1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Studi: Isu Kerusakan Lingkungan Ramai Dibahas di Dunia Maya

19 Mei 2021

Sejumlah peneliti melaporkan bahwa kekhawatiran hilangnya sumber daya alam dan seruan untuk menyelamatkan Bumi meningkat di negara-negara berkembang, serta mendorong pemerintah menciptakan iklim bisnis ramah lingkungan.

Demonstrasi menentang perubahan iklim
Pada 2019, para ilmuwan telah memperingatkan dampak peradaban modern terhadap kehancuran alam. Satu juta spesies hewan dan tumbuhan terancam punah karena manusia terus-menerus mengejar pertumbuhan ekonomiFoto: Anushree Fadnavis/REUTERS

Economist Intelligence Unit (EIU) menganalisis popularitas isu mengenai berkurangnya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di media sosial, Google, dan liputan berita di 54 negara.

Penelitian EIU - yang dilakukan pada periode 2016 hingga 2020 - menunjukkan tren penelusuran Google tentang topik perubahan iklim meningkat 16% di seluruh dunia. Khusus di Asia, mengalami peningkatan drastis hingga 190% di India, 88% di Pakistan, dan 53% di Indonesia.

"Ini bukan lagi masalah yang terkait dengan kepedulian terhadap alam, tetapi tentang keprihatinan bahwa hilangnya alam berdampak pada mata pencaharian masyarakat,” kata Direktur Jenderal Kelompok Hijau WWF International, Marco Lambertini, kepada Thomson Reuters Foundation.

Dunia telah kehilangan hutan tropis seluas wilayah California selama 13 tahun terakhir, sebagian besar karena pertanian komersial. "Hingga saat ini, iklim benar-benar mendominasi pemberitaan dan debat publik,” kata Lambertini.

Tema lingkungan mewarnai timeline Twitter

Penelitian EIU melaporkan bahwa percakapan tentang kehilangan sumber daya alam di Twitter meningkat dari 30 juta pada 2016 menjadi 50 juta pada 2020. Trennya paling ramai dibicarakan di Amerika Latin, di mana jumlah postingan di Twitter melonjak 136% antara tahun 2016 dan 2019.

Influencer media sosial, termasuk tokoh politik, selebriti, dan pemimpin agama, menggunakan platform mereka untuk membahas masalah alam. Dengan lonjakan kekhawatiran tersebut, permintaan untuk mengubah pola hidup meningkat.

Studi tersebut menemukan bahwa lebih dari 159 juta tanda tangan untuk petisi terkait keanekaragaman hayati telah dikumpulkan sejak 2016.

Liputan berita tentang hubungan antara pandemi virus corona, satwa liar, dan kerusakan alam, serta pemberitaan tentang kebakaran hutan, menyoroti bagaimana manusia memengaruhi planet ini, ujar Lambertini.

"Lebih mengapresiasi alam"

Manajer EIU untuk konsultasi kebijakan publik, Antonia Kerle, mengungkapkan penelitian lainnya yang menemukan bahwa di masa pandemi COVID-19, orang-orang lebih mengapresiasi alam.

Menjelang KTT keanekaragaman hayati PBB, Lambertini mendesak para pembuat kebijakan untuk menetapkan tujuan global baru yang lebih ambisius tentang perlindungan alam, serupa dengan Perjanjian Paris 2015.

Memperbaiki cara dunia memasok dan mengonsumsi makanan agar lebih berkelanjutan juga menjadi tema penting di KTT Sistem Pangan PBB pada Juli mendatang. "Alam adalah sisi lain dari krisis ekologi saat ini - iklim dan alam saling berhubungan, tetapi alam jauh tertinggal dalam hal kejelasan arah dan sasaran," kata Lambertini.

ha/hp (Reuters)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait