1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Studi UI Ungkap Masih Ada Warga Percaya COVID-19 Konspirasi

Prihardani Ganda Tuah Purba
5 Desember 2020

Dalam studi tersebut, mayoritas warga yang percaya konspirasi COVID-19 berasal dari Bogor dan DKI Jakarta. Juga terdapat perbedaan tingkat pendidikan dan pendapatan antara yang percaya dan yang tidak.

Stasiun Bekasi. Foto diambil pada 08 Juni 2020.
Ramainya stasiun kereta saat coronaFoto: Detik/A. Pambudhy

Masih banyak masyarakat Indonesia yang percaya bahwa pandemi COVID-19 yang saat ini melanda dunia adalah sebuah konspirasi elit global. Hal ini tercermin dari hasil survei yang baru-baru ini dirilis oleh sejumlah akademisi dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) yang tergabung dalam Center for Innovative and Governance (CIGO).

Dari 772 responden yang terlibat, sebanyak 20,6% atau sekitar 150 peserta masih percaya bahwa COVID-19 adalah konspirasi elit global.

Penelitian yang bertujuan melihat persepsi masyarakat terkait pandemi COVID-19 itu dilakukan pada pertengahan September 2020, pada saat PSBB Jilid II diberlakukan kembali di DKI Jakarta. Responden yang dilibatkan berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sementara, waktu pengumpulan datanya dilakukan dari tanggal 14-30 September.

Jika dilihat lebih rinci, hasil studi UI tersebut mengungkap bahwa responden yang percaya bahwa COVID-19 sebagai konspirasi elit global mayoritas berasal dari DKI Jakarta (22,5%) dan Bogor (24,1%). 

Latar belakang pendidikan dan pendapatan

Kepada DW, Eko Sakapurnama yang menjadi ketua tim penelitian tersebut menjelaskan bahwa ada perbedaan tingkat pendidikan antara mereka yang percaya konspirasi dengan mereka yang tidak percaya.

“Mayoritas responden yang masih percaya COVID-19 itu konspirasi elit global, berpendidikan SMP 50% dan SMA 30,9%,” kata Eko saat diwawancara DW beberapa waktu lalu.

Sementara, responden yang tidak percaya COVID-19 sebagai konspirasi elit global mayoritas memiliki latar belakang pendidikan yang jauh lebih tinggi, yaitu berpendidikan S2 (90%) dan S1 (80,5%).

Eko Sakapurnama - Akademisi dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI).Foto: privat

Eko juga menjelaskan bahwa jika dilihat dari segi pengeluaran per bulan, ada perbedaan yang cukup signifikan antara mereka yang percaya konspirasi maupun yang tidak.

Dari responden yang berpersepsi bahwa COVID-19 adalah konspirasi global, mayoritas memiliki pengeluaran per bulan kurang dari 5 juta rupiah (27,5%) dan 2,5 juta rupiah (22,3%). Sementara, mereka yang tidak percaya mayoritas memiliki pengeluaran per bulan lebih tinggi, yaitu berkisar 5-10 juta (86%), 10-20 juta (86,1%) dan lebih dari 20 juta (87,3%).

Hasil studi ini juga mengungkapkan bahwa responden yang mempercayai COVID-19 sebagai konspirasi elit global kebanyakan memiliki persepsi bahwa COVID-19 hanya berbahaya untuk warga lanjut usia (lansia) dan masyarakat dengan penyakit bawaan (comorbid).

Kurangnya literasi dinilai jadi penyebab

Menurut Eko, dengan melihat tingkat pendidikan responden yang percaya konspirasi mayoritas hanya lulusan SMP dan SMA, kurangnya literasi dinilai jadi salah satu penyebab mengapa mereka percaya bahwa COVID-19 sebagai konspirasi elit global.

Tak hanya itu, kurangnya kebiasaan untuk melakukan check dan re-check terhadap suatu informasi yang didapatkan dari internet dan sosial media juga ia nilai jadi penyebabnya. Oleh karena itu, pemerintah menurutnya perlu secara konsisten memberikan sosialisasi akan bahaya COVID-19 dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat.

“Pemerintah juga harus selalu mengkampanyekan dalam bentuk visualisasi yang mudah dimengerti,” kata Eko.

Dalam beberapa kesempatan, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo kerap menegaskan bahwa pandemi COVID-19 yang saat ini melanda dunia adalah nyata dan bukan rekayasa. Doni bahkan menyebut “COVID-19 ibarat malaikat pencabut nyawa” terutama bagi masyarakat yang masuk kategori kelompok rentan.

Di Indonesia, data terbaru menunjukkan bahwa jumlah kasus positif hingga 3 Desember 2020 sudah mencapai angka 557.877 kasus dengan jumlah pasien sembuh sebanyak 462.553 kasus. Sementara yang meninggal dunia akibat COVID-19 sebanyak 17.355 orang.

Rekomendasi kebijakan pemerintah

Penelitian yang dilakukan oleh Eko dkk tidak hanya mengungkap adanya masyarakat yang percaya konspirasi. Studi yang mereka lakukan juga menemukan bahwa meskipun masyarakat memiliki persepsi untuk mematuhi protokol kesehatan, tak sedikit dari mereka yang justru sering menggunakan masker tidak benar. 

Mereka juga mengungkap bahwa masyarakat cenderung menahan konsumsi di tengah pandemi COVID-19. Sektor travel dan transportasi jadi sektor yang paling tidak diminati.

Dengan temuan-temuan ini, Eko dkk pun memunculkan beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Pemerintah dinilai harus melakukan kampanye menggunakan masker dengan baik dan benar. Pemerintah juga dinilai harus memfokuskan tindakan promotif dan preventif dengan melakukan edukasi terhadap risiko dan eksistensi COVID-19. 

Selain itu, pemerintah juga disarankan fokus pada sektor produksi pangan mengingat sektor tersebut akan menjadi kebutuhan seluruh masyarakat. Dan yang terakhir, perlunya peningkatan kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan dalam melakukan aktivitas ekonomi sehari-hari dengan penegakan hukum yang tegas bagi pelanggar aturan. (gtp/vlz)
 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait