Studi ADB: Asia Perlu Dana Besar Adaptasi Perubahan Iklim
1 November 2024
Kemiskinan di Asia bisa meningkat 64 persen dan perekonomian anjlok 17 persen jika tidak ada adaptasi agresif dengan perubahan iklim, kata laporan terbaru Asian Development Bank (ADB).
Iklan
Taiwan baru saja dilanda topan Kong-rey yang dahsyat. Kong-rey menghantam pantai timur Taiwan Kamis sore dan merupakan badai terbesar yang melanda pulau tersebut dalam hampir 30 tahun. Gangguan penerbangan masih berlanjut pada hari Jumat (1/11), dengan 58 penerbangan internasional dan 139 penerbangan domestik dibatalkan. Menurut laporan terbaru Asian Development Bank (ADB) yang dirilis hari Kamis (31/10), Asia akan makin sering dilanda badai dahsyat dan cuaca ekstrem.
Laporan itu mengatakan, negara-negara di Asia akan mengalami kerusakan yang lebih parah akibat krisis iklim dibandingkan kawasan lain. Asia juga sangat jauh tertinggal dalam pengeluaran untuk perbaikan guna membatasi kerusakan. Kebutuhan pembiayaan di negara-negara berkembang Asia untuk mengatasi perubahan iklim berkisar antara USD102 miliar hingga USD431 miliar per tahun. Jumlah tersebut jauh melebihi besaran anggaran USD34 miliar yang dikomitmenkan untuk tujuan tersebut pada tahun 2021-2022.
Sebagian besar negara di Asia memang telah meratifikasi perjanjian tentang perubahan iklim dan mengajukan rencana nasional untuk memangkas emisi karbon mereka, tetapi sebagian besar juga masih belum memiliki peta jalan yang jelas untuk mencapai emisi karbon "nol bersih", kata laporan ADB yang bermarkas di Manila.
Pemerintahan negara-negara di Asia saat tahun 2022 menyediakan USD600 miliar untuk mendukung dan mensubsidi bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara, kata ADB. Subsidi besar ini membuat bahan bakar fosil lebih murah, sehingga menghambat peralihan ke energi yang lebih bersih.
Akan ada lebih banyak badai dan cuaca ekstrem
Laporan ADB mencatat bahwa laju kenaikan permukaan laut di Asia sekitar dua kali lipat dari rata-rata global. Sekitar 300 juta orang di kawasan tersebut juga akan menghadapi risiko banjir pesisir, jika es di kutub meleleh. Gelombang badai yang semakin parah juga berarti bahwa Cina, India, Bangladesh, dan Vietnam akan menjadi yang paling terdampak, dengan kerusakan mencapai rata-rata USD3 triliun per tahun.
Iklan
Pada saat yang sama, suhu yang lebih tinggi merusak produktivitas dan kesehatan pekerja, kata laporan ADB, yang memperkirakan bahwa ekonomi regional mungkin mengalami penurunan produk domestik bruto sebesar 17% pada tahun 2070 dalam skenario terburuk emisi karbon tinggi. Skenario seperti itu juga akan mengakibatkan lebih banyaknya siklon dan badai tropis yang merusak, karena cuaca menjadi lebih tidak stabil dan ekstrem.
Pemanasan akan terus berlanjut selama beberapa dekade, meskipun implikasi penuh dari "titik kritis" iklim, seperti pemanasan laut yang mencairkan lapisan es kutub, belum sepenuhnya dipahami, kata ADB. Sementara itu, lingkungan yang biasanya akan "menangkap" emisi karbon, seperti lautan dan hutan tropis, telah berubah sangat dramatis, sehingga malahan menjadi sumber emisi karbon, melalui kebakaran hutan dan kejadian lainnya.
Tahun 2022: Krisis Iklim Melanda Seluruh Dunia
Tahun 2022 seluruh dunia dilanda cuaca panas yang ekstrem, kekeringan, kebakaran, badai dan banjir yang terkait dengan perubahan iklim. Berikut sejumlah peristiwa cuaca yang terjadi tahun 2022.
Foto: Peter Dejong/AP Photo/picture alliance
Eropa: Lebih panas dan lebih kering dari sebelumnya
Musim panas di Eropa ditandai cuaca panas ekstrem dan kekeringan terburuk dalam 500 tahun. Lebih 500 orang tewas akibat gelombang panas di Spanyol, dengan suhu hingga 45 derajat Celsius. Di Inggris, cuaca panas juga mencapai lebih 40 derajat Celsius. Sebagian benua Eropa jadi wilayah paling kering selama lebih dari satu milenium, sehingga banyak daerah terpaksa menjatah air.
Foto: Thomas Coex/AFP
Kebakaran hutan melanda seluruh Eropa
Mulai dari Portugal, Spanyol, Prancis, Italia, Yunani, Siprus, hingga Siberia, dilanda kebakaran hutan. Bencana itu telah menghanguskan 660.000 hektar lahan pada pertengahan tahun 2022 — kebakaran terbesar sejak pencatatan iklim dimulai pada tahun 2006.
Hujan monsun yang ekstrem menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan. Banjir itu menewaskan lebih dari 1.100 orang, menyebabkan 33 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan memicu penyebaran penyakit. Hujan lebat juga melanda Afganistan. Banjir besar menghancurkan ribuan hektare lahan, memperburuk bencana kelaparan yang sudah akut di negara itu.
Foto: Stringer/REUTERS
Gelombang panas ekstrem dan topan terjang Asia
Sebelum dilanda banjir, Afganistan, Pakistan, dan India alami panas dan kekeringan ekstrem. Cina juga alami kekeringan terburuk dalam 60 tahun dan gelombang panas terburuk sejak pencatatan dimulai. Awal musim gugur, 12 topan telah mengamuk di seluruh Cina. Badai besar juga melanda Filipina, Jepang, Korea Selatan, dan Bangladesh. Perubahan iklim membuat Intensitas badai semakin kuat.
Foto: Mark Schiefelbein/AP Photo/picture alliance
Krisis iklim memperburuk kondisi Afrika
Afrika memanas lebih cepat dibanding rata-rata global. Itu sebabnya benua ini secara tidak proporsional dilanda perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir. Somalia sedang menghadapi kekeringan terparah dalam 40 tahun. Krisis itu telah memaksa lebih dari satu juta orang meninggalkan kawasan mereka.
Foto: ZOHRA BENSEMRA/REUTERS
Bencana kelaparan di Afrika
Banjir dan kekeringan telah membuat pertanian dan peternakan praktis tidak mungkin dilakukan di beberapa bagian Afrika. Akibatnya, 20 juta orang mengalami kelaparan. Banyak yang meninggal karena kelaparan di Etiopia, Somalia, dan Kenya.
Foto: Dong Jianghui/dpa/XinHua/picture alliance
Kebakaran dan banjir di Amerika Utara
Badai dahsyat menerjang sejumlah negara bagian AS, seperti California, Nevada, dan Arizona. Gelombang panas menghanguskan ketiga negara bagian dengan suhu mencapai lebih dari 40 derajat Celsius di akhir musim panas. Sebaliknya, hujan lebat di awal musim panas menyebabkan banjir parah di Taman Nasional Yellowstone dan di negara bagian Kentucky.
Foto: DAVID SWANSON/REUTERS
Badai menghancurkan Amerika
Pada September lalu, Badai Ian menghancurkan Florida. Otoritas setempat menggambarkan kerusakan itu sebagai "peristiwa bersejarah." Sebelumnya, badai itu melewati Kuba, di mana penduduknya hidup tanpa listrik selama berhari-hari. Badai Fiona juga menjadi topan tropis terburuk yang melanda Kanada setelah pertama kali menghantam Amerika Latin dan Karibia, mengakibatkan kerusakan parah.
Foto: Giorgio Viera/AFP/Getty Images
Badai tropis dahsyat landa Amerika Tengah
Badai Fiona bukan satu-satunya badai yang melanda Amerika Tengah. Pada Oktober lalu, Badai Julia menghantam Kolombia, Venezuela, Nikaragua, Honduras, dan El Salvador, menyebabkan kehancuran yang meluas. Pemanasan global meningkatkan suhu permukaan laut yang memperkuat intensitas badai.
Foto: Matias Delacroix/AP Photo/picture alliance
Kekeringan ekstrem di Amerika Selatan
Kekeringan yang terus-menerus melanda hampir seluruh Amerika Selatan. Cile, mengalami merosotnya curah hujan ekstrem sejak 2007. Di banyak daerah, sungai-sungai menyusut antara 50 dan 90%. Meksiko juga hampir tidak pernah mengalami hujan selama beberapa tahun berturut-turut. Argentina, Brasil, Uruguay, Bolivia, Panama, sebagian Ekuador, dan Kolombia pun mengalami kekeringan.
Foto: IVAN ALVARADO/REUTERS
Selandia Baru dan Australia tenggelam
Curah hujan yang intens menyebabkan rangkaian banjir ekstrem di Australia. Antara Januari dan Maret, pantai timur negara itu menerima curah hujan sebanyak yang dialami Jerman dalam setahun. Selandia Baru tidak luput dari banjir. Fenomena cuaca La Nina berada di balik peristiwa ekstrem tersebut. Atmosfer yang lebih hangat menyerap lebih banyak air, membuat curah hujan lebih deras. (ha/as)
Foto: Jenny Evans/Getty Images
11 foto1 | 11
Adaptasi terhadap perubahan iklim bisa cegah ratusan ribu kematian
Manfaat dari pembatasan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, jauh lebih besar daripada biayanya, kata laporan itu. ADB memperkirakan bahwa "dekarbonisasi agresif" dapat menciptakan 1,5 juta lapangan pekerjaan di sektor energi pada tahun 2050, sekaligus mencegah hingga 346.000 kematian per tahun akibat polusi udara pada tahun 2030.
Menurut beberapa perkiraan, kemiskinan dapat meningkat sebesar 64%–117% pada tahun 2030 dalam skenario iklim beremisi tinggi, dibandingkan dengan tidak ada perubahan iklim, dan seluruh ekonomi regional dapat jatuh sekitar 17%. Penurunan terburuk diperkirakan akan terjadi di Bangladesh, Vietnam, Indonesia, dan India.
Laporan ADB lebih jauh menyebutkan, kerugian terbesar akan terjadi melalui penurunan produktivitas dan penurunan di sektor perikanan dan pertanian. Namun pemerintah dapat bertindak untuk mengurangi kerusakan terburuk, kata laporan itu, dengan menunjuk contoh tempat perlindungan banjir di Bangladesh, yang berhasil mengurangi kematian akibat badai dahsyat dari ratusan ribu orang di masa lalu menjadi kurang dari 100 orang dalam beberapa tahun terakhir.
"Dampak perubahan iklim tidak dapat dihindari, jadi respons kebijakan yang lebih kuat diperlukan untuk meminimalkan kerugian dan kerusakan," kata ADB.