Capaian tertinggi Soeharto sebagai jagoan perang, adalah mampu tiba di Istana dengan strategi yang disebut "kudeta merangkak”. Simak dalam opini Aris Santoso berikut ini.
Iklan
Membahas figur Soeharto dari aspek politik mungkin sudah mencapai titik jenuh. Sementara membicarakan Soeharto sebagai militer, justru acapkali terlewatkan, padahal itulah habitat awal Soeharto. Rekam jejak Soeharto sebagai panglima atau komandan satuan, turut berpengaruh saat dirinya terjun penuh dalam dunia politik. Solusi gaya komandan satuan militer, banyak dipraktikkan Soeharto ketika menjadi Presiden, setidaknya memberinya inspirasi
Dalam peta militer di Tanah Air, Soeharto masuk kategori sebagai "jago perang”. Kemampuan Soeharto dalam memimpin operasi pertempuran disetarakan dengan perwira lain, yang juga dikenal sebagai jago perang, seperti Brigjen Anumerta Slamet Rijadi, Kolonel Purn AE Kawilarang, Brigjen TNI Purn Lucas Kustarjo, dan Mayjen TNI Purn Mung Parhadimulyo. Di atas semua nama perwira tersebut (termasuk Soeharto), adalah figur Jenderal Ahmad Yani, yang dianggap yang paling menonjol.
Nama perwira yang baru saja disebut ini, tidak bisa diperbandingkan dengan sejumlah perwira yang sebagian besar masa dinas aktifnya habis di panggung politik, khususnya Golkar, seperti Amir Murtono, Sugandhi, Suhardiman, dan seterusnya. Kelompok ini adalah genre tersendiri dalam wacana politik militer, dan sudah tidak menarik lagi untuk dibicarakan. Bagaimana mungkin, mereka memperoleh kemuliaan sebagai jenderal tanpa pernah bersentuhan lagi dengan asap mesiu.
Terhalang Ahmad Yani
Menonjolnya figur Ahmad Yani menjadikan Soeharto selalu berada di bawah bayang-bayang Ahmad Yani. Kalau boleh kita berandai-andai, selama masih ada figur Ahmad Yani, Soeharto masih harus bersabar menanti pemunculannya. Membandingkan perjalanan karir keduanya menjadi menarik, karena Soeharto-lah yang menggantikan Yani sebagai Pangad (KSAD), setelah Yani ditemukan gugur di Lubang Buaya. Seolah Soeharto merupakan antitesis dari figur Yani.
Sekadar ilustrasi bisa diajukan di sini, bagaimana Soeharto selalu berada di bawah bayang-bayang Yani. Kesan yang sudah terlihat sejak era perang kemerdekaan (1945 – 1949), khususnya di palagan Jawa Tengah, kawasan yang kini di bawah Kodam IV/Diponegoro. Benar, antara Yani dan Soeharto ada ikatan kultural (bersama perwira-perwira asal Jateng lain), yang dikenal sebagai "Rumpun Diponegoro”.
Pada Mei 1947, saat Soeharto (lahir Juni 1921) sudah menjadi Komandan Resimen 22 di Yogyakarta dengan pangkat Letkol, Ahmad Yani (lahir Juni 1922) masih menjadi Danyon III/Resimen 19 di Magelang, dengan pangkat Mayor. Artinya, Soeharto sebenarnya lebih senior, baik dari segi usia maupun kepangkatan. Pasca periode perang kemerdekaan, saat dipindah tugaskan di Mabes AD Jakarta, karir Yani terus melesat. Setelah sukses memimpin operasi penumpasan PRRI, karir Yani tak terbendung lagi, dengan menyandang pangkat brigjen, sebagai Deputi Operasi KSAD (1960), sementara Soeharto masih kolonel, meski telah usai menjabat Pangdam Diponegoro.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Selain mumpuni dalam pertempuran, Ahmad Yani juga dikenal sebagai konseptor ulung. Jejak Ahmad Yani masih terlihat sampai kini, lewat keberadaan Yonif 40o Para Raider/Banteng Raiders ( Semarang) dan Kostrad. Mungkin sudah tidak ada yang ingat lagi, bahwa gagasan pembentukan Kostrad sebenarnya berasal dari Yani. Bila akhirnya jabatan Pangkostrad diberikan kepada Soeharto, itu bisa dibaca sebagai bagian dari solidaritas rumpun Diponegoro, antara Yani dan Soeharto.
Dalam perjalanan waktu kita bisa melihat, antara Soeharto dan Yani terjadi sedikit perberbedaan sikap, dalam pengamalan tradisi rumpun Diponegoro. Tradisi rumpun Diponegoro yang acapkali diasosiasikan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa (kejawen), tetap dipegang teguh Soeharto hinga menjelang akhir hidupnya. Tidak demikian dengan Yani, terlebih sepulangnya mengikuti pendidikan Seskoad di Amerika (Fort Leavenworth).
Yani dianggap mulai condong pada perilaku kosmopolitan, sebuah nilai yang tidak masuk dalam suasana batin rumpun Diponegoro. Nilai yang lebih diidentikkan dengan rumpun lain, yaitu (Kodam) Siliwangi. Rumpun Siliwangi dianggap kosmopolitan, terkait karakter kota Bandung yang menjadi sentral rumpun Siliwangi.
Dalam pandangan rumpun Diponegoro, Soeharto dianggap konsisten memegang teduh tradisi. Itu sebabnya, ketika Soeharto menggantikan posisi Yani, sebagai Men/Pangad (KSAD), hingga berlanjut sebagai Pangab dan Presiden, Soeharto mendapat dukungan yang solid dari rumpun Diponegoro. Pertanyaan kini, apakah memang telah terjadi kompetisi (setidaknya terselubung), antara Soeharto dan Yani? Tidak ada konfirmasi tentang hal itu. Namun satu hal yang pasti, dengan gugurnya Yani, Soeharto bisa lebih leluasa merintis jalan menuju kekuasaan.
Siliwangi dan Nasution
Sejak masa perang kemerdekaan hingga dasawarsa 1970-an, performa antara Kodam Diponegoro dan Kodam Siliwangi selalu diperbandingkan, kalau tidak bisa dikatakan telah terjadi persaingan terselubung. Namun fenomena seperti itu, kini tinggal kenangan. Tonggak itu terjadi ketika Soeharto (selaku KSAD) meresmikan berdirinya Brigade Infanteri Lintas Udara 17/Kujang I, pada 20 Mei 1966, di Bandung.
Upacara peresmian Brigif 17 tersebut sangat simbolis, itu adalah cara Soeharto untuk menetralisir dominasi Kodam Siliwangi, khususnya terhadap Kodam Diponegoro, dari mana Soeharto berasal. Yang ditunjuk sebagai Komandan pertama Brigif 17 adalah Kol Inf Himawan Soetanto, perwira Siliwangi yang dikenal sangat setia pada Soeharto
Pada upacara tersebut, Pangdam Siliwangi masih dijabat Mayjen Ibrahim Adjie, seorang jenderal legendaris dan dikenal setia pada Soekarno. Mengeliminir Ibrahim Adjie, dan jenderal-jenderal Sukarnois lainnya, adalah bagian dari skenario "kudeta merangkak” Soeharto untuk menggapai kekuasaan. Tepat dua bulan kemudian (20 Juli 1966), posisi Ibrahim Adjie selaku Pangdam Siliwangi, digantikan oleh Mayjen HR Dharsono (Pak Ton). Dari sejarah kemudian kita juga tahu, Pak Ton termasuk tokoh militer yang paling awal tersingkir di masa Orde Baru.
Rupanya itu belumlah cukup, Soeharto masih mengincar ikon Siliwangi lainnya, yakni Jenderal AH Nasution, yang merupakan Panglima pertama Kodam Siliwangi. Sebagaimana sudah diketahui, memang sempat terjadi ketegangan antara Soeharto dengan Nasution, pada tahun 1950-an, saat Soeharto masih menjabat Pangdam Diponegoro dan Nasution selaku KSAD. Nasution mempersoalkan bisnis ilegal yang dilakukan Kodam Diponegoro.
Sikap Soeharto untuk menanti hari yang pas untuk "membalas” tindakan Nasution dahulu, ibarat seorang sniper (penembak runduk), Soeharto sangat sabar. Akhirnya saat yang ditunggu datang juga, pada penggal terakhir kekuasaannya, Soeharto memberi anugerah jenderal besar (lima bintang) pada Nasution.
Ini sebenarnya adalah parodi bagi Nasution. Bagi tokoh sekaliber Nasution, anugerah jenderal besar sebenarnya tidak terlalu berarti. Bila tidak diberikan pun, tidak mengurangi nama besar Nasution. Tampaknya Soeharto sengaja memberi pangkat ini di hari senja Nasution, ketika secara psikis dan fisik Nasution sudah melemah, sehingga tak kuasa menolaknya.
Bila saat itu Nasution berani menolak, merupakan berita besar, sebagai bentuk perlawanan terhadap Soeharto. Namun masalahnya Nasution sendiri dikenal sebagi penyanjung kekuasaan, dan saya kira ini diketahui Soeharto. Hingga Nasution tidak sadar bahwa dia masuk dalam proyek pencitraan Soeharto.
Misteri Di Balik Supersemar
Supersemar mengubah wajah Indonesia dalam sekejap. Tidak banyak yang diketahui tentang surat sakti yang membuka jalan kekuasaan Suharto itu. Sang diktatur sendiri memilih membawa rahasianya itu hingga ke alam baka
Foto: Public Domain
Sejarah di Surat Palsu
Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret. Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan. Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarahawan. Hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Supersemar.
Foto: Public Domain
Tiga Diutus Suharto
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad. Di Bogor Sukarno disantroni tiga jendral utusan Suharto. Sejarah lalu mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas pulang ke Jakarta ketiga jendral telah mengantongi Supersemar
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Sebuah Pistol dan Amuk Massa
Tidak jelas bagaimana Sukarno mau menandatangani surat yang praktis melucuti kekuasaannya itu. Kesaksian pengawal presiden, Sukardjo Wilardjito, menyebut Sukarno ditodong pistol oleh seorang jendral utusan Suharto. Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa membubuhkan tandatangannya karena saat itu istana Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/dpa
Serah Kuasa Jendral Bintang Lima
Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Suharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 ia mengecam pihak yang telah menghianati perintahnya. "Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekiknya saat itu. Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority, melainkan sekedar surat perintah"
Foto: picture-alliance/dpa
Surat Istana Berkop Militer
Sejumlah orang mengaku mengetik Supersemar, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram, seorang perwira Cakrabirawa. Menurutnya ia mengetik naskah Supersemar dengan didampingi langsung oleh Sukarno. Namun sejahrawan Irlandia, Benedict Anderson mencatat kesaksian perwira lain bahwa Supersemar ditulis di atas kertas berkop Markas Besar Angkatan Darat. Artinya naskah Supersemar tidak disusun oleh Sukarno
Foto: Bartlomiej Zyczynski/Fotolia.com
Gerak Cepat Suharto
Hanya 24 jam setelah terbitnya surat sakti itu Suharto membubarkan PKI, menangkapi anggota kabinet dan orang-orang tedekat Sukarno. Menurut adik Suharto, Probosutedjo, surat itu tidak secara eksplisit memerintahkan pembubaran PKI. Sebab itu pula Sukarno menerbitkan surat perintah 13 Maret buat menganulir Supersemar. Serupa Supersemar, naskah asli surat perintah itu hingga kini lenyap tanpa bekas
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Terbenamnya Sang Putra Fajar
Setelah kekuasaannya dilucuti, Sukarno diasingkan dari kancah politik di Jakarta. Ia dilarang membaca koran atau mendengar radio. Kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi. Sementara itu Suharto mulai membangun kekuasaan dengan membentuk kabinet dan membujuk parlemen untuk mengesahkan Supersemar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Priyono
Membisu Hingga ke Alam Baka
Supersemar pada akhirnya digunakan oleh Suharto untuk melahirkan rejim orde baru. Hingga kematiannya sang diktatur tidak berniat membuka tabir sejarah gelap tersebut, begitu pula dengan orang-orang terdekatnya. Berbagai upaya yang dilakukan Arsip Nasional untuk menemukan naskah asli Supersemar terbentur sikap diam pejabat orba. Saat ini semua saksi kunci Supersemar telah meninggal dunia.
Foto: Public Domain
8 foto1 | 8
Lawan Gerilya
Capaian tertinggi Soeharto sebagai jagoan perang, adalah mampu tiba di Istana dengan strategi yang disebut "kudeta merangkak”. Konsep ”kudeta merangkak” sebenarnya diadopsi Soeharto dari taktik satuan infanteri dalam operasi lawan gerilya. Dalam operasi lawan gerilya, pihak yang menguasai ketinggian (seperti perbukitan), dianggap lebih unggul. Itu sebabnya dalam operasi tempur, satuan infanteri selalu berusaha merebut posisi ketinggian, yang biasanya sudah dikuasai pihak lawan lebih dahulu, dengan cara "merangkak”, maksudnya bukan dalam serangan frontal.
Demikian juga yang dilakukan Soeharto, dia mencapai Istana dengan cara merangkak atau bertahap. Sebelum berhadapan langsung dengan Presiden Soekarno, dia singkirkan dahulu para loyalis Soekarno, seperti Laksamana Omar Dani (KSAU), Mayjen Mar Hartono (Komandan Korps Marinir), Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi), dan seterusnya. Tahapan berikutnya sudah menjadi sejarah, dimana Soeharto kemudian berkuasa di negeri ini selama 32 tahun.
Di Jakarta hari ini, istilah "kudeta merangkak” menjadi aktual, sehubungan rumor adanya pihak tertentu yang berupaya menghentikan pemerintahan Presiden Jokowi di tengah jalan. Saya sendiri berpendapat, sebaiknya usaha itu jangan dilanjutkan.
Selain inkonstitusional, juga akan sia-sia belaka, mengingat strategi "kudeta merangkak” copyright-nya ada di tangan Soeharto. Jadi tidak bisa sembarang orang bisa menirunya, dan lagi peristiwa besar itu tidak bisa diulang. Demikian juga dengan perjalanan karir militer dan karier politik Soeharto, semuanya adalah privilege Soeharto, yang tidak bisa diulang atau dirujuk oleh perwira generasi sekarang.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu. (ap/yf)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Mesin Uang Gurita Cendana
Keserakahan keluarga Cendana nyaris membuat Indonesia bangkrut. Oleh banyak pihak keluarga Suharto disebut mengantongi kekayaan sebesar 200 triliun Rupiah. Inilah jurus gurita cendana mengeruk duit haram dari kas negara:
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Gurita Harta
Suharto punya cara lihai mendulang harta haram. Ia mendirikan yayasan untuk berbinis dan mendeklarasikannya sebagai lembaga sosial agar terbebas dari pajak. Dengan cara itu ia mencaplok perusahaan-perusahaan mapan yang bergerak di bisnis strategis, seperti perbankan, konstruksi dan makanan. Menurut majalah Time, Suharto menguasai 3.6 juta hektar lahan, termasuk 40% wilayah Timor Leste
Foto: AP
Yayasan Siluman
Tidak hanya menghindari pajak, yayasan milik keluarga Cendana juga mendulang rejeki lewat dana sumbangan paksaan. Cara-cara semacam itu tertuang dalam berbagai keputusan presiden, antara lain Keppres No. 92/1996 yang mewajibkan perusahaan atau perorangan menyetor duit sebesar 2% dari penghasilan tahunan. Dana yang didaulat untuk keluarga miskin itu disetor ke berbagai yayasan Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Bisnis Terselubung
Bekas Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro pernah menganalisa laporan keuangan ke empat yayasan terbesar Suharto. "Yayasan ini dibentuk untuk kegiatan sosial," tuturnya. "Tapi Suharto menggunakannya untuk memindahkan uang ke anak dan kroninya." Soedjono menemukan, Yayasan Supersemar menggunakan 84% dananya untuk keperluan bisnis, semisal pinjaman lunak kepada perusahaan yang dimiliki anak dan kroninya
Foto: picture alliance/dpa/A. Lolong
Lewat Kartel dan Monopoli
Cara lain yang gemar ditempuh Suharto untuk menggerakkan mesin uang Cendana adalah melalui monopoli. Teman dekatnya, The Kian Seng alias Bob Hasan, misalnya memimpin kartel kayu lewat Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO). Pengusaha yang kemudian dijebloskan ke penjara itu sering disebut sebagai ATM hidup keluarga cendana.
Foto: Getty Images/AFP/Firman
Bisnis Tepung Paman Liem
Taipan lain yang juga menjadi roda uang Cendana adalah Sudomo Salim alias Liem Sioe Liong. Sejak tahun 1969 pengusaha kelahiran Cina itu sudah mengantongi monopoli bisnis tepung lewat PT. Bogasari. Dari situ ia membangun imperium bisnis makanan berupa Indofood. Pria yang biasa disapa "Paman Liem" ini juga menjadi mentor bisnis buat putra putri Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Uang Minyak
Bukan rahasia lagi jika Pertamina pada era Suharto menjelma menjadi dompet raksasa keluarga Cendana. Sejak awal sang diktatur sudah menempatkan orang kepercayaannya, Ibnu Sutowo, buat memimpin perusahaan pelat merah tersebut. Sutowo kemudian memberikan kesaksian kepada majalah Time, tahun 1976 ia dipaksa menjual minyak ke Jepang dan menilap 0,10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak yang diekspor.
Foto: picture-alliance/dpa
Pewaris Tahta Cendana
Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sejak awal sudah diusung sebagai pewaris tahta Cendana. Putri tertua Suharto ini tidak cuma menguasai puluhan ribu hektar lahan sawit, stasiun televisi TPI dan 14% saham di Bank Central Asia, tetapi juga memanen harta tak terhingga lewat jalan tol. Hingga 1998 kekayaannya ditaksir mencapai 4,5 triliun Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Merajalela Lewat Bulog
Dari semua putera Suharto, Bambang adalah satu-satunya yang paling banyak berurusan dengan Liem Sioe Liong. Setelah mendirikan Bimantara Grup, Bambang terjun ke bisnis impor pangan lewat Badan Urusan Logistik yang saat itu didominasi Liem. Menurut catatan Tempo, selama 18 tahun kroni Suharto mengimpor bahan pangan lewat Bulog senilai 5 miliar Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Duit Cengkeh untuk Tommy
Melalui monopoli Hutomo Mandala Putra meraup kekayaan hingga 5 triliun Rupiah. Tahun 1996 ia mendapat status pelopor mobil nasional dan berhak mengimpor barang mewah dan suku cadang tanpa dikenai pajak. Selain itu Tommy juga menguasai Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang memonopoli penjualan dari petani ke produsen rokok. BPPC ditengarai banyak membuat petani cengkeh bangkrut.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Akhir Pahit Diktatur Tamak
Secara lihai Suharto membajak pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan keluarga. Menurut Bank Dunia, antara 1988 hingga 1996, Indonesia menerima investasi asing senilai USD130 miliar. Tapi struktur perekonomian yang dibuat untuk memperkaya kroni Cendana justru menyeret Indonesia dalam krisis ekonomi dan mengakhiri kekuasaan sang jendral. (rzn/yf: economist, times, bloomberg, bbc, kompas, tempo)