuklir di seluruh dunia menurut SIPRI
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya