1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Wajah Solidaritas Waria Yogyakarta di Tengah Pandemi

A. Kurniawan Ulung
22 Juni 2021

Meski diabaikan pemerintah, para waria atau transpuan di Yogyakarta mencoba bertahan di tengah pagebluk COVID-19. Pandemi memang membuat mereka terpuruk, tetapi juga tingkatkan solidaritas.

Transpuan di Yogyakarta
Shinta Ratri (paling kiri) ingin santri-santrinya belajar keahlian lain, seperti membuat lilin aromaterapiFoto: A. K. Ulung/DW

Pada Sabtu (12/06), sejumlah trans perempuan (transpuan) menghabiskan sore hari dengan belajar membuat lilin aromaterapi di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah di Yogyakarta. Mereka tidak hanya belajar menakar bahan baku, seperti lilin kedelai dan minyak wangi, tetapi juga mengolahnya.

Santai tapi serius, mereka memperhatikan bagaimana instruktur dari Malini.yk, usaha wewangian aromaterapi lokal, melelehkan lilin berbahan dasar kedelai, mencampurnya dengan minyak wangi, dan menuangkan lilin yang telah mencair ke dalam gelas-gelas sloki.

Gelak tawa pecah ketika salah satu santri transpuan membuat kesalahan dan kawan-kawannya kemudian mengejeknya sepanjang acara. "Ya beginilah kalau waria kumpul. Semuanya pelawak," celetuk Nur Ayoe Kamboja, santri transpuan yang sehari-hari mengamen di sekitar Jl. Solo. 

Beban hidup semakin berat

Pelatihan pembuatan lilin aromaterapi di Pondok Pesantren Waria Al Fatah bertujuan membantu santri-santri transpuan memiliki keterampilan baru, menurut pendiri pesantren, Shinta Ratri.

Santri-santri Al-Fatah yang sebagian besar bekerja sebagai pengamen dan perias terpukul pandemi Covid-19, terutama ketika pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas secara ketat, seperti larangan penyelenggaraan resepsi pernikahan dan acara-acara lain yang berpotensi menimbulkan kerumunan, kata Shinta. Ia berharap, penghasilan tambahan dari membuat dan menjual lilin aromaterapi bisa membantu santri-santrinya memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Pendapatan kawan-kawan merosot hingga 60%. Mereka yang bekerja di salon hanya mendapatkan uang dari hasil merias di acara akad nikah," ujar Shinta kepada DW Indonesia.

Pendapatan pengamen transpuan juga berkurang drastis, kata Shinta. Larangan mudik, misalnya, membuat jalan sepi. Akibatnya, ketika lampu lalu lintas berwarna merah, tidak banyak mobil berhenti yang bisa dihampiri untuk dimintai saweran. 

Penghuni Pondok Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta menyimak presentasi pembuatan lilin aromaterapi oleh Malini.ykFoto: A. K. Ulung/DW

Banyak orang enggan menyawer, meskipun pada saat mengamen transpuan telah memakai masker dan menjaga jarak. Mereka pun kesulitan membeli makanan, membayar uang kos, dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya, termasuk membayar utang yang semakin menggunung.

"Mereka kemudian mengalami depresi, susah tidur dan gampang emosi. Mereka juga jadi susah diatur," kata transpuan berusia 59 tahun ini.

Donasi dari Jerman dan Inggris

Khawatir akan kesulitan ekonomi yang dihadapi transpuan, Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) mengajukan proposal permohonan bantuan ke berbagai lembaga donor di dalam dan luar negeri, seperti ViiV Healthcare dari Inggris dan Brot für die Welt (Bread for the World) dari Jerman.

Permohonan Yayasan Kebaya dikabulkan. LSM yang fokus memberikan perawatan dan penginapan gratis kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terlantar ini mendapatkan bantuan dana senilai Rp 360 juta dari Brot für die Welt. Dana ini kemudian dimanfaatkan untuk membuat berbagai program sosial tanggap darurat selama enam bulan guna membantu waria dan perempuan pekerja seks di empat kabupaten di Yogyakarta, mulai dari Sleman, Bantul, hingga Kulon Progo. 

Program tersebut ialah mendirikan 8 dapur umum, menstimulasi 16 kelompok usaha waria, dan membagikan 234 paket sembako setiap bulan, termasuk di dalamnya cairan pembersih tangan dan masker kain buatan transpuan. 

Sejak berdiri tahun 2006, Yayasan Kebaya telah memberikan perawatan dan tempat tinggal gratis kepada puluhan ODHA yang ditelantarkan keluarganya.Foto: A. K. Ulung/DW

"Program tersebut untuk menjaga ketahanan pangan komunitas marginal di masa pandemi karena mayoritas rekan-rekan tanspuan di Yogyakarta tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sehingga mereka tidak bisa mengakses Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah," ujar Rully Mallay, manajer program Yayasan Kebaya, kepada DW Indonesia.  

Yayasan Kebaya juga mendapatkan bantuan dana senilai 340 juta rupiah dari ViiV Healthcare yang kemudian digunakan untuk mendukung program sosial tanggap darurat yang tengah berlangsung. Yayasan ini juga mendirikan dapur umum baru dan menyelenggarakan berbagai acara, mulai dari seminar penyusunan protokol kesehatan khusus untuk transpuan dan perempuan pekerja seks hingga lokakarya tentang pembuatan masker dan pelatihan fotografi untuk komunitas LGBTQ.  

Dana dari ViiV, kata Rully, juga digunakan untuk menebus obat-obat infeksi oportunistik yang diderita pengidap HIV/AIDS (ODHA) karena obat-obat ini tidak ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. 

Kekuatan komunitas di masa sulit 

Selain aktif merawat ODHA di Yayasan Kebaya, Rully Mallay masih mengamen di area perbatasan Yogyakarta dan Klaten untuk menyambung hidup. Ia telah mengamen sejak tahun 2000, dan baru di masa pandemi inilah ia betul-betul merasakan susahnya mencari sesuap nasi.

Ia mengungkapkan, sebelum virus corona muncul, ia bisa mendapatkan Rp2 juta per bulan dari hasil menjual suara dan bermain alat musik. Akan tetapi, pendapatannya kini kurang dari Rp500 ribu per bulan. Rully Mallay terpaksa mengencangkan ikat pinggang agar ia dan anak asuhnya bisa bertahan hidup karena untuk membayar uang kos saja, ia harus mengeluarkan 300 ribu rupiah per bulan. 

Vinolia Wakijo, Direktur Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta, mencari donasi untuk membantu para transpuan selama pandemi.Foto: A. K. Ulung/DW

Namun, Rully tak kehilangan akal. Untuk memenuhi kebutuhan sayur, misalnya, ia berinisiatif menanam sayuran di halaman rumah kosnya. "Kami menanam bayam, kangkung, dan sawi. Ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sayur sehari-hari, dan kebetulan rumah kos kami memiliki halaman yang luas," katanya. 

Untuk membayar uang kos, Rully bersyukur karena mendapatkan bantuan subsidi dari Tamarra, seniman transpuan di Yogyakarta. Tamarra memanfaatkan akun Instagramnya, @tamarra, untuk menggalang donasi untuk meringankan beban transpuan agar mereka bisa membayar uang kos di masa pandemi.

Memiliki 2.610 pengikut di Instagram, Tamarra memulai aksinya pada April 2020, dan dalam waktu empat bulan, ia berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp88 juta dari berbagai pihak, termasuk kawan-kawannya di dunia seni. Uang ini kemudian disalurkan ke Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo) untuk membantu 150 waria membayar uang kos selama dua bulan.

Selama setahun, Tamarra konsisten menggalang donasi, dan pada Juni 2021, ia berhasil mengumpulkan Rp116 juta untuk membantu 150 waria membayar uang kos selama tiga bulan. Demi menjaga kepercayaan donatur, Tamarra melaporkan secara periodik nilai donasi yang ia terima dan tanggal penyaluran di akun Instagramnya.   

Solidaritas juga ditunjukkan oleh transpuan yang bekerja sebagai pemain kabaret. Menurut pembina mereka, Hidayat atau yang akrab disapa Oma Dayat, ketika pemerintah melarang penyelenggaraan acara musik dan hiburan untuk mencegah kerumunan, pertunjukan kabaret Raminten di Hamzah Batik di Malioboro sempat vakum beberapa bulan dan transpuan yang ia bina sempat kelimpungan pada saat itu. Akan tetapi, mereka ternyata tetap bisa berkarya di luar panggung kabaret, dan tetap tolong-menolong dengan saling menawarkan pekerjaan. 

Ia bercerita, beberapa transpuan yang dulunya pemain kabaret di Hamzah Batik kini memanfaatkan platform media sosial seperti Tik Tok dan Instagram untuk menghibur penggemar-penggemarnya secara virtual, dan secara digital pula, mereka mengharapkan saweran sukarela. 

"Mereka menari di rumah kos dan menyiarkannya secara langsung melalui Instagram atau Tik Tok. Mereka tampil bergantian agar masing-masing kebagian rezeki," kata Oma Dayat kepada DW Indonesia. 

Berawal dari menari dengan baik secara daring, anak didiknya mendapatkan undangan tampil secara luring di stasiun-stasiun TV dan memperoleh tawaran untuk mendukung produk tertentu (endorsement). Agar bisa terus berbagi rezeki, mereka meminta kawan-kawan di komunitas untuk membantu membuatkan kostum, menyiapkan aksesoris, dan merancang musik.

"Konektivitas kami tinggi. Walaupun kami jarang ketemu, kami punya rasa. Sebelum pandemi, misalnya, ketika ada transpuan yang sekarat dan ia sudah tua dan tinggal sendiri di rumah kos, kami rame-rame menolongnya," kata Oma Dayat.

Menurut Ayu Kusuma, Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo), transpuan di Yogyakarta selalu bergerak bersama sebagai sebuah komunitas, dan sebagai sebuah keluarga besar, mereka terbiasa tolong-menolong jauh sebelum pandemi muncul. 

Bermacam upaya untuk kembali bangkit 

Iwayo, kata Ayu Kusuma, memiliki 170 anggota aktif. Dari angka tersebut, 40% bekerja sebagai pengamen dan 50% sebagai pekerja seks. Di masa pandemi, mereka mencoba hal baru untuk bertahan hidup, seperti membuat kue dan beternak ikan, namun tanpa meninggalkan pekerjaan lamanya. 

"Mereka masih mengamen karena mereka bisa mendapatkan uang tanpa harus mengeluarkan modal. Tetapi, juga ada teman-teman yang sekarang berkonsentrasi dengan usaha barunya," kata Ayu kepada DW Indonesia. 

Pandemi COVID-19 juga telah membolak-balik kehidupan Ayu. Ia sebelumnya bekerja sebagai penyedia tenaga kerja jasa untuk klub malam, karaoke, dan spa. Ketika pandemi muncul, ia kehilangan pekerjaan karena pemerintah menutup ketiga tempat tersebut. 

Ia kini berjualan bakmi jawa, pecel lele dan soto ayam di warung yang ia namakan Warung Pinggir Sawah.

"Di masa pandemi ini, saya beralih profesi sampai enam kali. Saya coba, tetapi gagal. Saya coba lagi, tetapi gagal lagi. Saya coba terus sampai enam kali hingga akhirnya saya membuka warung ini. Saya benar-benar merasakan jatuh bangun. Saya benar-benar jatuh ke titik nol, dan kini saya mulai merangkak kembali, sedikit demi sedikit," kata Ayu.

Ia mengungkapkan, pemerintah daerah sama sekali tidak memberikan bantuan kepada transpuan di masa pandemi. Sejak tahun 2017, komunitas transpuan telah dicoret sebagai penerima bantuan pemerintah.

"Itu kebijakan pemerintah. Jika ingin mengakses dana dan bantuan tersebut, kita tidak boleh menggunakan kata ‘waria'. Semuanya harus sesuai dengan identitas di KTP,” kata Ayu. "Kata mereka, warga negara yang diakui di dalam struktur pemerintahan hanya laki-laki dan perempuan. Itu saja alasan mereka." 

Vinolia Wakijo, Direktur Yayasan Kebaya, mempertanyakan mengapa pemerintah tidak membantu transpuan di masa sulit seperti ini.

"Kenapa teman-teman waria tidak dibantu? Kita ini 'kan juga warga negara. Kalau kita bicara kelas, teman-teman waria ada di kelas menengah ke bawah. Kita sangat terpuruk. Apa sih kekayaan waria? Mereka hanya punya bas betot sama modal suara, dan mereka juga nyanyi sebisanya," kata transpuan berusia 63 tahun ini. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait