1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sisi Gelap Indonesia di Ajang Oscar

28 Februari 2014

Dokumenter mengerikan tentang salah satu pembantaian terburuk di dunia setelah Perang Dunia II bersaing dalam penghargaan Academy Award. Para kru asal Indonesia memilih anonim karena khawatir nyawanya terancam.

Foto: AP

Hampir tiga jam "Act of Killing" menampilkan para jagal pembantaian paling berdarah Indonesia atas kelompok komunis terbesar dunia di luar Cina dan Uni Soviet pada masa itu, di mana ia beraksi di depan kamera, tanpa tanda-tanda penyesalan, atas apa yang 50 tahun lalu ia lakukan kepada para korban dengan mencekik mereka menggunakan tali kawat.

Film ini ini menyentuh periode paling gelap kekerasan yang dialami Indonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan. Peristiwa yang bahkan hingga kini masih disembunyikan dari perdebatan umum.

Setidaknya 500.000 orang diperkirakan tewas dalam amuk kekerasan yang dimulai pada akhir 1965 setelah Jenderal Suharto dan militer mengambilalih kekuasaan menyusul kudeta kelompok komunis yang gagal. Sementara jutaan orang lainnya dipenjara.

“Itu adalah sebuah tragedi dan kami, sebagaimana orang-orang lainnya, membenci apa yang ada film itu dan peragaan atas kekejaman. Orang-orang ini tidak punya tempat di Indonesia hari ini,” kata juru bicara presiden Teuku Faizasyah.

Sebagai tanda betapa sensitifnya topik ini, mitra produser dokumenter ini dan para kru film Indonesia lainnya mengatakan mereka tidak ingin nama mereka muncul.

“Mungkin kami terlalu paranoid, tapi kami telah berdiskusi dengan sejumlah kelompok aktivis tentang resiko, kemungkinan mulai dari ancaman hingga serangan nyata atas nyawa kami, dan kami benar-benar tidak tahu apa yang bisa terjadi jika kami mengungkapkan identitas kami,” kata mitra sutradara yang tidak bersedia diungkapkan identitasnya kepada Reuters.

Dipicu di tengah-tengah perang dingin ketika Barat takut bahwa komunisme akan menyapu Asia, pembantaian banyak terjadi di pulau paling padat di Jawa dan Bali, dan awalnya militer yang memimpin upaya menghancurkan partai komunis.

Masih anonim

Kampanye kekerasan setelah 1965 di Indonesia saat itu menjamur menjadi sebuah orgi pembunuhan massal yang melibatkan kelompok Muslim terbesar, para tuan tanah, organisasi paramiliter, dan orang-orang yang memanfaatkan situasi untuk membalas dendam terhadap tetangga, memburu para anggota partai komunis dan simpatisannya.

Act of Killing tentang para jagal '65 yang tak malu mengungkap kekejaman masa lalu merekaFoto: picture-alliance/ Joshua Oppenheimer/Final Cut For Real APS/Piraya Film AS/Novaya Zemlya

Sejumlah kalangan cemas film itu hanya sedikit memberikan konteks politik mengenai apa yang terjadi pada masa itu, serta ketegangan di tingkat akar rumput antara kelompok agama dan pemilik tanah dengan kelompok komunis yang sudah mendidih sebelum peristiwa G30S.

“Isu ini masih membelah masyarakat dan tak ada seorangpun yang betul-betul mencoba mendamaikan,” kata Agus Widjojo, pensiunan Letnan Jenderal TNI, yang ayahnya yakni Sutojo Siswomihardjo, adalah salah satu jenderal yang tewas dibunuh dalam peristiwa G30S.

“Masyarakat Indonesia tidak cukup berani untuk mulai berusaha menghadapi kebenaran masa lalu… Tapi hanya itu cara kami untuk bisa belajar tentang apa yang salah dan apa yang benar, sehingga kami bisa menjamin generasi masa depan Indonesia bahwa kesalahan-kesalahan itu tidak boleh terulang.”

Bagi para kru film asal Indonesia, kerahasiaan identitas diri mereka tidak akan berakhir dalam waktu dekat.

“Mengungkapkan identitas kami membutuhkan perubahan struktur sejati di Indonesia… dan bahwa rekonsiliasi sejati akan butuh waktu panjang, tapi saat untuk memulainya adalah sekarang.“

ab/hp (afp,ap,rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait