1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ledakan Beirut Dinilai Menyerupai Adegan Perang Apokaliptik

Tom Allinson
6 Agustus 2020

Ledakan dahsyat yang mengguncang Beriut telah meninggalkan trauma dan amarah bagi warganya. Namun, aksi solidaritas jadi penghias suramnya situasi pascaledakan yang digambarkan ‘apokaliptik’.

Libanon | Beirut
Foto: Getty Images/AFP/I. Amro

Sehari setelah ledakan dahsyat mengguncang Beirut, banyak warga yang terbangun pada Rabu (05/08) dengan amarah dan trauma. Libanon berada dalam situasi yang sangat sulit. Tidak hanya harus menghadpi pandemi vorus corona yang masih berkembang, Libanon juga harus menghadapi hiperinflasi, bahkan krisis kelaparan.

Ledakan dahsyat yang menurut pejabat Libanon disebabkan oleh 2.700 ton ammonium nitrat yang disimpan di pelabuhan itu, telah meratakan sebagian besar ibu kota. Bahkan, jendela-jendela rumah yang jauh berada dari lokasi ikut hancur akibat gelombang kejut dari ledakan yang luar biasa.

Fred Bteich, seorang ahli bedah Libanon yang nyaris jadi korban ledakan menggambarkan situasi pada Selasa malam seperti “adegan perang, dan apokaliptik,” di mana banyak pasien menumpuk di ruang gawat darurat rumah sakit tempatnya bekerja yang berada di pinggiran kota Achrafieh.

“Kami melakukan operasi terhadap beberapa korban, kami tidak tahu nama mereka, tidak tahu siapa mereka, apakah mereka punya kerabat atau tidak. Kami telah melihat beberapa hal yang mengerikan,” kata Bteich kepada DW. “Kadang-kadang saya harus mengoperasi [secara teknis] orang yang sudah meninggal, hanya demi melakukannya, [dan] kadang-kadang korbannya adalah anak-anak berusia empat hingga lima tahun. Sepertinya korban akan terus bertambah.”

Sementara beberapa korban luka masih dievakuasi dari puing-puing bangunan, amonium nitrat yang diduga sebagi pemicu ledakan juga memiliki “efek merusak pada tubuh manusia, dan dampaknya baru bisa dilihat beberapa tahun kemudian,” kata Bteich.

Menurut data Palang Merah Libanon, hingga pertengahan hari Rabu (05/08), lebih dari 100 orang telah dilaporkan tewas dan 4.000 lainnya terluka.

Dengan sebagian besar kota telah hancur secara fisik, “semua orang jadi tahu bahwa seseorang telah terkena bencana ini,” kata Bteich. “Ini tampak seperti Hiroshima.”

Titik lokasi ledakan di kota Beirut, Libanon

Warga Libanon buka rumahnya untuk korban

Di atas rasa trauma yang masih menyelimuti, keluarga yang rumahnya rusak dan hancur masih harus mencari tempat baru untuk berisitirahat. Menurut Wali Kota Beirut, Marwan Abboud, sekitar 300 ribu orang telah kehilangan tempat tinggal akibat ledakan.

Melalui media sosial, beberapa warga akhirnya mulai menawarkan tempat tinggal mereka untuk ditempati oleh korban yang kehilangan rumah. Tidak hanya individu, tapi pelaku bisnis perhotelan turut memposting nomor telepon mereka di bawah tagar ‘#ourhomesareopen’ (#rumahkamiterbuka).

Aksi solidaritas lain pun ikut bermunculan, seperti aksi penukaran barang guna menghadapi krisis ekonomi yang terlihat di beberapa grup Facebook. Selain itu, dukungan juga terus mengalir dari seantero negeri dan seluruh dunia.

Kekacauan politik

Meskipun terlalu dini bagi banyak orang untuk memikirkan dampak masa depan dari ledakan itu pada kehidupan mereka, para analis menilai kemarahan warga yang diarahkan pada mereka yang bertanggung jawab akan memiliki dampak politik besar.

“Mereka berharap setelah ini, ketika mereka mulai menyelidiki siapa yang bertanggung jawab, maka akan menghasilkan masalah kekacauan lainnya, karena kepercayaan warga Libanon dengan pihak berwenang sangat sedikit,” kata koresponden DW, Razan Salman. “Ini jadi tambahan dari krisis ekonomi yang telah melanda Libanon sejak Oktober.”

“Orang-orang yang menyaksikan perang saudara mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya,” tambahnya.

Sebelum ledakan dahsyat itu terjadi, Libanon sejatinya tengah menanti putusan pengadilan internasional pada pekan ini terkait tersangka pembunuh mantan Perdana Menteri Libanon Rafik Hariri. Pengadilan Khusus Libanon telah menunda pengumuman putusan hingga 18 Agustus mendatang. Keputusan semacam itu mungkin telah menambah ketegangan politik di negara yang telah dipecah oleh protes dan ketidakpuasan terhadap politik sektarian, dan para politisi yang diduga korup.

Hal itu “jelas tidak ada dalam pikiran siapa pun saat ini,” kata Salman. “Semua orang masih shock, masih panik. Kurasa tidak ada orang yang memikirkan vonis itu lagi,” ujarnya.

Apakah ledakan ini jadi momen persatuan bagi Libanon atau justru hitung-hitungan politik oleh pemerintahnya, semuanya masih bertanya-tanya.

“Saya tidak terlalu peduli apa kisah sebenarnya di balik ini, apakah disengaja atau tidak, atau politis, tapi yang pasti kerugian yang kami alami sangat besar dan saya merasa Beirut tidak akan dapat pulih dari kejadian ini dalam waktu yang cukup lama,” kata Bteich.

(Ed: gtp/rap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait