1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanCina

Strategi Nol-COVID Jadi Bibit Pembangkangan Sipil di Cina

William Yang
20 April 2022

Ketegasan pemerintah Cina dalam mengimplementasikan strategi nol-COVID mulai mendapat penolakan warga. Isolasi total yang mengurung penduduk di dalam rumah diperparah oleh kelangkaan bahan pangan.

Petugas kesehatan di Shanghai
Petugas kesehatan di ShanghaiFoto: Jin Liwang/Xinhua/picture alliance

Ketika lockdown di Shanghai memasuki pekan keempat, angka infeksi harian Covid-19 terus meningkat pesat. Pada Senin (17/04), kota berpenduduk 26 juta manusia itu mencatat 22.248 kasus infeksi baru dengan tiga kasus kematian.

Sejak awal Maret, sudah sebanyak 320.000 penduduk Shanghai terinfeksi virus corona. Untuk meredam penyebaran, otoritas kota menerapkan isolasi total yang memaksa penduduk mengurung diri di apartemen masing-masing.

Pada Rabu (13/04), pemerintah memerintahkan otoritas lokal mempercepat proses tes dan pengujian, serta memindahkan pasien terjangkit virus corona ke fasilitas karantina dalam selambatnya satu pekan. 

"Kelompok kerja pemerintah pusat, komite partai dan pemerintah lokal sudah meminta agar titik balik epidemi dicapai pada tanggal 17 April, dan status nol-Covid pada 20 April,” kata Chen Jie, Sekretaris Partai Komunis Cina di Baoshan, dalam sebuah pidato resmi.

Dampak nol-Covid terhadap ekonomi

Tingginya angka infeksi di tengah lockdown mendorong epidemiologi Cina memberi imbauan kepada pemerintah agar menyeimbangkan strategi nol-Covid dengan dampak jangka panjang terhadap perekonomian.

"Situasinya sulit bagi para pembuat keputusan, karena kematian dan kerugian akibat Covid terlihat lebih jelas, sementara kematian dan kerugian lain tidak seperti itu,” kata Xi Chen, Guru Besar Kesehatan Publik dan Ekonomi di Yale School of Public Health.

Pada Senin (17/04), Biro Statistik Nasional melaporkan pertumbuhan ekonomi di Cina mencapai 4,8 persen pada triwulan pertama 2022. Namun data yang dirilis tidak mencantumkan dampak lockdown di Shanghai.

Pelaku usaha mengkhawatirkan kerugian ekonomi seiring berlakunya lockdown di jantung industri Cina tersebut. "Tentu saja, semakin lama lockdownnya berlaku, semakin besar juga gangguan pada perekonomian lokal dan nasional,” kata Chen.

"Shanghai bukan hanya pusat keuangan, tetapi juga memiliki pelabuhan terbesar, dan mendekati level pusat manufaktur seperti di provinsi Zhejiang dan Jiangsu,” tuturnya lagi.

Pembangkangan kelas menengah

Ketatnya lockdown di Shanghai yang dibarengi oleh minimnya sosialisasi mulai membibit ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah. Pekan lalu, sebuah video bersirkulasi di media sosial yang menampilkan warga sebuah apartemen di Shanghai sedang bentrok dengan aparat keamanan berseragam hazmat.

Video-video serupa sudah banyak beredar di Shanghai sebelumnya. Warga secara umum mengeluhkan kelangkaan bahan pangan. Seorang penduduk Shanghai mengatakan warga di kompleksnya hanya mendapat satu kali kiriman bahan pangan dari pemerintah sejak 1 April. 

Bentrokan dengan aparat keamanan terjadi ketika warga yang frustasi nekat menerobos isolasi untuk mencari bahan pangan atau obat-obatan. 

"Sekarang saya tidak lagi bisa membeli kebutuhan pokok melalui aplikasi pesan-antar,” kata perempuan itu kepada DW. "Sebagian besar bahan kebutuhan pokok sulit didapat. Jika komunitasmu sepi penghuni, pegawai pengiriman biasanya tidak mau datang. Saya harus menjatah sisa bahan pangan yang ada.”

Perlawanan dari luar

Ketika kabar kematian pasien non-Covid lantaran tidak mendapat layanan kesehatan semakin sering beredar, kematian seorang pejabat kesehatan lokal di Shanghai pekan lalu memicu kegusaran warga. 

Pemerintah pusat dituduh menekan pejabat-pejabat lokal untuk menyukseskan kebijakan nol-Covid yang dicanangkan Presiden Xi Jinping. "Tekanan dari seisi mesin diletakkan pada sebuah skrup kecil,” tulis seorang netizen anonim di media sosial Cina, Weibo.

Namun begitu, Wu Qiang, analis politik di Cina, meragukan kemampuan kelas menengah di Shanghai untuk memaksakan perubahan politik. Menurutnya, pengalaman selama pandemi justru membuktikan warga "cenderung melarikan diri atau bermigrasi,” ketimbang mengupayakan perbaikan dari dalam.

"Lockdown di Shanghai menjadi bocoran tentang sistem totaliter yang diimpikan Presiden Xi Jinping ketika membidik masa jabatan ketiga dalam Kongres Nasional Partai Komunis Cina ke20, musim gugur nanti,” tukasnya.

rzn/pkp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya