Studi: Tren Otoritarianisme Picu Kemunduran Demokrasi
24 Februari 2022
Indeks Transformasi Bertelsmann mencatat lebih banyak negara di dunia yang dipimpin diktator ketimbang rezim demokratis. Kemunduran terbesar bagi demokrasi tercatat antara lain di Brasil, Turki, dan India.
Iklan
Studi Bertelsmann yang dirilis Rabu (23/02), mencatat dari 137 negara yang masuk dalam studi, terdapat hanya 67 yang bersistem demokrasi. Sementara jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan autokratis bertambah menjadi 70. "Ini adalah hasil transformasi demokratis terburuk selama 15 tahun terakhir,” kata Hauke Hartmann, Dikrektur Indeks Transformasi (BTI) di Yayasan Bertelsmann, Jerman.
Untuk pertama kalinya sejak 2004, Indeks Transformasi Bertelsmann (BTI) mencatat lebih banyak negara autokratis daripada negara demokratis. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa sedikitnya jumlah pemilihan umum yang bebas dan adil maupun kebebasan berpendapat dan berkumpul, serta semakin terkikisnya pemisahan kekuasaan.
"Ini pertarungan yang sulit," ujar Kanselir Jerman Olaf Scholz, menggambarkan iklim politik global selama kunjungannya ke Washington pada 7 Februari lalu.
Dalam sebuah wawancara dengan CNN, Scholz optimistis: dia bersikeras bahwa pada akhirnya, demokrasi yang akan menang. Bukan hanya karena demokrasi adalah ide Barat, tetapi karena mengakar kuat pada orang-orang. "Saya benar-benar yakin bahwa orang-orang di seluruh dunia akan menghargai cara hidup yang kita miliki, dengan sistem demokrasinya, supremasi hukum, kebebasan individu, dan ekonomi pasar."
Kebebasan dibatasi, pemisahan kekuasaan dihapuskan
Di Tunisia — negara yang telah lama dianggap sebagai mercusuar harapan terakhir bagi gerakan demokratisasi Musim Semi Arab. Presiden Tunisia Kais Saied telah memerintah negara itu melalui dekrit, sejak ia menggulingkan parlemen dan pemerintah pada Juli 2021 dan menangguhkan bagian-bagian konstitusi. Baru-baru ini, Saied membubarkan dewan kehakiman tertinggi, yang seharusnya menjamin independensi peradilan di negara tersebut.
Potret Aksi Protes Nasional Menentang Kudeta Militer di Myanmar
Warga Myanmar melakukan protes nasional menentang kudeta militer. Berbagai kalangan mulai dari dokter, guru, dan buruh menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan pemulihan demokrasi Myanmar.
Foto: AFP/Getty Images
Dokter dan perawat di garda depan
Kurang dari 24 jam setelah kudeta militer, para dokter dan perawat dari berbagai rumah sakit mengumumkan bahwa mereka melakukan mogok kerja. Mereka juga mengajak warga lainnya untuk bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil.
Foto: REUTERS
Koalisi protes dari berbagai kalangan
Sejak ajakan pembangkangan sipil tersebut, para pelajar, guru, buruh dan banyak kelompok sosial lainnya bergabung dalam gelombang protes. Para demonstran menyerukan dan meneriakkan slogan-slogan seperti "Berikan kekuatan kembali kepada rakyat!" atau "Tujuan kami adalah mendapatkan demokrasi!"
Foto: Ye Aung Thu/AFP/Getty Images
Para biksu mendukung gerakan protes
Para Biksu juga turut dalam barisan para demonstran. "Sangha", komunitas monastik di Myanmar selalu memainkan peran penting di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini.
Foto: AP Photo/picture alliance
Protes nasional
Demonstrasi berlangsung tidak hanya di pusat kota besar, seperti Yangon dan Mandalay, tetapi orang-orang juga turun ke jalan di daerah etnis minoritas, seperti di Negara Bagian Shan (terlihat di foto).
Foto: AFP/Getty Images
Simbol tiga jari
Para demonstran melambangkan simbol tiga jari sebagai bentuk perlawanan terhadap kudeta militer. Simbol yang diadopsi dari film Hollywood "The Hunger Games" ini juga dilakukan oleh para demonstran di Thailand untuk melawan monarki.
Foto: REUTERS
Dukungan dari balkon
Bagi warga yang tidak turun ke jalan untuk berunjuk rasa, mereka turut menyuarakan dukungan dari balkon-balkon rumah mereka dan menyediakan makanan dan air.
Foto: REUTERS
Menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi
Para demonstran menuntut dikembalikannya pemerintahan demokratis dan pembebasan Aung San Suu Kyi serta politisi tingkat tinggi lain dari partai yang memerintah Myanmar secara de facto, yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Militer menangkap Aung San Suu Kyi dan anggota NLD lainnya pada hari Senin 1 Februari 2021.
Foto: Reuters
Dukungan untuk pemerintahan militer
Pendukung pemerintah militer dan partai para jenderal USDP (Partai Solidaritas dan Pembangunan Persatuan), juga mengadakan beberapa demonstrasi terisolasi di seluruh negeri.
Foto: Thet Aung/AFP/Getty Images
Memori Kudeta 1988
Kudeta tahun 1988 selalu teringat jelas di benak warga selama protes saat ini. Kala itu, suasana menjadi kacau dan tidak tertib saat militer diminta menangani kondisi di tengah protes anti-pemerintah. Ribuan orang tewas, puluhan ribu orang ditangkap, dan banyak mahasiswa dan aktivis mengungsi ke luar negeri.
Foto: ullstein bild-Heritage Images/Alain Evrard
Meriam air di Naypyitaw
Naypyitaw, ibu kota Myanmar di pusat terpencil negara itu, dibangun khusus oleh militer dan diresmikan pada tahun 2005. Pasukan keamanan di kota ini telah mengerahkan meriam air untuk melawan para demonstran.
Foto: Social Media via Reuters
Ketegangan semakin meningkat
Kekerasan meningkat di beberapa wilayah, salah satunya di Myawaddy, sebuah kota di Negara Bagian Kayin selatan. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet.
Foto: Reuters TV
Bunga untuk pasukan keamanan
Militer mengumumkan bahwa penentangan terhadap junta militer adalah tindakan melanggar hukum dan ''pembuat onar harus disingkirkan''. Ancaman militer itu ditanggapi dengan bentuk perlawanan dari para demonstran, tetapi juga dengan cara yang lembut seperti memberi bunga kepada petugas polisi. Penulis: Rodion Ebbighausen (pkp/ gtp)
Foto: Ye Aung Thu/AFP/Getty Images
12 foto1 | 12
Tunisia hanyalah salah satu contoh dari banyak yang disebutkan Hartmann dalam sebuah wawancara dengan DW. "Turki mengalami kerugian paling besar dalam 10 tahun terakhir di bawah Presiden [Recep Tayyip] Erdogan, yang awalnya dinilai sebagai mercusuar harapan," katanya. "Pemisahan kekuasaan dan partisipasi sangat terbatas di sana sehingga dua tahun lalu kami harus mengklasifikasikan Turki sebagai negara autokrasi. Sayangnya, penilaian tersebut tidak berubah sejak saat itu.”
Iklan
Penggerak utama autokrasi: elite politik dan ekonomi
Banyak negara demokrasi yang sebelumnya telah mapan kini telah tergelincir ke dalam kategori "demokrasi yang rusak," catat para penulis penelitian tersebut. Misalnya, melalui jalur etnonasionalis Perdana Menteri Narendra Modi di India dan pemerintahan otoriter sayap kanan Presiden Jair Bolsonaro di Brasil dan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina.
"Ini adalah negara-negara demokrasi yang 10 tahun lalu masih kami klasifikasikan sebagai negara yang terkonsolidasi, stabil, dan sekarang memiliki cacat besar dalam proses politik mereka. Di Eropa, kita tahu contohnya, Polandia dan Hungaria yang menggagalkan prinsip-prinsip Uni Eropa tentang aturan negara hukum."
Apa yang dilihat Hartmann sebagai memperkuat sistem autokrasi dan mengikis norma-norma demokrasi? Penggerak utamanya adalah elite politik dan ekonomi yang ingin melindungi sistem patronasi dan korup mereka, katanya. "Di sebagian besar dari 137 negara yang kami telaah, kami menghadapi sistem politik berdasarkan partisipasi semu dan sistem ekonomi yang mendistorsi persaingan pasar dan mencegah partisipasi ekonomi dan sosial."
Hal ini dapat diamati terutama di Amerika Tengah, di mana sistem politik kerap dirusak oleh struktur mafia. Di sub-Sahara Afrika, kondisi ini bermanifestasi melalui individu-individu yang mengamankan situasi politik yang buruk dan mengeksploitasi pelembagaan proses politik yang lemah.
2019: Aksi Demonstrasi di Seluruh Dunia
Jutaan orang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi karena diskriminasi etnis, korupsi, kurangnya demokrasi, hingga perubahan iklim. Dari Cina ke Chili, Sudan ke Prancis, orang-orang menuntut perubahan.
Foto: Reuters/T. Siu
Stabilitas Hong Kong terguncang
Aksi protes terjadi di seluruh Hong Kong pada bulan Juni akibat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan pemerintah daerah Hong Kong kepada Cina. Meskipun RUU itu ditarik pada bulan September, unjuk rasa terus berlangsung dan menuntut demokrasi penuh dan penyelidikan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
Foto: Reuters/T. Peter
Lebih satu juta orang turun ke jalan
Besarnya gerakan protes warga telah menempatkan para pemimpin Hong Kong dan Beijing dalam krisis politik, di tengah tuduhan bahwa Cina merusak status khusus wilayah itu di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem". Terkadang, lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Di tengah gejolak, pemilu Hong Kong berlangsung. Kubu pro-demokrasi memperoleh kemenangan besar untuk pertama kalinya.
Foto: Reuters/T. Siu
Greta berang, dunia mendengarkan
Beberapa bulan setelah Greta Thunberg melakukan protes seorang diri di depan parlemen Swedia, sejumlah aksi juga terjadi di seluruh dunia, diikuti hingga jutaan orang. Demonstrasi meluas dan dikenal dengan nama Fridays for Future (Jumat untuk Masa Depan), menyebabkan 4.500 aksi mogok di lebih dari 150 negara. Pendekatan langsung Thunberg memaksa pemerintah untuk mengumumkan krisis iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kappeler
Menentang diskriminasi agama di India
Parlemen India meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menawarkan amnesti kepada imigran gelap non-Muslim dari tiga negara yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Langkah ini memicu protes nasional karena adanya diskriminasi berdasarkan agama di dalam RUU tersebut. PM India Narendra Modi bersikeras RUU itu menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan.
Foto: Reuters/D. Sissiqui
Warga Irak merasa "hidup lebih buruk" setelah era Saddam Hussein
Pada Oktober, rakyat Irak turun ke jalan untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan pengaruh Iran terhadap pemerintahan negara itu. Demonstrasi berlangsung memburuk, mengakibatkan 460 orang tewas dan 25.000 lainnya terluka. PM Irak Adil Abdul-Mahdi mengundurkan diri, yang kemudian kembali memicu kemarahan lebih lanjut.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Tinju solidaritas di Beirut
Pengunjuk rasa di berbagai penjuru Lebanon mengecam pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Meskipun PM Lebanon, Saad Hariri mengundurkan diri, para pemimpin protes menolak untuk bertemu dengan pengganti sementaranya dan menuntut pencabutan rencana kenaikan pajak bensin, tembakau, dan panggilan telepon Whatsapp.
Foto: Reuters/A. M. Casares
Protes kenaikan BBM Iran meluas di 21 kota
Pada bulan November, kerusuhan di Iran dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen. Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan hingga aksi demonstrasi ini meluas di 21 kota. Departemen Luar Negeri AS mengatakan lebih dari seribu orang terbunuh, menjadikan tragedi ini periode paling berdarah di Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Foto: Getty Images/AFP
Revolusi Sudan
Pengunjuk rasa di Sudan meminta pemerintahan darurat yang dipimpin militer untuk segera melakukan pembongkaran dan pengadilan penuh terhadap kroni-kroni rezim presiden yang baru saja dimakzulkan, Omar Al Bashir. Konflik berdarah ini menewaskan sedikitnya 113 orang. Pada Agustus lalu, perwakilan rakyat dan pihak militer menandatangani deklarasi konstitusi untuk membentuk pemerintahan transisi.
Foto: picture-alliance/dpa/AP
Amerika Latin mengutuk kebijakan penghematan pemerintah
Ribuan orang protes di pusat ibu kota Chili, Santiago dan sejumlah kota besar lainnya. Mereka menuntut perbaikan sistem kesehatan, pensiun dan pendidikan. Tidak hanya Chili, beberapa negara Amerika Latin terjadi protes serupa pada tahun 2019, termasuk Bolivia, Honduras dan Venezuela, di mana upaya untuk menyingkirkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro memuncak pada bulan Mei.
Foto: Reuters/I. Alvarado
Prancis goyah
Akhir 2018, massa gerakan rompi kuning melakukan aksi unjuk rasa. Mereka berasal dari daerah pedesaan yang mengeluhkan wacana kenaikan pajak bahan bakar. Sejak itu gerakan rompi kuning telah meluas ke semua kelompok. Pada bulan Desember, serikat pekerja Prancis melakukan aksi mogok di jalan, menentang reformasi sistem pensiun.
Foto: Reuters/P. Wojazer
Pertarungan kemerdekaan Catalonia
Setelah sembilan pemimpin separatis Catalonia dipenjara oleh Mahkamah Agung Spanyol, gelombang kemarahan baru meletus hingga melumpuhkan kota Barcelona. Lebih dari setengah juta orang terlibat dalam demonstrasi ini. Aksi mogok dan kerusuhan di berbagai daerah melumpuhkan arus transportasi publik hingga memaksa penundaan pertandingan sepakbola Barcelona vs Real Madrid. (Teks: Leah Carter/ha/hp)
Foto: REUTERS/J. Nazca
11 foto1 | 11
Gelombang populis
Orang-orang yang kehidupan sehari-harinya terancam oleh kemiskinan, kelaparan, pengucilan sosial, dan tidak melihat perbaikan apa pun melalui proses demokrasi, sering dibutakan oleh alternatif-alternatif populis. Hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara yang diteliti, tetapi juga di negara-negara demokrasi yang sudah lama mapan seperti Amerika Serikat, yang tidak diperhitungkan oleh BTI.
"Sejak pemilihan umum dan popularitas abadi Donald Trump, serta tidak bertanggung jawabnya elite Inggris, setiap orang mungkin telah kehilangan beberapa ilusi tentang kekuatan demokrasi kita sendiri," kata Hartmann.
Penindasan di bawah bayang-bayang pandemi
Pandemi virus corona juga membawa pembatasan lebih lanjut pada hak-hak politik dan sipil di banyak negara.
Dalam kebanyakan kasus, situasi ini terbatas pada periode waktu tertentu dan sejauh menyangkut demokrasi, juga dilegitimasi oleh parlemen, kata Hartmann. "Namun, kami menemukan pengecualian dalam rezim populis dengan sifat otoriter, seperti Filipina atau Hungaria, atau dalam autokrasi termasuk Azerbaijan, Kamboja, atau Venezuela, yang telah menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mendorong penindasan lebih jauh." Di negara-negara autokrasi maju seperti Cina, tingkat pengawasan digital telah meningkat secara besar-besaran.
Terlepas dari kecenderungan dunia menuju dominasi autokrasi, Hartmann juga meyakini bahwa kebanyakan orang mendambakan kebebasan dan penentuan nasib bersama. "Mereka berjuang demi untuk pemilihan umum bebas di Belarus, solidaritas masyarakat sipil di Lebanon, perang melawan dominasi militer di Sudan, atau protes terhadap kudeta di Myanmar. Orang-orang ini tidak hanya berdemonstrasi, tetapi mempertaruhkan hidup mereka untuk masyarakat yang lebih baik." Mereka adalah pahlawan, katanya — benteng terakhir dan terberat dalam perjuangan global melawan autokrasi.