1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Stigma dan Peran Ganda: Lika-liku Ibu Tunggal Meraih Bahagia

20 Desember 2024

Menjadi ibu tunggal tak lepas dari dinamika dan stigma. Tak cukup mengemban peran ganda, label yang melekat kian menambah beban perjuangan mereka.

Seorang anak dan perempuan dewasa
Ilustrasi ibu bekerja sambil mendidik anakFoto: NATEE MEEPIAN/IMAGO/Zoonar

Mempersiapkan kebutuhan rapat dengan klien, menyiapkan bekal, hingga mengantar sekolah si bungsu jadi rutinitas pagi hari Icha, sapaan akrab bagi Anisa. Ia memutuskan mengakhiri pernikahannya pada awal 2021. Icha pun harus berperan ganda, sebagai ibu sekaligus ayah bagi kedua anaknya.

Sebelum memutuskan bercerai, Icha sadar bahwa tanggung jawab yang kelak dipikulnya tidaklah mudah. Salah satunya adalah peran baru sebagai tulang punggung keluarga. Ini mengharuskan Icha masuk kembali ke dunia kerja setelah 8 tahun menjadi ibu rumah tangga.

"Aku biasa bekerja, kemudian setelah menikah harus berhenti bekerja untuk mengurus anak dan rumah tangga," kenang Icha.

"Akhirnya sekarang aku mencoba untuk melamar pekerjaan lagi tapi sangat sulit karena semua perusahaan itu mempertimbangkan kondisiku yang sudah punya anak," tambahnya.

Perempuan kerap dinilai tak kompeten hanya karena punya anak

Selain bertaruh dengan kesediaan posisi kerja, ibu yang ingin kembali berkarier juga masih harus "bertarung” dengan bias dalam proses seleksi. Selain itu, usia juga menjadi alasan sulitnya Icha kembali ke dunia kerja, terlebih dengan banyaknya perusahaan yang lebih memilih untuk merekrut fresh graduate.

Kepada DW, Icha mengisahkan perjalanannya mencari pekerjaan. Ia dinilai tak cukup cakap, hanya karena telah menjadi ibu. "Pada saat itu sih alasannya takut anak menjadi pengganggu pada saat aku bekerja."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Icha pun merasa pengalamannya sebagai ibu rumah tangga cenderung tak dianggap serius. Celah kosong di CV-nya juga jadi salah satu hambatan bagi kala berhadapan dengan rekruter.

"Sebetulnya aku masih bisa manage waktu dengan baik, antara anak dan pekerjaan. Tapi tidak ada kesempatan untuk aku mencoba, semisal minimal probation 3 bulan, .... Sudah langsung di-cut di awal,” kata Icha.

Sebuah studi dari Stanford University menyebut bahwa para perekrut punya kecenderungan 2,1 kali lipat lebih tinggi untuk memanggil kembali pelamar perempuan yang bukan ibu, daripada yang berstatus ibu, meski dengan kualifikasi yang sama.

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menyebut ibu yang ingin kembali ke dunia kerja kerap didera stigma dengan banyaknya miskonsepsi bahwa pekerja perempuan hanya bisa punya satu jenis karakter: hangat atau kompeten.

"Perempuan yang berlatar belakang ibu rumah tangga ini sering dianggap memiliki karakter hangat sehingga praktis dihakimi bahwa mereka tak cakap dan kompeten dalam bekerja. Bias seperti ini yang kerap menghantui para ibu yang ingin kembali bekerja,” jelas Alimatul.

Ibu tunggal perlu mandiri finansial

Kemandirian finansial menjadi satu dari banyaknya isu fundamental yang mendera ibu tunggal. Data Komnas Perempuan menyebut, dari total jumlah perceraian yang terjadi, 98% ayah tidak lagi memberi nafkah pada anaknya.

Kondisi ini membuat Icha tak henti memutar otak untuk bisa membiayai anaknya, Hingga akhirnya ia memutuskan menjadi pekerja lepas pada sebuah event organizer.

"Sekarang ini aku merasa lebih punya power buat anak-anakku, bersyukur sekali akhirnya ada pekerjaan yang bisa melihat aku dan potensiku. Terlebih dengan freelance seperti ini, aku juga bisa lebih membagi waktu antara pekerjaan dan anak-anak," ujar Icha. 

Stigma ibu tunggal di luar pernikahan

Stigma berbeda mendera Martina Ikha Rustiana Sari, perempuan yang memilih membesarkan anaknya seorang diri, tanpa menikah. "Aku tahu saat itu aku melakukan kesalahan, aku hamil di usia sangat muda sebelum memiliki ikatan pernikahan,” kata Ikha.

Single moms by choice adalah perempuan yang memutuskan menjadi seorang ibu tunggal tanpa menikah. Mereka adalah memutuskan siap dan sanggup mempertahankan janinnya, melahirkan, dan membesarkan bayi itu tanpa bantuan laki-laki yang sudah menanam benih.

Pilihan besar ini diambilnya 20 tahun lalu, saat ia memutuskan membatalkan pernikahannya dengan sosok mantan pacar kala itu.

"Aku membatalkannya (pernikahan) beberapa hari sebelum acara pemberkatan. Karena aku melihat sikap mantanku saat itu yang jauh berubah jadi kasar dan emosional. Aku langsung membayangkan, bagaimana jika nanti anakku harus menghadapi ini semua?”

Jalan ini dipilihnya setelah menimbang berbagai hal dan redleksi diri, "Dia (mantan Ikha) marah saya hamil. Kayaknya dia kecewa. Bagaimana saya bisa menikah dengan orang yang berlandaskan rasa kecewa. Saya pikir kondisi itu lebih mengerikan. Saya enggak mau menurunkan luka pada anak atas kesalahan yang saya lakukan."

Sejak memutuskan tidak menikah, Ikha mengatakan tidak ada kontak dengan mantan, begitu pula sebaliknya. "Saya cuma berpikir kalau dia masih mau sebagai ayah, saya izinkan. Tapi faktanya, setelah kami pisah, berlalu begitu saja," ungkapnya.

"Sering bangetlah saya dicap ini dan itu, perempuan nakal, segala macam. Tapi akhirnya saya ada di titik yang menyadari, buat apa mikirin omongan orang yang bahkan enggak bayarin hidup kita," ujar Ikha. 

Ibu yang bahagia penting bagi generasi penerus

Single moms by choice masih tabu bahkan dianggap aib. Namun bagi Ikha, segala cap yang diberikan lingkungan terhadapnya tak pernah menyurutkan niat untuk selalu memberikan yang terbaik untuk sang anak.

"Meskipun banyak orang yang men-judge ini dan itu, tapi satu yang selalu saya tanamkan di benak saya. Lahirnya anak saya ke dunia ini bukanlah kesalahan, justru dia adalah berkat terbesar yang Tuhan kasih buat saya."

Ikha memilih mengambil jalan hidup yang terjal demi menyelamatkan sang anak dari kondisi keluarga yang tak ideal. Satu hal yang ia sadari, kebahagiaan tak melulu datang dari pasangan atau "standar kebahagiaan ideal" yang ditentukan banyak orang.

Bagi Ikha, untuk bisa merawat dan membesarkan anak yang bahagia, harus berangkat dari kekuatan ibu yang bahagia. Terlepas dari stigma yang mendera dan perjalanan masa lalunya, bagi Ikha, menjadi seorang ibu adalah perjalanan panjang memberikan kasih tanpa pamrih.

Editor: Arti Ekawati

Fika Ramadhani Fika Ramadhani, jurnalis multi-media untuk Deutsche Welle Program Indonesia.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait