Aksi protes di Charlotte, North Carolina AS yang dipicu penembakan warga kulit hitam tak bersenjata memuncak jadi kerusuhan. Gubernur North Carolina nyatakan situasi darurat di kota itu.
Iklan
Amerika Serikat kembali diguncang aksi protes berlatar belakang penembakan rasialis. Menyusul insiden aksi tembak mati seorang warga kulit hitam yang disebut tak bersenjata, Keith Lamon Scott Selasa lalu, warga menggelar aksi demonstrasi damai untuk memprotes kekerasan oleh polisi terhadap warga Afro Amerika yang terus berlangsung.
Charlotte protests broadcast live on Facebook
00:43
Protes yang mulanya digelar secara damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah polisi bertindak brutal membubarkan para demonstran yang bergerak menuju kawasan pusat kota Charlotte. Saksi mata melaporkan polisi menembakkan peluru karet dan gas air mata, menggunakan semprotkan merica dan granat pengejut untuk membubarkan massa. Polisi melaporkan, para demonstran yang terlebih dulu melemparin polisi dengan petasan dan batu.
Bentrokan bertambah hebat, setelah tersiar kabar seorang demonstran tewas tertembak oleh polisi. Para demonstran mulai memecahkan kaca-kaca bangunan di dekat sebuah hotel berbintang. Aksi penjarahan dilaporkan pecah setelah situasi bertambah kacau.
Diskriminasi Kulit Hitam di Amerika Serikat
Diskriminasi terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat masih menjadi momok. Di banyak bidang situasinya justru memburuk setelah era Martin Luther King.
Foto: picture-alliance/dpa/Justin Lane
Sebuah Ilusi tentang Persamaan
Ketika Barack Obama dikukuhkan sebagai presiden kulit hitam pertama AS, banyak yang menilai Amerika Serikat telah memasuki era "Post Racial", sebuah negara tanpa perbedaan ras dan diskriminasi. Tidak cuma kasus di Ferguson, data-data statistik lainnya mengubur imipian tersebut.
Foto: Reuters
Kemiskinan
Penduduk kulit hitam mendominasi statistik kemiskinan Amerika Serikat. Situasi tersebut tidak berubah banyak sejak 30 Tahun lalu. Tahun 1974 cuma 8 persen warga kulit putih dililit kemiskinan (kini 10%), sementara pada warga kulit hitam jumlahnya sebesar 30 persen (kini 28%).
Foto: Reuters
Separuh Prespektif
Diskriminasi di pasar tenaga kerja AS berlangsung hampir secara sistematis. Tingkat pengangguran masyarakat kulit hitam sejak 50 tahun adalah dua kali lipat lebih tinggi ketimbang warga kulit putih. Mirisnya jumlah tersebut tidak berubah terlepas dari pertumbuhan ekonomi atau perubahan pada tingkat pengagguran secara umum.
Foto: picture-alliance/dpa/Justin Lane
Perbedaan Pendapatan
Sejak 1950 pendapatan rata-rata warga kulit hitam selalu berada di bawah 60% dari upah yang diterima oleh warga kulit putih. Cuma pada tahun 1969/1970 jumlahnya meningkat menjadi sekitar 63 persen.
Foto: DW/G. Schließ
Jurang Kemakmuran
Saat ini rata-rata kekayaan warga kulit putih berkisar 97.000 US Dollar. Sementara warga hitam cuma berkisar 4.900 USD, atau 1500 USD lebih sedikit ketimbang tahun 1980. Melihat perbedaan pendapatan antara dua kelompok yang signifikan, tidak heran jika kemampuan warga Afro-Amerika buat menabung atau menyimpan harta lebih sedikit ketimbang warga kulit putih.
Foto: picture alliance/landov
Risiko Dibui
Peluang buat seorang warga kulit hitam mendekam di balik terali bui enam kali lipat lebih besar ketimbang seorang kulit putih. Menurut data NAACP, organisasi lobi kulit hitam AS, jumlah warga kulit putih yang menggunakan narkoba lima kali lipat lebih banyak ketimbang warga hitam. Namun warga Afro-Amerika yang didakwa terkait narkoba berjumlah 10 kali lipat lebih banyak ketimbang kulit putih
Foto: M. Tama/Getty Images
Cuma Pendidikan Dasar
Menurut catatan tahun 2012, cuma 21 persen warga Afro-Amerika yang memiliki ijazah universitas. Sementara warga kulit putih mencatat angka 34 persen. Secara ironis Departemen Pendidikan AS mengeluarkan statistik 2009 lalu, bahwa untuk pertamakalinya terdapat lebih banyak pemuda kulit hitam yang sedang berkuliah ketimbang mendekam di penjara.
Foto: Reuters
Pendidikan Terpisah
Pengucilan adalah keseharian pada sistem pendidikan AS. Hampir 40 persen bocah kulit hitam menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang juga didominasi oleh murid Afro-Amerika. Jumlah ini banyak berkurang ketimbang tahun 1968 yang mencatat angka 68%. Tidak berubah adalah fakta bahwa tigaperempat bocah kulit hitam belajar di sekolah yang lebih dari 50% muridnya non kulit putih.
Foto: Chris Hondros/Newsmakers/Getty Images
Besar di Ghetto
Segregasi di tengah masyarakat AS juga terlihat pada tempat tinggal. 45 persen bocah kulit hitam yang berasal dari keluarga miskin, hidup di wilayah-wilayah kumuh atau Ghetto. Sebaliknya cuma 12 persen bocah kulit putih yang hidup dalam situasi serupa.
Foto: picture alliance / blickwinkel/Blinkcatcher
Dua Realita yang Berjauhan
Lebih dari 50% warga kulit hitam Amerika Serikat menyebut empat hal sebagai ladang diskriminasi, yakni perlakuan aparat kepolisian, pekerjaan, pengadilan dan sekolah. Sementara pada warga kulit putih jumlahnya kurang dari 30 persen. Secara keseluruhan penduduk Afro-Amerika meyakini adanya praktik diskriminasi berbau rasisme terhadap mereka, entah itu di restoran atau rumah sakit.
Foto: Getty Images
Euforia Berakhir
Sebanyak 35% Warga kulit putih menilai kondisi hidup mereka lebih baik ketimbang lima tahun lalu. Sementara pada warga Afro-Amerika, jumlahnya cuma berkisar 26 persen. Euforia sempat memuncak ketika Barack Obama terpilih sebagai presiden Amerika 2009 silam. Namun kini harapan akan perbaikan situasi warga kulit hitam tergerus oleh realita.
Foto: Reuters
11 foto1 | 11
Beberapa jam kemudian polisi melaporkan, korban tertembak tidak mati tapi dalam kondisi kritis. Aparat keamanan juga menuduh tembakan dilepaskan dari kerumunan demonstran. Setelah diguncang aksi protes selama dua hari, gubernur negara bagian North Carolina, Pat MacCrory menyatakan situasi darurat di kota Charlotte.
Dua versi insiden penembakan
Presiden Barack Obama bereaksi langsung menanggapi insiden penembakan warga kulit hitam oleh polisi kulit putih yang kesekian kalinya itu, dengan menelpon langsung walikota Charlotte untuk meminta informasi.
Sejauh ini terdapat dua versi terkait penembakan warga Afro-Amerika itu. Komanmdan kepolisian di Charlotte, Kerr Putney tetap ngotot menyatakan korban membawa senjata api dan aparat menemukan senjata bersangkutan. Sementara sejumlah saksi mata menyebut, korban penembakan hanya membawa buku, dan sudah mengangkat tangan saat diperintahkan keluar mobilnya.
Amerika Negeri Polisi
Militerisasi kepolisian AS mulai menggerogoti stabilitas negeri. Langkah yang dulu diperlukan dalam perang obat bius itu malah meracuni mentalitas instansi kepolisian dan berbalik mengancam hak-hak warga sipil
Foto: Getty Images/S.Platt
Perang Narkoba
Saat ini Amerika Serikat memperkerjakan hingga 900.000 aparat kepolisian. Jumlah tersebut membengkak sejak dekade 1990an. Pada saat itu di AS berkecamuk perang obat bius antara kepolisian dan kartel narkoba. Sejak saat itu setiap tahun satuan khusus kepolisian yang bernama SWAT diterjunkan sebanyak 50.000 kali dalam setahun dari yang sebelumnya cuma 3000.
Foto: Reuters/L. Jackson
Militerisasi Aparat
Untuk memperkuat kepolisian dalam perang narkoba pemerintah AS di era Presiden Bill Clinton mengesahkan National Defence Authorisation Act yang antara lain mencantumkan "program 1033." Butir tersebut mengizinkan kepolisian lokal mendapat peralatan militer semisal senapan serbu, baju pelindung atau bahkan kendaraan lapis baja dan senjata pelontar granat.
Foto: Getty Images/S.Eisen
Dana Raksasa
Antara 2002 hingga 2011 pemerintahan federal AS telah mengucurkan dana sebesar 35 miliar Dollar atau sekitar 450 triliun Rupiah kepada polisi lokal untuk perang melawan obat bius dan terorisme. Yayasan American Civil Liberties Union (ACLU) mencatat nilai perlengkapan militer yang digunakan polisi meningkat dari 1 juta Dollar di tahun 1990 menjadi 450 juta di tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Lauer
Racun di Kepolisian
Tapi perang narkoba ikut meracuni mentalitas aparat keamanan AS. Polisi yang dulunya bekerja untuk melayani warga, kini menjadi serdadu dengan tugas membunuh. Tidak heran jika kasus penembakan oleh polisi meningkat tajam. Tahun 2015 silam polisi AS menembak mati 90 orang yang tidak bersenjata tanpa alasan jelas.
Foto: Reuters/A. Latif
Tentara Pendudukan
Pertengahan tahun lalu Presiden Barack Obama mengeluhkan betapa "perlengkapan militer justru membuat polisi merasa seakan-akan menjadi tentara pendudukan dan ini bertentangan dengan peran melindungi warga." Namun demikian gagasan demilitarisasi kepolisian selama ini selalu menemui perlawanan di parlemen dan senat, terutama berkat lobi industri senjata.
Foto: Getty Images/S.Platt
Senjata Perang Seharga Kacang
Celakanya program 1033 sering disalahgunakan. Departemen Kepolisian di Watertown, sebuah kota kecil berpenduduk 22.000 jiwa di Connecticut, misanya beberapa tahun silam mendapat kendaraan lapis baja MRAP yang didesain untuk melindungi serdadu dari jebakan ranjau di pinggir jalan. Untuk itu kepolisian lokal cuma membayar 2800 Dollar. Ironisnya Watertown tidak pernah mencatat kasus jebakan ranjau
Foto: Reuters / Mario Anzuoni
Bias Rasial
Demam militer juga melanda kepolisian lokal di kota-kota kecil Amerika. Kepolisian di Bloomington, Georgia, yang berpenduduk cuma 2700 orang saat ini memiliki empat senjata pelontar granat. Situasi itu diperburuk dengan pendekatan kepolisian terhadap kaum minoritas hitam yang cendrung bias rasial. Menurut ACLU kaum Afrika-Amerika adalah yang paling sering menjadi korban brutalitas kepolisian.
Foto: Getty Images/S.Platt
Serdadu Berburu Baju Curian
Januari silam polisi di negara bagian Iowa menurunkan tim bersenjata lengkap untuk menyerbu sebuah rumah. Misi mereka adaah mencari benda curian seharga 1000 Dollar AS. Ketika diketahui pemilik rumah yang berkulit hitam tidak bersalah dalam kasus tersebut, polisi lalu memublikasikan catatan kriminal mereka untuk membenarkan penyerbuan.
Foto: picture-alliance/dpa/A.Welch Edlund
Nyawa Tanpa Warna
Polisi berdalih perlengkapan militer dibutuhkan untuk melindungi warga dari kejahatan berat semisal penembakan massal. Namun brutalitas aparat keamanan yang dalam banyak kasus sering disisipi bias rasial memicu ketegangan sipil di seantero negeri. Komunitas kulit hitam sampai-sampai membuat gerakan sipil bernama "black lives matter".
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. J. Wambsgans
Dukungan Pemerintah
Ironisnya kepolisian juga kerap menindak keras demonstran yang turun ke jalan buat menentang brutalitas aparat keamanan. Dalam berbagai aksi protes seperti di Ferguson atau Phoenix, polisi menangkap aktivis dan bahkan wartawan. Terebih sebagian besar perwira yang terlibat dalam penembakan terhadap warga sipil divonis bebas oleh pengadilan.
Foto: Reuters/A. Latif
10 foto1 | 10
Kandidat presiden dari kedua partai besar, Hillary Clinton dan Donald Trump secara senada juga mengecam aksi penembakan oleh polisi di North Carolina dan aksi serupa di Oklahoma. Kubu Demokrat mengecamnya sebagai tidak bisa ditolerir. Sementara kubu Republik mengecamnya sebagi sangat berbahaya.
Kelompok aktivis kulit hitam Amerika Serikat kini menyerukan boikot ekonomi di Charlotte. Sementara American Civil Liberties Union menuntut kepolisian untuk merilis rekaman video dari dashbord mobil patroli dan kamera yang dipasang di badan polisi, untuk mendapat kejelasan dari insiden berbu rasialis ini.
Amarah Membakar Ferguson
Keputusan dewan juri membebaskan perwira polisi, Darren Wilson dari dakwaan usai menembak mati remaja kulit hitam Michael Brown, menyulut amarah warga afro-amerika di seantero negeri.
Foto: Reuters/J. Young
170 Protes demi Michael Brown
Keputusan kontroversial dewan juri dalam kasus kematian remaja kulit hitam Michael Brown disusul oleh 170 aksi demonstrasi di seluruh negeri. Ribuan manusia tumpah ke jalan dan melumpuhkan kota-kota besar seperti New York, San Fransisco dan Los Angeles.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Polisi menjadi Sasaran
Kasus Ferguson tidak cuma menguak fenomena rasisme sistematis yang dialami kaum kulit hitam Amerika Serikat, tetapi juga brutalitas aparat kepolisian. Berulangkali polisi AS terlibat dalam aksi penembakan yang tidak perlu dan menelan korban jiwa. Amarah penduduk Ferguson kali ini pun diarahkan kepada kepolisian yang dianggap menganaktirikan warga kulit hitam.
Foto: Reuters/J. Young
Brutalitas Aparat
Tidak cuma warga kulit hitam yang berdemonstrasi, warga kulit putih AS juga ikut turun ke jalan buat menentang rasisme di tubuh aparat kepolisian. Baru-baru ini seorang polisi di Cleveland, Ohio, menembak mati seorang bocah hitam berusia 12 tahun karena menenteng pistol mainan. Dalam pembelaannya, sang polisi mengaku pistol mainan yang dibawa bocah itu serupa dengan yang asli.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Darren Wilson
Untuk pertamakalinya Darren Wilson, perwira polisi yang menembak mati Michael Brown, tampil ke depan publik. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi ABC, ia mengaku tidak menyesal dan akan melakukan tindakan yang sama dalam situasi serupa. Ia menyesali kematian Brown namun mengklaim dirinya tidak memiliki perasaan bersalah karena telah bertindak sesuai aturan.
Foto: Reuters/St. Louis County Prosecutor's Office
Penjarahan
Lusinan gedung dibakar massa. Termasuk salah satu restoran ini. Sementara toko-toko dikabarkan dijarah usai pengadilan membebaskan Darren Wilson.
Foto: Reuters/Adrees Latif
Mobil-mobil Dibakar
Demonstran melempar botol dan batu bata ke arah kendaraan polisi. Puluhan mobil dibakar massa. Termasuk di antaranya milik sebuah dealer mobil.
Foto: Reuters/Jim Young
Api Melalap Kota
Tidak terhitung jumlah gedung pemerintah, rumah dan toko yang turut terbakar. Terutama Ferguson dan kota terdekat, St. Louis menderita kerusakan terbesar akibat aksi demonstrasi.
Foto: Reuters/Jim Young
Aksi Protes
Amarah tersulut di beberapa kota besar Amerika Serikat ketika dewan juri memutuskan tidak mengajukan gugatan terhadap Darren Wilson, perwira polisi yang menembak mati remaja berkulit hitam, Michael Brown.
Foto: Reuters/Kate Munsch
Demonstrasi di Ibukota
Aksi protes juga muncul di ibukota Washington DC. Wilson, polisi yang menembak mati Michael Brown, mengklaim dirinya bertindak karena merasa terancam. Tidak jelas bagaimana seorang remaja tanpa senjata bisa mengancam seorang polisi.
Foto: Reuters/Joshua Roberts
"Nyawa kulit hitam juga berharga"
Tulisan berbunyi "Black lives matter" menempel di plakat yang diusung demonstran. Bahwa seorang polisi kulit putih dibebaskan dari dakwaan setelah menembak mati warga kulit hitam dianggap oleh sebagian besar warga Ferguson sebagai rasisme