Sistem Zonasi Buat Siswa Tidak Perlu Jauh Tuntut Ilmu
Rizki Akbar Putra
26 Juni 2019
Sistem zonasi yang baru diberlakukan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dinilai kurang menguntungkan bagi calon siswa yang domisilinya jauh dari zonasi sekolah yang diidam-idamkan.
Iklan
Sistem zonasi sekolah yang diberlakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dinilai kurang menguntungkan bagi calon siswa yang domisilinya jauh dari zonasi sekolah yang diidam-idamkan. Sebaliknya, bagi mereka yang satu zonasi akan lebih berpeluang menimba ilmu di sekolah favorit.
Namun anggapan tersebut dimentahkan oleh pengamat pendidikan, Arief Rachman. Ia meyakini kebijakan ini memiliki efek yang baik di masa yang akan datang.
Menurut Arief, saat ini calon peserta didik berkecenderungan memilih sekolah yang dinilai mampu mengantarkan mereka menuju universitas ternama, sehinga kualitas pendidikan pun tidak merata di berbagai wilayah.
“Karena dengan adanya zonasi maka nanti anak-anak di daerah, sebut saja Maluku belajar ga usah jauh-jauh. Kalau SD, SMP, SMA, atau SMK ya di sana saja tidak perlu pergi ke Jawa. Tetapi sistem zonasi ini baru, tentu ada proses,” ujar Arief saat dihubungi oleh DW Indonesia.
Ia pun meyakini bahwa sistem zonasi secara bertahap akan memberikan pemerataan pendidikan di seluruh negeri. Nantinya dipastikan di setiap daerah akan hadir sekolah-sekolah yang bermutu tinggi.
8 Hal yang Harus Dilakukan Anak-anak Sendiri Sebelum Masuk SMP
Bagaimana anak-anak bisa tumbuh dewasa sebagai manusia kompeten, jika orangtua selalu melakukan segalanya untuk anak yang berangkat remaja.
Foto: Public Domain
1. Bangun pagi tanpa perlu dibangunkan
Inilah saatnya membiarkan jam alarm melakukan tugasnya. Mereka harus belajar bertanggung jawab untuk bangun sendiri sendiri ketika mulai sekolah menengah, agar tak terlambat. Belajar menjadi orang dewasa yang berdisiplin dan menghargai waktu.
Foto: Fotolia/photonetworkde
2. Menyiapkan sarapan sendiri.
Orang tua kadang memastikan ada makanan di rumah sehingga mereka bisa makan sarapan. Tiba saatnya mereka mulai menyiapkan sarapannya sendiri sesuai dengan selera dan kreasinya sendiri.
Foto: Fotolia/okinawakasawa
3. Mengerjakan PR sendiri
Ketakutan orangtua biasanya, sang anak lupa atau salah dalam mengerjakan tugas dari sekolah yang dibawa pulang atau PR. Namun kini sudah saatnya mereka mengerjakannya. Setelahnya mereka boleh meminta orangtua untuk mengecek saja. Mereka perlu tahu bagaimana melakukannya tanpa intervensi Anda.
Foto: Imago/Jochen Tack
4. Mengepak barang-barang sendiri untuk sekolah
Buku, ponsel, kunci tertinggal, seragam belum dicuci..... Bukan tugas Anda lagi sebagai orangtua yang terus-menerus bawel mengingatkan. Mereka harus belajar untuk tahu konsekuensinya, tanpa harus mengandalkan orangtua mengingatkan benda-benda tersebut. Lupa sesuatu? Rasakan rasa sakit itu.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Stratenschulte
5. Rencanakan dan kerjakan proyek sekolah sendiri
Proyek sekolah tidak diberikan malam hari sebelum jatuh tempo. Karena itu, jangan ambil alih tugas sekolah pada menit terakhir agar proyek selesai. Mereka harus belajar membuat perencanaan yang matang. Satu-satunya hal yang bisa Anda lakukan, dalam obrolan mingguan, tanya tentang proyek sekolah apa yang akan atau tengah digarap.
Foto: Fotolia/Spectral-Design
6. Mencuci baju sendiri
Seorang remaja harus diingatkan, bahwa orangtua bukanlah pelayan mereka. Dalam usia beranjak remaja, mereka mampu mengatasi keseluruhan proses binatu, mulai dari mencuci dan melipat atau menyeterika.
Foto: Dron/Fotolia
7. Menyelesaikan persoalan dengan guru atau pelatih
Jika anak punya masalah dengan guru atau pelatih, dia harus mempertanggungjawabkannya. Tidak disarankan orang tua ikut campur permasalahan di antara figur otoritas dan anak. Orangtua cukup perlu tahu. Anak perlu belajar bagaimana menangani masalahnya sendiri atau setidaknya meminta Anda untuk membantu mereka.
Foto: picture-alliance/dpa
8. bertanggung jawab dalam urusan sekolah
Orangtua memang perlu mengobrol soal proyek sekolah dan PR, tapi diharapkan anak-anak tersebut menyadarai bahwa itu adalah tanggung jawab mereka sepenuhnya. Dengan demikian orangtua juga belajar menghargai kemampuan anak itu sendiri. Yang tetap harus dilakukan adalah mengamati perkembangan nilai dan berbicara tentang situasi di sekolah, tanpa perlu ikut campur berlebihan. (Ed: ap/hp/redtri)
Foto: Public domain
8 foto1 | 8
Meningkatkan kompetisi
Lebih lanjut, Arief berpendapat jika pemerintah tidak boleh lepas tangan ketika sistem zonasi ini sudah diterapkan. Pemerintah daerah bisa ikut serta menaikkan standar mutu pendidikan di daerah masing-masing, salah satunya dengan memberikan agenda pelatihan guru-guru di sekolah, bekerjasama dengan universitas-universitas unggulan. Diharapkan di setiap daerah nantinya akan hadir sekolah-sekolah favorit bagi para calon peserta didik, tidak seperti saat ini.
“Secara bertahap nanti semua SMA harus bisa menampung semua SMP yang ada di daerah itu,” Arief menambahkan.
Kepada DW Indonesia ia mengatakan bahwa sistem zonasi akan menghadirkan kompetisi yang sehat antar sekolah negeri dengan sekolah swasta.
“Sekolah swasta nanti harus bertanding dengan sekolah negeri terutama dalam bidang pembiayaan. Kalau mutu, beberapa sekoah swasta ‘kan sudah bagus. Jadi sekolah swasta juga harus meningkatkan mutunya. Kalau bermutu pasti akan laku,” paparnya.
Kecerdasan Emosional: Ketrampilan yang Jarang Didapat di Sekolah
Kecerdasaan emosional (EQ) berperan 80% bagi kesuksesan seseorang, sementara kecerdasan intelektual hanya 20%. Demikian menurut psikolog Daniel Goleman. Berikut ketrampilan EQ yang jarang diperoleh di bangku sekolah:
Foto: Fotolia/alphaspirit
Apa itu kecerdasan emosional?
Kecerdasan emosional menggambarkan seberapa baik individu dapat mengelola emosi mereka sendiri & bereaksi terhadap emosi orang lain. Kecerdasan emosional perlu untuk mengingkatkan kualitas hidup, seperti mengatasi konflik, merespon kebutuhan orang lain, dan menjaga emosi yang mengganggu kehidupan. Kecerdasan emosional dapat dikembangkan sendiri. Ada 5 elemen penting yang dapat dikembangkan.
Foto: Fotolia/MH
Membangun kesadaran diri
Kesadaran diri adalah upaya dalam menggali & mengetahui perasaan Anda sendiri. Ini termasuk memiliki penilaian akurat kemampuan Anda, kapan Anda membutuhkan bantuan, & menggali apa pemicu emosi Anda. Jika perlu merespon orang lain, ambil waktu sejenak sebelum bereaksi balik. Perhatikan masukan dari orang lain tentang kelebihan dan kelemahan kita. Meditasi juga membantu membangun kesadaran diri.
Foto: Fotolia/W. Goldswain
Mengontrol diri
Ini kemampuan untuk menjaga emosi Anda ketika terganggu. Pengendalian diri melibatkan kemampuan untuk mengendalikan amarah, dengan tenang membahas perbedaan pendapat, dan menghindari panik. Kontrol diri berarti mengendalikan ledakan emosi, memilah pemicu emosi dan melakukan apa yang terbaik sesuai kebutuhan Anda. Atur nafas ketika Anda marah dan keluar dulu dari lingkaran emosional.
Foto: Fotolia/rangizzz
Membangun motivasi
Setiap orang termotivasi dengan adanya imbalan, misalnya materi, status atau lainnya. Yang perlu dibangun: motivasi terhadap sukacita diri & kepuasan diri yang produktif, baik dalam berhubungan dengan orang lain, karir dan lainnya. Banyak strateginya. Buat daftar hal yang Anda hargai, terima kenyataan & bangkit. Ada yang mencapai sesuatu dengan perlahan, ada pula dengan berungkali berusaha.
Foto: Eisenhans/Fotolia
Empati
Sementara tiga kategori sebelumnya mengacu pada emosi internal seseorang, yang satu ini berhubungan dengan emosi orang lain. Empati adalah keterampilan dan praktik membaca emosi orang lain dan merespon dengan tepat. Triknya, mau mendengar orang lain, menempatkan diri pada posisi orang lain, mencoba memahami.
Foto: Fotolia/Robert Kneschke
Keterampilan sosial
Ini mencakup empati, dengan upaya memenuhi kebutuhan orang lain dan Anda sendiri. Misalnya dalam menemukan kesamaan dengan orang lain, mengelola hubungan di lingkungan kerja dan kemampuan persuasif. Kketerampilan sosial Anda mempengaruhi segala sesuatu, baik kinerja maupun kehidupan romantis. Bentuk paling umum: menyelesaikan perselisihan. Mengatasi masalah setelah semua pihak tenang.
Foto: Fotolia/Rawpixel
6 foto1 | 6
Arief Rachman yang juga Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menghimbau kepada orang tua murid agar tidak perlu resah dan pesimis jika anak mereka tidak bisa masuk ke sekolah yang mereka idam-idamkan sebagai dampak sistem zonasi ini. Orang tua murid dapat aktif berperan serta dalam persatuan orang tua murid dan guru untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah di mana anaknya belajar.
Solusi masalah pendidikan di Indonesia
Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhadjir Effendi, mengatakan penerapan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sebagai jalan menemukan solusi atas masalah pendidikan di Indonesia.
"Ibarat wajah kalau dari jauh kelihatan halus, tetapi kalau setelah di-close-up dekat kelihatan bopeng-bopengnya itu. Ini setelah tahu masalah ini, akan kita selesaikan per zona mulai dari ketidakmerataan peserta didik, kesenjangan guru, ketidakmerataan guru, jomplangnya sarana prasarana antar sekolah," ujar Muhadjir di Jakarta (24/06), dilansir dari Kompas.com.
Menurutnya dengan penerapan sistem ini, pemerintah daerah dapat fokus melihat masalah-masalah yang ada di sekolah-sekolah di daerahnya. Dengan penerapan sistem ini memudahkan pemerintah untuk memetakan kuantitas sekolah negeri yang ada di setiap daerah.
"Jadi akan ketahuan nanti, kecamatan mana yang tidak ada SMP-nya atau hanya ada ada 1 SMA. Coba dulu-dulu ada yang tahu itu, daerah tenang-tenang saja," pungkas Muhadjir.
ae/ (Kompas.com, Tribunnews)
Demi Pendidikan, Ibu Ini Pangku Bayi Saat Ujian Masuk Universitas
Di sebuah negara di mana sebagian besar perempuan buta huruf dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, seorang perempuan menggendong bayinya saat ujian masuk universitas. Fotonya viral di jejaring sosial.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Saat sebuah foto mengundang perhatian
Petani Afganistan, Jahantab Ahmadi duduk di lantai, bayinya bersandar di pangkuannya. Ibu muda ini pada ujian masuk universitas yang ia harap akan membantunya memenuhi mimpinya. Foto itu diambil oleh seorang profesor di universitas swasta Nasir Khusraw di Afghanistan tengah. Gambar itu telah memicu luapan kekaguman dan tawaran bantuan keuangan untuk ibu berusia 25 tahun beranak tiga ini.
Foto: twitter.com/ChannelNewsAsia
Ingin jadi dokter
"Saya tidak ingin kehilangan studi saya," kata Ahmadi, yang berasal dari desa pertanian terpencil di provinsi Daikundi di mana gandum, jagung dan kentang memberikan penghasilan sedikit, katanya kepada AFP di Kabul. "Saya ingin bekerja di luar rumah. Saya ingin menjadi dokter, seseorang yang melayani para perempuan di komunitas atau masyarakat saya."
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Dua jam jalan kaki plus 9 jam di angkot ke tempat ujian
Ahmadi lulus ujian setelah melakukan perjalanan yang sulit untuk mencapai ibukota provinsi Nili - dua jam berjalan kaki melalui pegunungan dan sembilan jam berkendara dengan angkutan umum di jalanan yang naik turun.
Foto: DW/N. Behzad
Mengumpulkan ongkos kuliah
Sebuah kampanye online GoFundMe yang diluncurkan oleh Asosiasi Pemuda Afganistan untuk membantu membayar biaya universitasnya sejauh ini telah mengumpulkan lebih dari 14.000 dollar AS. Jumlah yang cukup besar di sebuah negara di mana sekitar 39 persen penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Foto: imago/Winfried Rothermel
Bayinya menderita sakit telinga
Pada awal tes, yang diadakan di luar ruangan, Ahmadi duduk di meja dengan Khizran di pangkuannya. Tetapi bayi itu menderita sakit telinga dan tidak mau berhenti menangis. Untuk membuatnya tenang dan tidak mengganggu orang lain, Ahmadi duduk di tanah dan terus menulis. "Saya harus berkonsentrasi pada bayi dan mengerjakan ujian," katanya.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Dukungan berbagai pihak
Aktivis hak-hak perempuan Afghanistan Zahra Yagana menghubungi Ahmadi dan meyakinkannya datang ke Kabul untuk belajar. "Kami akan memberinya rumah (di Kabul). Ada banyak teman yang telah berjanji membantunya. Kami berusaha mencari pekerjaan untuk suaminya dan juga mengumpulkan uang untuk anak-anaknya sekolah." Bagi Ahmadi, ini adalah pemenuhan impiannya.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Tingkat buta aksara tinggi
Tingkat keaksaraan di Afghanistan adalah salah satu yang terendah di dunia - hanya 36 persen orang yang bisa membaca, demikian menurut angka resmi. Angka ini jauh lebih rendah untuk perempuan. Ed: ap/vlz (afp,channelnewsasia)