1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Situasi Kemanusiaan di Gaza Ubah Sikap Jerman Kepada Israel?

30 Juli 2025

Jerman berpegang pada tanggung jawab sejarah bagi keamanan Israel dengan latar belakang Holocaust. Namun, wabah kelaparan dan memburuknya situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kini memicu perdebatan baru di dalam negeri.

Kanselir Jerman Friedrich Merz bersama anggota kabinet
Kanselir Jerman Friedrich Merz duduk bersama rekan koalisi dari SPD Lars Klingbeil, sembari dikelilingi anggota kabinet di parlemen.Foto: Christian Mang/REUTERS

"Perang di Gaza harus diakhiri segera.” Pernyataan bersama dari sekitar 30 negara itu menarik perhatian luas. Mereka mendesak semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk segera memberlakukan "gencatan senjata tanpa syarat dan permanen," serta menekankan pentingnya kepatuhan terhadap hukum humaniter internasional.

Prancis, Denmark, dan Inggris termasuk di antara negara penandatangan, namun Amerika Serikat dan Jerman memilih tidak ikut serta. Padahal, sejak menjabat pada awal Mei 2025 Kanselir Friedrich Merz (CDU)  telah berulang kali melontarkan kritik terhadap tindakan militer Israel, baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat.

Merz secara eksplisit menyebut adanya perbedaan pandangan dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. "Kami juga menyampaikan dengan jelas apa yang tidak dapat diterima, dan apa yang saat ini terjadi di sana sudah tidak bisa diterima lagi,” ujarnya dalam konferensi pers pemerintah pada 18 Juli lalu.

Tanggung jawab sejarah kepada Israel

Ketegangan ini berakar pada dinamika politik seputar tanggung jawab historis Jerman terhadap Israel, menyusul Holocaust—pembantaian enam juta orang Yahudi oleh Nazi hingga berakhirnya Perang Dunia II pada 1945.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

"Keberadaan dan keamanan Negara Israel adalah dan akan tetap menjadi bagian dari raison d'état,” alias dasar negara, ujar Merz dalam pidato pemerintah perdananya pada 14 Mei 2025. Dia juga menyinggung serangan teror oleh Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang dia sebut sebagai "tindakan paling barbar.”

Two major Israeli NGOs accuse Israel of genocide in Gaza

05:57

This browser does not support the video element.

Merz menegaskan, "Saya ingin menyampaikan kepada sahabat-sahabat kami di Israel: Kami berdiri teguh di pihak Israel.”

Pendahulunya, Olaf Scholz (SPD), juga menekankan hal yang sama dalam kunjungannya ke Yerusalem pada 2022, bahwa dari sejarah genosida terhadap orang Yahudi, "tumbuh tanggung jawab abadi setiap pemerintahan Jerman atas keamanan Israel dan perlindungan kehidupan Yahudi.”

Hubungan Jerman-Israel, yang kerap disebut sebagai "hubungan istimewa,” telah mengalami proses panjang. Banyak yang menganggapnya sebagai "keajaiban” bahwa kedua negara baru menjalin hubungan diplomatik penuh pada 1965, mengingat Israel yang masih muda pada awalnya menjaga jarak dari "negara para pembunuh.” Di Jerman pascaperang, masih banyak bekas tokoh Nazi yang aktif secara politik.

Pendekatan diplomatik ini diawali oleh kesepakatan pembayaran kompensasi dari Jerman dan komitmen untuk mengembalikan aset Yahudi yang disita, dikenal sebagai Perjanjian Luksemburg tahun 1952.

Adalah David Ben-Gurion, perdana menteri pertama Israel, dan Konrad Adenauer, kanselir pertama Jerman Barat, yang menginisiasi kesepakatan tersebut. Meski hanya bertemu dua kali (pada 1960 dan 1966), keduanya dipandang sebagai "sahabat dari kejauhan.”

Dari Bergen-Belsen ke Berlin dan Bonn

Pembukaan hubungan diplomatik pada 1965 diikuti gelombang kunjungan antar pejabat tinggi kedua negara. Kanselir Willy Brandt menjadi pemimpin Jerman pertama yang melakukan lawatan kenegaraan ke Israel pada Juni 1973. Dua tahun kemudian, Yitzhak Rabin berkunjung ke Jerman dengan melawat ke bekas kamp konsentrasi Bergen-Belsen sebelum melanjutkan ke Berlin dan Bonn.

Sebagai catatan, pejabat tinggi dari Jerman Timur (DDR) tidak pernah mengunjungi Israel secara resmi.

Angela Merkel (CDU), yang menjabat dari 2005 hingga 2021, melawat ke Israel sebanyak delapan kali—lebih sering dari kanselir lainnya. Pada 2008, dia menjadi kepala pemerintahan asing pertama yang berbicara di hadapan parlemen Israel, Knesset, dalam bahasa Jerman—bahasa para pelaku Holocaust.

"Setiap pemerintahan Jerman dan setiap kanselir sebelum saya memiliki tanggung jawab sejarah yang khusus terhadap keamanan Israel. Tanggung jawab ini adalah bagian dari raison d'état negara Jerman,” ujar Merkel dalam pidatonya. "Artinya, keamanan Israel bagi saya sebagai kanselir Jerman tidak pernah bisa dinegosiasikan.” Saat itu, Benjamin Netanyahu—yang masih menjadi pemimpin oposisi—mengkritik penggunaan bahasa Jerman dalam pidato tersebut.

Pidato Merkel soal raison d'état telah menjadi acuan tetap dalam hubungan Jerman-Israel. Meski bukan yang pertama menggunakan istilah itu dalam konteks politik, Merkel menjadikannya sebagai prinsip yang mendasari kebijakan pemerintah Jerman.

Hubungan diplomatik yang kian rumit

Namun dalam beberapa tahun terakhir, relasi kedua sekutu menjadi semakin rumit. Jika dari 2008 hingga 2018, telah berlangsung tujuh kali konsultasi pemerintahan antara kedua negara—pertemuan besar melibatkan seluruh anggota kabinet—yang digelar bergantian di Berlin dan Yerusalem. Sejak itu, tidak ada lagi pertemuan serupa.

Israel keberatan atas sikap Jerman yang terus menekankan solusi dua negara, serta kritik terhadap pembangunan permukiman ilegal di wilayah pendudukan Tepi Barat. Di sisi lain, Berlin memandang dengan cemas masuknya partai-partai sayap kanan ekstrem di dalam pemerintahan Netanyahu, dan kegagalan pemerintah Jerman sendiri dalam mengatasi antisemitisme di dalam negeri.

Serangan besar-besaran Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan lebih dari 1.200 orang dan menyandera ratusan lainnya, sempat memicu gelombang solidaritas dan kunjungan pejabat Jerman ke Israel. Sikap Israel dan AS terhadap Iran, termasuk upaya mencegah pengembangan senjata nuklir, juga mendapat dukungan dari Berlin. Merz bahkan menyebut bahwa Israel sedang "mengerjakan pekerjaan kotor” bagi Barat.

Secara berkala, keluarga dari sandera Israel yang diculik ke Gaza diterima di Berlin. Namun jajak pendapat menunjukkan, semakin banyak warga Jerman kini menginginkan pemerintahnya bersikap lebih tegas menyikapi kehancuran dan puluhan ribu korban jiwa di Gaza.

Kritik tajam, tanpa sanksi

"Cara militer Israel bertindak di Gaza tidak dapat diterima,” tegas Kanselir Merz pada Senin, 21 Juli. Bukan pertama kalinya dia mengeluarkan kritik keras terhadap Tel Aviv. Meski begitu, pemerintah Jerman bersikeras tidak menganggap tindakan Israel di Gaza sebagai genosida. Berlin juga menolak mendukung sanksi Uni Eropa terhadap Israel, dan tidak menyerukan gencatan senjata langsung dari kedua pihak.

Namun kini, pernyataan bersama dari sekitar 30 negara mulai memicu perdebatan di tubuh koalisi. Ketika pemerintah federal memilih tidak ikut menandatangani deklarasi, kritik bermunculan rekan koalisi di Partai Sosial Demokrat (SPD), yang mendorong perubahan arah kebijakan.

Merz dan juru bicara pemerintah Stefan Kornelius bersikeras menekankan keutuhan koalisi. Namun faksi parlemen SPD justru menyerukan agar Jerman bergabung ke dalam deklarasi tersebut. Hal serupa disampaikan Menteri Pembangunan Jerman Reem Alabali Radovan yang kader SPD.

PM Spanyol: "Operasi Militer Israel di Gaza Genosida Terbesar Abad Ini"

01:06

This browser does not support the video element.

SPD: "Wabah kelaparan” bertentangan dengan nilai humaniter

"Jika hukum internasional dilanggar secara sistematis, maka harus ada konsekuensinya,” tulis Ketua Fraksi SPD, Matthias Miersch, di X. "Anak-anak yang kelaparan, infrastruktur yang hancur, serangan terhadap warga sipil yang mencari perlindungan—semuanya bertentangan dengan nilai-nilai yang dilindungi hukum humaniter internasional.”

Sekretaris Jenderal SPD, Tim Klüssendorf, menepis bahwa kritik terhadap Israel berarti memburuknya hubungan diplomatik. "Jika sekarang kita mengkritik pemerintahan Israel yang, menurut pandangan kami, melanggar hukum internasional, itu bukan berarti kami meninggalkan kerja sama dengan Israel,” ujarnya kepada stasiun Welt-TV.

Seruan diplomat Jerman

Tak lama setelah pernyataan Fraksi SPD, muncul sinyal dari Kementerian Luar Negeri yang dipimpin CDU. Majalah berita Der Spiegel pertama kali melaporkan adanya surat terbuka dari sekelompok 130 diplomat Jerman, mayoritas dari generasi muda, termasuk lebih dari selusin mantan duta besar.

Dalam surat tersebut, mereka menyerukan sikap yang lebih tegas terhadap pemerintah Israel, dan langkah-langkah konkret, mulai dari perubahan kebijakan ekspor senjata Jerman ke Israel, sanksi ekonomi terhadap permukiman di wilayah pendudukan, hingga pengakuan terhadap negara Palestina yang sah secara demokratis.

Mereka menutup surat itu dengan seruan: "Saatnya untuk bertindak adalah sekarang.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Agus Setiawan

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya