Studi: Setengah Gletser Bumi Diperkirakan Lenyap Tahun 2100
6 Januari 2023
Setengah dari gletser Bumi, terutama yang berukuran lebih kecil, akan hilang pada akhir abad ini karena perubahan iklim. Berdasarkan penelitian baru, menahan laju pemanasan global dapat menyelamatkan gletser lainnya.
Gunung es terlihat melalui jendela pesawat yang membawa ilmuwan NASA dalam misi melacak es yang mencair di Greenland timur pada 14 Agustus 2019Foto: picture alliance / ASSOCIATED PRESS
Iklan
Temuan yang diterbitkan dalam jurnal Science pada hari Kamis (05/01), memberikan pandangan paling komprehensif tentang masa depan 215.000 gletser dunia. Para penulis menekankan pentingnya menekan emisi gas rumah kaca untuk membatasi konsekuensi mencairnya gletser, seperti kenaikan permukaan laut dan berkurangnya sumber daya air.
Untuk membantu mengarahkan para pembuat kebijakan, penelitian ini melihat dampak dari empat skenario pada gletser, di mana perubahan suhu rata-rata global adalah 1,5 hingga 4 derajat Celsius.
"Setiap kenaikan derajat menghasilkan lebih banyak pencairan dan kerugian," kata Regine Hock dari University of Oslo dan University of Alaska Fairbanks, salah satu penulis studi tersebut.
"Skenario itu juga berarti jika Anda mengurangi kenaikan suhu, Anda juga bisa mengurangi kehilangan massa itu," kata Hock kepada AFP. "Jadi dalam hal itu, ada juga sedikit harapan."
Bahkan jika kenaikan suhu global dibatasi hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat praindustri, tujuan paling ambisius dari Perjanjian Paris, para peneliti memperkirakan bahwa 49 persen gletser dunia akan lenyap pada tahun 2100. Jumlah itu akan mewakili sekitar 26 persen dari massa gletser Bumi karena gletser terkecil akan terkena dampaknya terlebih dahulu.
Suhu rata-rata global saat ini diperkirakan meningkat sebesar 2,7 derajat Celsius yang akan mengakibatkan hilangnya gletser di Eropa Tengah, Kanada Barat, benua Amerika Serikat, dan Selandia Baru.
"Daerah dengan es yang relatif sedikit seperti Pegunungan Alpen Eropa, Kaukasus, Andes, atau AS bagian barat, mereka kehilangan hampir semua es pada akhir abad ini, apa pun skenario emisinya," kata Hock.
Tahun 2022: Krisis Iklim Melanda Seluruh Dunia
Tahun 2022 seluruh dunia dilanda cuaca panas yang ekstrem, kekeringan, kebakaran, badai dan banjir yang terkait dengan perubahan iklim. Berikut sejumlah peristiwa cuaca yang terjadi tahun 2022.
Foto: Peter Dejong/AP Photo/picture alliance
Eropa: Lebih panas dan lebih kering dari sebelumnya
Musim panas di Eropa ditandai cuaca panas ekstrem dan kekeringan terburuk dalam 500 tahun. Lebih 500 orang tewas akibat gelombang panas di Spanyol, dengan suhu hingga 45 derajat Celsius. Di Inggris, cuaca panas juga mencapai lebih 40 derajat Celsius. Sebagian benua Eropa jadi wilayah paling kering selama lebih dari satu milenium, sehingga banyak daerah terpaksa menjatah air.
Foto: Thomas Coex/AFP
Kebakaran hutan melanda seluruh Eropa
Mulai dari Portugal, Spanyol, Prancis, Italia, Yunani, Siprus, hingga Siberia, dilanda kebakaran hutan. Bencana itu telah menghanguskan 660.000 hektar lahan pada pertengahan tahun 2022 — kebakaran terbesar sejak pencatatan iklim dimulai pada tahun 2006.
Hujan monsun yang ekstrem menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan. Banjir itu menewaskan lebih dari 1.100 orang, menyebabkan 33 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan memicu penyebaran penyakit. Hujan lebat juga melanda Afganistan. Banjir besar menghancurkan ribuan hektare lahan, memperburuk bencana kelaparan yang sudah akut di negara itu.
Foto: Stringer/REUTERS
Gelombang panas ekstrem dan topan terjang Asia
Sebelum dilanda banjir, Afganistan, Pakistan, dan India alami panas dan kekeringan ekstrem. Cina juga alami kekeringan terburuk dalam 60 tahun dan gelombang panas terburuk sejak pencatatan dimulai. Awal musim gugur, 12 topan telah mengamuk di seluruh Cina. Badai besar juga melanda Filipina, Jepang, Korea Selatan, dan Bangladesh. Perubahan iklim membuat Intensitas badai semakin kuat.
Foto: Mark Schiefelbein/AP Photo/picture alliance
Krisis iklim memperburuk kondisi Afrika
Afrika memanas lebih cepat dibanding rata-rata global. Itu sebabnya benua ini secara tidak proporsional dilanda perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir. Somalia sedang menghadapi kekeringan terparah dalam 40 tahun. Krisis itu telah memaksa lebih dari satu juta orang meninggalkan kawasan mereka.
Foto: ZOHRA BENSEMRA/REUTERS
Bencana kelaparan di Afrika
Banjir dan kekeringan telah membuat pertanian dan peternakan praktis tidak mungkin dilakukan di beberapa bagian Afrika. Akibatnya, 20 juta orang mengalami kelaparan. Banyak yang meninggal karena kelaparan di Etiopia, Somalia, dan Kenya.
Foto: Dong Jianghui/dpa/XinHua/picture alliance
Kebakaran dan banjir di Amerika Utara
Badai dahsyat menerjang sejumlah negara bagian AS, seperti California, Nevada, dan Arizona. Gelombang panas menghanguskan ketiga negara bagian dengan suhu mencapai lebih dari 40 derajat Celsius di akhir musim panas. Sebaliknya, hujan lebat di awal musim panas menyebabkan banjir parah di Taman Nasional Yellowstone dan di negara bagian Kentucky.
Foto: DAVID SWANSON/REUTERS
Badai menghancurkan Amerika
Pada September lalu, Badai Ian menghancurkan Florida. Otoritas setempat menggambarkan kerusakan itu sebagai "peristiwa bersejarah." Sebelumnya, badai itu melewati Kuba, di mana penduduknya hidup tanpa listrik selama berhari-hari. Badai Fiona juga menjadi topan tropis terburuk yang melanda Kanada setelah pertama kali menghantam Amerika Latin dan Karibia, mengakibatkan kerusakan parah.
Foto: Giorgio Viera/AFP/Getty Images
Badai tropis dahsyat landa Amerika Tengah
Badai Fiona bukan satu-satunya badai yang melanda Amerika Tengah. Pada Oktober lalu, Badai Julia menghantam Kolombia, Venezuela, Nikaragua, Honduras, dan El Salvador, menyebabkan kehancuran yang meluas. Pemanasan global meningkatkan suhu permukaan laut yang memperkuat intensitas badai.
Foto: Matias Delacroix/AP Photo/picture alliance
Kekeringan ekstrem di Amerika Selatan
Kekeringan yang terus-menerus melanda hampir seluruh Amerika Selatan. Cile, mengalami merosotnya curah hujan ekstrem sejak 2007. Di banyak daerah, sungai-sungai menyusut antara 50 dan 90%. Meksiko juga hampir tidak pernah mengalami hujan selama beberapa tahun berturut-turut. Argentina, Brasil, Uruguay, Bolivia, Panama, sebagian Ekuador, dan Kolombia pun mengalami kekeringan.
Foto: IVAN ALVARADO/REUTERS
Selandia Baru dan Australia tenggelam
Curah hujan yang intens menyebabkan rangkaian banjir ekstrem di Australia. Antara Januari dan Maret, pantai timur negara itu menerima curah hujan sebanyak yang dialami Jerman dalam setahun. Selandia Baru tidak luput dari banjir. Fenomena cuaca La Nina berada di balik peristiwa ekstrem tersebut. Atmosfer yang lebih hangat menyerap lebih banyak air, membuat curah hujan lebih deras. (ha/as)
Foto: Jenny Evans/Getty Images
11 foto1 | 11
"Tergantung pembuat kebijakan"
Di bawah skenario terburuk: kenaikan suhu global sebesar 4,0 derajat Celsius akan membuat gletser raksasa seperti yang ada di Alaska terkena dampaknya dan 83 persen gletser Bumi akan hilang pada akhir abad ini.
Hilangnya gletser juga akan memperburuk kenaikan permukaan laut. "Gletser yang kita pelajari hanya satu persen dari semua es di Bumi," kata Hock, "jumlah yang jauh lebih sedikit daripada lapisan es Greenland dan lapisan es Antartika."
Pemanasan 1,5 derajat Celsius akan menyebabkan kenaikan permukaan laut rata-rata sembilan sentimeter, sedangkan suhu 4,0 derajat Celsius akan menyebabkan kenaikan permukaan laut 15 sentimeter.
"Kedengarannya tidak terlalu banyak, sembilan sentimeter hingga 15 sentimeter," kata Hock, seraya menambahkan bahwa bukan permukaan laut global yang menjadi sorotan.
"Sebagian besar terkait gelombang badai," ujarnya, yang berpotensi menyebabkan "lebih banyak kerusakan."
Hilangnya gletser juga akan berdampak pada sumber daya air. "Gletser mengompensasi hilangnya air di musim panas saat tidak banyak hujan dan panas," kata Hock.
Proyeksi studi tersebut lebih pesimis jika dibandingkan para ahli iklim PBB, penelitian yang dicapai melalui pengamatan massa setiap gletser selama beberapa dekade dan simulasi komputer.
Terlepas dari temuan yang mengkhawatirkan, Hock mengatakan, "jika itu terjadi tentu saja tergantung pada pembuat kebijakan."