Sejumlah petinggi partai telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Bahkan partai-partai baru. Apa tujuan dan makna 'sowan' ke orang nomor satu di Indonesia ini? Simak opini Zaky Yamani.
Iklan
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sowan diartikan sebagai menghadap (kepada orang yang dianggap harus dihormati, seperti raja, guru, atasan, orang tua); berkunjung. Dari arti tersebut, dapat kita maknai bahwa sowan adalah menghadapnya orang yang (merasa) lemah secara politik, sosial, atau ekonomi kepada pihak yang sebaliknya:kuat secara politik, sosial, atau ekonomi.
Sowan juga dapat diartikan sebagai simbol pengakuan kekuasaan terhadap seorang penguasa baru. Dari kisah-kisah sejarah, dapat kita baca bagaimana seorang raja atau maharaja atau kaisar, juga bisa menerima pengakuan kekuasaan dari raja-raja yang lebih lemah melalui sowan: raja atau penguasa yang lebih lemah datang menghadap untuk menyatakan pengakuannya terhadap kekuasaan raja tersebut. Sowan bisa terjadi karena pihak yang lemah dipaksa untuk menyatakan pengakuannya, bisa juga karena sukarela sebagai bentuk taktik politik untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan kekuasaan dalam wilayah yang lebih kecil. Sowan bisa juga dilakukan demi mendapatkan jatah kekuasaan politik dalam level tinggi, misalnya agar bisa mendapat tempat di dalam lingkungan istana, dan pada akhirnya ikut memengaruhi kebijakan seorang maharaja atas bangsa dan wilayah yang dia kuasai.
Sowan tentu saja merupakan salah satu perwujudan teori patron-klien, seperti diungkap James Scott (1972), di mana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan---yang akan memberi keuntungan bagi pengaruh dan sumber dayanya itu sendiri---bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih rendah (klien), di mana klien membalasnya dengan menawarkan dukungan dan bantuan menyeluruh, termasuk layanan pribadi, kepada patronnya.
Tidak ada kesetaraan dalam patron-klien, dan demikian juga dalam praktik sowan. Yang ada adalah unjuk inferioritas di satu pihak, dan unjuk superioritas di pihak lainnya.
Indonesia nyaris identik—kalau tidak bisa dikatakan sepenuhnya identik—dengan model politik patron-klien ini. Politik Indonesia modern—yang dimulai sejak awal abad 19 dan digerakkan oleh generasi muda di zaman itu dan merentang sampai sekarang—tetap kental dengan nilai dan nuansa patron-klien, dan itu menunjukkan revolusi mental, sosial, dan politik sejak masa itu sampai sekarang tidak pernah bisa menghadirkan budaya egaliter yang sepenuhnya.
Bahkan di dua babak awal republik ini, kita tergelincir pada politik patrimonial yang berujung pada kediktatoran: Soekarno yang menjadi diktator sipil melalui jabatan presiden seumur hidupnya, dan Soeharto yang menjadi diktator militer selama 32 tahun. Dan di akhir masing-masing babak, kita berkubang darah karena konflik horisontal.
Kita bisa mengartikan patrimonialisme sebagai bentuk pemerintahan di mana kekuasaan mengalir langsung dari seorang pemimpin. Rezim patrimonial adalah rezim autokratis dan oligarkis serta meminggirkan kelas atas dan kelas menengah dari kekuasaan. Para penguasanya biasanya menikmati kekuasaan personal absolut, dan biasanya tentara di negeri-negeri semacam itu setia kepada pemimpin, bukan kepada negara. Bahkan pemimpin diidentikkan dengan negara, yang melahirkan kekacauan dalam demokrasi, di mana ketika pemimpin dikritik, para pengkritiknya akan dianggap sebagai pihak yang melawan negara.
Begitu berbahayanya patrimonialisme, seharusnya sikap apa pun yang mendorong Indonesia menuju politik patrimonial harus dikritik keras—kalau tidak bisa dikatakan harus dilawan.
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.
Foto: Getty Images
8 foto1 | 8
Politik patrimonial
Sayangnya, atas nama budaya dan tradisi, kita kerap begitu ringan melangkah ke arah politik patrimonial. Istilah-istilah seperti sowan dan sikap-sikap yang menyertainya begitu sering dilakukan, dipertontonkan para aktor politik, dan direproduksi di media-media. Sejak era Soekarno sampai era Joko Widodo, kita tidak pernah jengah melakukan hal semacam itu, dan seperti tak peduli pada dampak merugikan yang mungkin akan menyusul. Pun demikian, di kubu oposisi tradisi patron-klien ditunjukkan dan dipertahankan.
Menjelang pemilihan presiden tahun 2019, kita bisa dengan mudah melihat pertunjukan patron-klien dan politik patrimonial. Bahkan Joko Widodo, yang awalnya bisa dikatakan sebagai orang yang mewakili wong cilik dan egaliter, sudah menjadi seorang patron (terlepas apakah dia pun mungkin seorang klien terhadap patron yang memberinya jalan dalam kekuasaan, misalnya dalam hal ini Megawati dan PDIP).
Joko Widodo dipandang memiliki kuasa, dan karenanya para aktor politik berlomba untuk berada di bawah kekuasaannya, meminta arahannya, dan menawarkan diri untuk tetap menjaganya berada dalam kekuasaan. Hal sama ditunjukkan para pesaingnya, misalnya Prabowo yang menjadi patron untuk para pengikutnya.
Saling serang pernyataan dan tudingan antar pendukung di dua kubu juga menegaskan penjelasan James Scott, bahwa ketika seorang patron menerima dukungan klien, maka ”... klien membalasnya dengan menawarkan dukungan dan bantuan menyeluruh termasuk pelayanan pribadi kepada patronnya.”
Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia akan sanggup keluar dari budaya patron-klien itu, dan mulai mempraktikkan politik yang egaliter: di mana kekuasaan dan dukungan didistribusikan kepada aktor-aktor politik berdasarkan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama, yaitu membangun negara melalui blue print yang objektif, bukan penyaluran kekuasaan dari seorang patron kepada para kliennya dalam rangka mendapatkan tujuan-tujuan pribadi?
Tokoh-tokoh Indonesia di Madame Tussauds
Bukan hanya Jokowi, sejumlah tokoh Indonesia ini juga jadi penghuni istana lilin Madame Tussauds. Museum ini terdapat di berbagai kota-kota besar di dunia.
Foto: madametussauds.com/hong-kong
Museum patung lilin Madame Tussauds
Madame Tussauds adalah sebuah museum lilin terkenal di London, Inggris, dengan cabang-cabangnya di beberapa kota besar di dunia. Museum ini pertama kali didirikan oleh pematung lilin Marie Tussaud. Banyak tokoh terkenal yang terpilih menjadi model museum unik ini.
Foto: Imago/Westend61
Presiden Joko Widodo
Baru-baru ini, patung Jokowi diresmikan di Madame Tussauds Hong Kong dan menjadi koleksi unggulan cabang museum ini pada tahun 2017.Latar belakang patung Jokowi di Madame Tussauds Hong Kong ini adalah pemandangan-pemandangan tujuan wisata indah Indonesia, seperti Candi Borobudur dan Raja Ampat.
Foto: madametussauds.com/hong-kong
Presiden pertama RI, Ir.Sukarno
Jokowi bukan presiden yang pertama kali tampil di Madame Tussauds. Patung presiden pertama RI, Soekarno juga telah menghuni cabang museum ini, di Singapura, Bangkok dan Hong Kong. Para pemimpin negara lainnya yang juga dibuatkan patung lilin di museum ini di antaranya bekas presiden AS, Barack Obama dan pemimpin China, Xi Jinping.
Foto: Getty Images/AFP/P. Kittiwongsakul
Pemain bulutangkis, Rudy Hartono
Dari bidang olahraga, terpilih nama Rudy Hartono yang dibuatkan patung lilin di Madame Tussauds. Pebulutangkis legendaris Indonesia langganan kejuaraan dunia, termasuk All England itu, namanya juga tercatat dalam buku Guiness World Records.
Foto: Instagram/mtssingapore
Penyanyi Anggun
Tahun 2016, giliran penyanyi asal Indonesia, Anggun yang dipajang di Madame Tussauds.Lokasinya di Madame Tussauds Bangkok. Anggun terpilih untuk dibuatkan patung lilinnya di Madame Tussauds adalah karena keberhasilannya di kancah internasional dengan merilis album di 33 negara. Perancang terkemuka Jean-Paul Gaultier merancang gaun dan perhiasan yang elegan untuk patung lilin Anggun.
Foto: Imago/Belga
Sosok di balik museum patung lilin
Pematung lilin Marie Tussaud lahir tahun 1761 di Perancis. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk Dr. Phillippe Curtius yang mahir membuat patung lilin dan mengajarkan Marie. 1802, Marie Tussaud pindah ke London dan berpameran dan membuka museum. Kini museum lilin Madame Tussaud kini telah berkembang menjadi sebuah tujuan wisata.
Foto: Imago/Olaf Wagner
Jolie-Pitt ‘Cerai‘ di Madame Tussauds
Tokoh-tokoh dunia dibuat patung lilinnya di museum patung lilin Madame Tussauds. Di Berlin dan London patung Jolie-Pitt dipisah usai berbedarnya kabar keretakan hubungan pasangan aktris Angelina Jolie dan Brad Pitt. Patung pasangan ini tergolong jadi favorit pengunjung untuk ‘foto bareng’.
Foto: picture-alliance/dpa/B.Pedersen
Tak hanya di Gedung Putih, Trump geser Obama
Posisi Barack Obama yang digeser oleh Donald Trump bukan hanya di Gedung Putih saja, melainkan juga di Madame Tussauds London. Anda ingin berfoto dengan patung lilinnya? (Ed: ap/yf/berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/dpa/T.Akmen
8 foto1 | 8
Jawabannya ada di generasi muda
Jika generasi muda Indonesia tak juga belajar tentang politik dan kekuasaan secara utuh, dan hanya memandang politik sebagai jalan dan cara meraih kekuasaan per se, tanpa belajar teori-teori sosiologis/antropologis, maka Indonesia akan terus diikat dalam patrimonialisme yang dilindungi prinsip "menghargai tradisi”. Setiap calon pemimpin, bahkan yang tadinya dipandang paling egaliter sekalipun, pada akhirnya akan kalah oleh tradisi dan tergelincir pada patrimonialisme.
Contoh-contoh buruknya sudah sering terjadi di politik level lokal. Misalnya, beberapa kali saya perhatikan ada kepala daerah-kepala daerah yang tak jengah sowan kepada mantan kepala daerah yang berada di dalam penjara sekali pun untuk meminta nasihat. Bayangkan, betapa pekatnya tradisi patrimonialisme itu, sampai generasi baru para pemimpin pun tak bisa melepaskan diri dari ikatan tradisi untuk sowan, bahkan kepada penguasa yang sudah terbukti melakukan kejahatan publik.
Harapan baru akan muncul jika generasi muda Indonesia melepaskan diri dari nilai dan tradisi semacam itu, dan generasi tua berhenti untuk mengajari dan memberi contoh tradisi patron-klien dan politik patrimonialisme. Jika itu terjadi mulai hari ini, mungkin dalam satu atau dua dekade mendatang, kita bisa melihat politik dan kekuasaan bisa berada dalam genggaman orang-orang idealis, yang bersih dari pengaruh generasi sebelumnya.
Tapi sayang, kita belum bisa melihatnya hari ini. Bahkan partai politik baru pun—yang berisi anak-anak muda—masih dengan bangga sowan ke istana untuk menunjukkan dukungan dan mendapatkan restu.
Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz), jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Jokowi Jadi Presiden Kedua yang Kunjungi Afghanistan Setelah Sukarno
Setelah 57 tahun, Presiden Republik Indonesia kembali melawat ke Afghanistan.
Foto: Bey Machmudin
Setelah Sukarno
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana tiba di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, Senin 29 Januari 2018 pukul 11.40 waktu setempat. Kunjungan Kenegaraan Presiden Jokowi ke Afghanistan merupakan kunjungan kedua Presiden Republik Indonesia ke Afghanistan setelah Kunjungan Kenegaraan Presiden Sukarno pada tahun 1961.
Foto: Bey Machmudin
Hujan salju
Udara dingin bahkan hujan salju yang selimuti Kabul tidak mengurangi hangatnya penyambutan yang dilakukan pemerintah Afghanistan. Pejabat Afghanistan yang menyambut: Wakil Presiden Sarwar Danish, Menteri Luar Negeri Salahudin Rabbani, Menteri Keuangan Eklil Hakimi, Dubes Afghanistan untuk Indonesia Roya Rahmani, Gubernur Kabul Mohammad Yaqoub Haidan, Walikota Kabul Abdullah Habibzal.
Foto: Bey Machmudin
Kunjungan pasca teror
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengucapkan terima kasih kepada pemimpin Indonesia atas kunjungannya dan belasungkawa yang diungkapkan Widodo untuk korban rangkaian serangan di Kabul sebelum kedatangannya.
Foto: Bey Machmudin
Soal keamanan
Joko Widodo mengadakan pembicaraan dengan para pejabat tinggi tingkat tinggi lainnya di Afghanistan dan membahas masalah bilateral. Ghani mengatakan bahwa dia berharap Afghanistan dapat memanfaatkan pengalaman Indonesia dalam mendapatkan dukungan para ulama untuk menghadapi ekstremisme.
Foto: Bey Machmudin
Konflik berkepanjangan
Afghanistan dililt konflik berkepanjangan. Ledakan bom di penghujung Januari ini bahkan menewaskan lebih dari 100 orang. Baru-baru ini delegasi Dewan Perdamaian Tinggi Afganistan, yang bertugas mempromosikan upaya perdamaian dengan Taliban dan kelompok gerilyawan lainnya, melakukan perjalanan ke Indonesia. Indonesia menegaskan kembali dukungan terhadap proses perdamaian Afghanistan.