Studi Psikologi Petakan Karakter Mental Kaum Radikal
23 Februari 2021
Universitas Cambridge mengklaim sukses memetakan karakter mental individu berpandangan ekstrem. Ilmuwan meyakini esktremisme berakar pada kemampuan kognitif manusia memahami hal rumit, terlepas dari ideologinya.
Iklan
Kemampuan nalar manusia memberikan petunjuk ideologi seperti apa yang kelak akan dianut. Menurut penelitian yang dirilis Universitas Cambridge, Inggris, pada Senin (22/2), individu berpandangan ekstrim kesulitan menjalankan tugas psikologis yang rumit.
Studi tersebut menyimpulkan, gabungan karakter individu dan kemampuan kognitif, yakni bagaimana otak manusia mencerna informasi, bisa "memprediksi" pandangan ekstrim di lintas ideologi, termasuk nasionalisme atau agama. Karakter psikologis ini mencakup daya ingat yang rendah, dan kemampuan mencerna perubahan warna atau bentuk yang lambat.
Selain itu, individu berpandangan ekstremis juga memiliki kecenderungan mencari perhatian atau bersikap impulsif, demikian menurut keterangan pers yang dipublikasikan Universitas Cambridge di laman internetnya.
Studi tersebut mengandalkan hasil penelitian sebelumnya, dan mengundang 330 warga Amerika Serikat berusia antara 22 dan 63 tahun, untuk menjalani sebanyak 22 survey kepribadian dan 37 tugas neuropsikologi, selama dua pekan. Tugas dibuat netral, tanpa kaitan politik atau emosi, seperti mengingat bentuk visual atau mengikuti pergerakan benda di layar monitor.
Dalam penelitiannya, ilmuwan juga memetakan karakter psikologis individu yang memiliki sikap konservatisme politik yang ekstrim, atau individu berpandangan dogmatis, yakni padangan kaku yang sulit diubah. Dalam hal ini, otak yang bersangkutan cenderung mengikuti pola kognitif yang lambat tapi akurat, ketimbang cepat tapi tidak akurat seperti pada kaum berpandangan liberal.
Ilmuwan meyakini, meski masih di tahap awal, studi ini bisa membantu mengidentifikasi atau menolong individu yang rentan teradikalisasi di setiap spektrum politik atau ideologi.
Iklan
Konservatisme dan dogma resep ekstremisme
"Kami ingin tahu kenapa sejumlah individu tertentu lebih rentan terkena radikalisasi," kata Dr. Leor Zmigrod, peneliti di Departemen Psikologi Universitas Cambridge.
Anak Mantan Teroris Merajut Masa Depan di Pesantren al-Hidayah
Seorang mantan teroris mendidik anak-anak terpidana terorisme agar menjauhi faham radikal. Mereka kerap mengalami diskriminasi lantaran kejahatan orangtuanya. Kini mereka di tampung di pesantren al-Hidayah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Ujung Tombak Deradikalisasi
Seperti banyak pesantren lain di Sumatera, pesantren Al-Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara, didirikan ala kadarnya dengan bangunan sederhana dan ruang kelas terbuka. Padahal pesantren ini adalah ujung tombak program deradikalisasi pemerintah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Mantan Teroris Perangi Teror
Perbedaan paling mencolok justru bisa dilihat pada sosok Khairul Ghazali, pemimpin pondok yang merupakan bekas teroris. Dia pernah mendekam empat tahun di penjara setelah divonis bersalah ikut membantu pendanaan aktivitas terorisme dengan merampok sebuah bank di Medan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Tameng Radikalisme
Bersama pesantren tersebut Al-Ghazali mengemban misi pelik, yakni mendidik putra mantan terpidana teroris agar menjauhi faham radikal. Radikalisme "melukai anak-anak kita yang tidak berdosa," ujar pria yang dibebaskan 2015 silam itu. Jika tidak dibimbing, mereka dikhawatirkan bisa terpengaruh ideologi teror.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Derita Warisan Orangtua
Saat ini Pesantren al-Hidayah menampung 20 putra bekas teroris. Sebagian pernah menyaksikan ayahnya tewas di tangan Densus 88. Beberapa harus hidup sebatang kara setelah ditinggal orangtua ke penjara. Menurut Ghazali saat ini terdapat lebih dari 2.000 putra atau putri jihadis yang telah terbunuh atau mendekam di penjara.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Uluran Tangan Pemerintah
Pesantren al-Hidayah adalah bagian dari program deradikalisasi yang digulirkan pemerintah untuk meredam ideologi radikal. Untuk itu Presiden Joko Widodo mengalihkan lebih dari 900 milyar dari dana program Satu Juta Rumah untuk membantu pembangunan pondok pesantren yang terlibat dalam program deradikalisasi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Perlawanan Penduduk Lokal
Meski mendapat bantuan dana pemerintah buat membangun asrama, pembangunan masjid dan ruang belajar di pesantren al Hidayah tidak menggunakan dana dari APBN. Ironisnya keberadaan Pesantren al-Hidayah di Deli Serdang sempat menuai kecurigaan dan sikap antipati penduduk lokal. Mulai dari papan nama yang dibakar hingga laporan ke kepolisian, niat baik Ghazali dihadang prasangka warga.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Peran Besar Pesantren Kecil
Al-Hidayah adalah contoh pertama pesantren yang menggiatkan program deradikalisasi. Tidak heran jika pesantren ini acap disambangi tokoh masyarakat, entah itu pejabat provinsi atau perwira militer dan polisi. Bahkan pejabat badan antiterorisme Belanda pernah menyambangi pesantren milik Ghazali buat menyimak strategi lunak Indonesia melawan radikalisme.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Trauma Masa Lalu
Melindungi anak-anak mantan teroris dianggap perlu oleh Kepala BNPT, Suhardi Alius. Abdullah, salah seorang santri, berkisah betapa ia kerap mengalami perundungan di sekolah. "Saya berhenti di kelas tiga dan harus hidup berpindah," ujarnya. "Saya dikatai sebagai anak teroris. Saya sangat sedih." Pengalaman tersebut berbekas pada bocah berusia 13 tahun itu. Suatu saat ia ingin menjadi guru agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Stigma Negatif Bahayakan Deradikalisasi
Stigma negatif masyatakat terhadap keluarga mantan teroris dinilai membahayakan rencana pemerintah memutus rantai terorisme. Terutama pengucilan yang dialami beberapa keluarga dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kondisi kejiwaan anak-anak. Ghazali tidak mengutip biaya dari santrinya. Ia membiayai operasional pesantren dengan beternak dan bercocok tanam, serta menjual hasil panen.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
9 foto1 | 9
Salah satu temuan paling krusial dalam studi tersebut adalah bahwa individu berpandangan esktremis cendrung melihat dunia dalam hitam dan putih, karena kesulitan menjalani tugas rumit yang melewati berbagai tahapan mental, kata Zmigrod. "Individu atau otak yang kesulitan memroses dan merencanakan tindakan kompleks mungkin akan mudah terjerat ideologi ekstrim, atau ideologi otoriter yang menyederhanakan dunia."
Dia menambahkan, individu berpandangan ekstrim cenderung tidak mampu mengatur emosinya. Artinya mereka impulsif dan cendruntg mencari pengalaman emosional yang kuat. "Temuan ini membantu kami memahami individu seperti apa yang bersedia melakukan kekerasan terhadap mereka yang tidak berdosa."
"Apa yang kami temukan adalah bahwa demografi saja tidak menjelaskan segalanya. Hal itu cuma menjelaskan sekitar 8 persen dari varians yang ada," kata Zmigrod lagi. Dengan studi kognitif dan kepribadian yang dikembangkan Cambridge, "kapasitas kita untuk menjelaskan varians pandangan ideologis ini melonjak ke 30 atau 40%."
Peserta studi yang rentan terhadap dogmatisasi atau tercatat kesulitan menerima bukti yang kredibel, tidak mampu memroses bukti yang kasat mata. "Contohnya ketika mereka ditanya apakah titik dalam layar bergerak ke kiri atau ke kanan, mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memrosesnya dan menjawab," imbuh Zmigrod.
"Ada kesamaan yang tersembunyi dalam pikiran mereka yang bersedia mengambil langkah ekstrim untuk mendukung doktrin-doktrin ideologinya." Studi itu menyimpulkan, "karakter psikologis" individu berpandangan esktrim cendrung merupakan gabungan antara psikologi konservatif dan dogmatis.
rzn/vlz (cam, guardian)
Memerangi Ekstremisme Lewat Media Digital dan Bantuan Returnee