Jerman memang sebaiknya menghentikan bisnis senjata dengan Arab Saudi. Tetapi bukan hanya karena pembunuhan Jamal Kashoggi, melainkan karena perang di Yaman. Opini editor DW Mathhias von Hein.
Iklan
Bisakah kita percaya alasan dan keterangan dari Arab Saudi dalam kasus pembunuhan Jamal Khashoggi? Ketika Kanselir Jerman Angela Merkel hari Minggu lalu menerangkan, bahwa ekspor senjata dari Jerman ke Arab Saudi "tidak bisa dilaksanakan, dalam situasi saat ini", pemerintah di Riyadh baru saja merilis versi kedua ceritanya, bahwa Khashoggi memang tewas di gedung konsulatnya di Istanbul. Kemudian muncul laporan bahwa keluarga kerajaan telah mengucapkan bela sungkawa yang dalam kepada keluarga jurnalis yang sering mengritik kebijakan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman.
Keputusan terbaru Angela Merkel menghentikan bisnis senjata dengan Arab Saudi sudah benar. Tetapi, sebagaimana sering terjadi dalam politik, hal yang benar dilakukan dengan alasan yang salah. Dalam perjanjian koalisi pembentukan pemerintahkan sudah jelas tertera: Penjualan senjata dari Jerman tidak akan dilakukan lagi dengan negara-negara yang terlibat perang di Yaman.
Dalam perang ini, Arab Saudi adalah salah satu pelaku aktif. Namun tetap saja bisnis senjata Jerman dengan Arab Saudi berlangsung marak. Selama kuartal pertama 2018, izin ekspor senjata ke Arab Saudi naik hampir empat kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai omset160 juta euro. Bahkan pemerintah Jerman bulan September lalu masih mengizinkan ekspor empat sistem deteksi artileri ke Arab Saudi.
Senjata dari Jerman untuk pihak yang berperang
Tewasnya ribuan warga Yaman, ternyata tidak punya dampak seperti tewasnya satu jurnalis Arab Saudi. Kelaparan dan kesengsaraan jutaan manusia di Yaman karena blokade laut yang dilakukan Arab Saudi ternyata tidak terlalu mengganggu bisnis Jerman. Selama tiga tahun perang Yaman berlangsung, tidak ada yang peduli. Barulah kasus pembunuhan Jamal Khashoggi tiba-tiba menjadi titik balik.
Terdengarnya sinis.Tetapi pemerintahan di negara-negara industri barat memang tidak punya masalah dengan rejim yang otoriter. Yang tidak mereka sukai adalah penguasa yang sulit ditebak. Apa yang terjadi pada Jamal Khashoggi hanyalah adegan terakhir dari drama panjang yang berkaitan dengan kekuasaan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, sosok yang sering digambarkan sebagai "impulsiv", walaupun istilah itu masih terlalu ramah untuk menggambarkan sepak terjangnya.
Di samping intervensi militer ke Yaman tahun 2015, Arab Saudi juga melakukan blokade perdagangan ke Katar sejak tahun lalu. Jangan dilupakan peristiwa aneh November tahun lalu, ketika Perdana Menteri Libanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran dirinya dari satu hotel di Arab Saudi. Ada spekulasi bahwa dia diculik ke Arab Saudi dan dipaksa mengumumkan pengunduran diri. (hp/as)
Rentang Sejarah Perjuangan Perempuan di Arab Saudi
Hak perempuan di Arab Saudi adalah sebuah kisah perjuangan panjang yang berjalan perlahan. Berkat tekanan internasional dan keberanian generasi baru Monarki di Riyadh, perempuan mulai diberikan kebebasan di ruang publik.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Ammar
1955: Sekolah Perempuan Pertama, 1970: Universitas Perempuan Pertama
Perempuan Arab Saudi awalnya tidak diizinkan mengeyam pendidikan dasar. Hingga akhirnya sekolah khusus perempuan, Dar al-Hanan, dibuka tahun 1955. Namun butuh waktu hampir dua dekade bagi perempuan untuk bisa mendapat akses menuju perguruan tinggi, yakni Riyadh College of Education yang beroperasi tahun 1970.
Foto: Getty Images/AFP/F. Nureldine
2001: KTP Perempuan
Pada awal abad ke 21 perempuan untuk pertamakalinya mendapat Kartu Tanda Penduduk. KTP membantu kaum perempuan Saudi dalam kasus hukum seputar warisan atau properti. Awalnya perempuan harus mendapat izin dari wali laki-laki untuk mendapat KTP. Aturan tersebut dilonggarkan pada 2006 ketika perempuan bebas mendapat KTP tanpa izin walinya.
Foto: Getty Images/J. Pix
2005: Akhir Pernikahan Paksa
Pemerintah Arab Saudi secara resmi melarang pernikahan paksa pada 2005. Namun kontrak nikah antara calon pengantin pria dan orangtua perempuan masih marak dilakukan. Kontrak semacam itu mewajibkan perempuan menikahi pria pilihan orangtua.
Foto: Getty Images/A.Hilabi
2009: Perempuan Pertama di Pemerintahan
Pada 2009 raja Abdullah mengangkat perempuan untuk jabatan tinggi di pemerintahan. Noura al-Fayez hingga kini adalah wakil Menteri Pendidikan Arab Saudi. Ia bertugas mengurusi pemberdayaan perempuan.
Foto: Foreign and Commonwealth Office
2012: Atlit Olympiade Perempuan
Keberadaan Noura al-Fayez di pucuk pemerintahan banyak mengubah nasib atlit perempuan Arab Saudi. Pada 2012 untuk pertamakalinya Riyadh mengizinkan perempuan mengikuti Olympiade di London. Salah satunya adalah Sarah Attar, atlit lari di cabang 800 meter. Sebelumnya Komite Olympiade Internasional diisukan bakal melarang keikutsertaan Arab Saudi jika Riyadh melarang partisipasi perempuan.
Foto: picture alliance/dpa/J.-G.Mabanglo
2013: Izin Bersepeda dan Sepeda Motor
Setahun setelah Olympiade, pemerintah Arab Saudi untuk pertamakalinya mengizinkan perempuan menggunakan sepeda dan sepeda motor. Namun begitu kelonggaran tersebut bukan tanpa catatan. Perempuan hanya diizinkan bersepeda atau mengendarai sepeda motor di area rekreasional, diwajibkan mengenakan niqab dan didampingi wali pria.
Foto: Getty Images/AFP
2013: Perempuan di Majelis Syura
Pada Februari 2013 Raja Abdullah melantik 30 perempuan untuk Majelis Syura, dewan pertimbangan Arab Saudi. "Perubahan ini harus dilakukan secara gradual," kata Abdullah tentang hak perempuan. Tidak lama setelah keputusan tersebut, perempuan diizinkan untuk mencalonkan diri untuk jabatan publik.
Foto: REUTERS/Saudi TV/Handout
2015: Hak Pilih dan Dipilih
Pemilihan komunal 2015 di Arab Saudi ditandai dengan peristiwa bersejarah: untuk pertamakalinya perempuan diizinkan memilih dan dapat mencalonkan diri untuk jabatan publik. Sebagai hasilnya sebanyak 20 perempuan terpilih untuk berbagai jabatan di tingkat pemerintah kota.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Batrawy
2017: Direktur Bursa Saham Perempuan
Pada Februari 2017, bursa saham Arab Saudi menunjuk Sarah al-Suhaimi sebagai direktur. Putri bankir berusia 37 tahun ini ikut merangkai salah satu penawaran umum perdana paling akbar sejagad, yakni ketika perusahaan minyak negara Aramco melepas sebagian kecil sahamnya ke lantai bursa.
Foto: pictur- alliance/abaca/Balkis Press
2018: Perempuan di Kemudi
Pada 26 September 2017, pemerintah Arab Saudi mengumumkan perempuan akan diperbolehkan mengemudi mobil mulai bulan Juni 2018. Mereka nantinya tidak perlu meminta izin wali pria untuk mendapatkan surat izin mengemudi dan tidak perlu mengajak walinya untuk ikut menemani ketika mengemudi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Jamali
2018: Perempuan di Stadion Olahraga
Tidak lama berselang, pada 29 Oktober 2017, otoritas olahraga Arab Saudi mengumumkan perempuan akan diizinkan untuk menginjakkan kaki di stadion olahraga. Tiga stadion yang tadinya hanya mengizinkan penonton laki-laki juga akan dibuka buat perempuan pada awal 2018.
Foto: Getty Images/AFP/F. Nureldine
2019: Perempuan Saudi akan mendapat notifikasi melalui pesan singkat jika mereka diceraikan
Hukum baru dirancang untuk melindungi perempuan saat pernikahan berakhir tanpa sepengetahuan mereka. Perempuan dapat mengecek status pernikahannya online atau mendapatkan fotokopi surat tanda cerai dari pengadilan. Hukum ini tidak sepenuhnya melindungi perempuan karena cerai hanya dapat diajukan dalam kasus yang sangat terbatas dengan persetujuan suami atau jika suami melakukan tindak kekerasan.