1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Sudah Dokter di Indonesia, Capai Impian di Negeri Orang

Marjory Linardy
27 Juni 2023

Veronica Tellenbach sudah punya ijazah dokter dari Indonesia, tapi dia sebenarnya bercita-cita menjadi perawat. Di Swiss cita-citanya terpenuhi. Namun demikian, di negeri orang tetap banyak tantangan yang menghadang.

Veronica Tellenbach - indonesische Ärztin arbeitet in der Schweiz
Foto: Privat

"Saya kerjanya di Pflegerpool," katanya seraya menambahkan "setiap rumah sakit kan punya Pflegerpool." Maksudnya adalah wadah pencatatan ketersediaan perawat. Di wadah yang berupa daftar atau kalender itu, perawat bisa mencatatkan sendiri hari dan waktu, di mana dia bisa bekerja. Jadi, waktu kerjanya sangat fleksibel dan bisa ia tentukan sendiri.

Jika rumah sakit butuh tenaga perawat tambahan, atau misalnya untuk menggantikan perawat yang sakit, ia bisa dikontak. Dia mengatakan, sangat menikmati waktu kerja yang fleksibel. Ditambah lagi, dia tidak harus melakukan kerja malam, seperti biasanya harus dilakukan, jika seseorang menjadi perawat tetap di rumah sakit.

Veronica Mariolin Yeshinta Tellenbach lahir dan besar di Jayapura, Papua. Nama panggilannya Vero. Dia pindah ke Swiss Juli 2014.

Dia bercerita, kadang melihat laporan di media tentang situasi di Jerman dan bagaimana tenaga perawat kesehatan sangat dibutuhkan di Jerman. Memang perawat dibutuhkan pula di Swiss, katanya. "Pemerintah juga suka teriak-teriak, ya, mengatakan kekurangan tenaga perawat." Tapi situasinya lebih baik dibanding di Jerman.

Dia mengungkap, satu perawat biasanya hanya menangani delapan pasien. Sementara di Jerman bisa beberapa kali lipatnya. Selain itu, di rumah sakit di Swiss, dia tidak bekerja sendirian, katanya. Selain jumlah perawat yang lumayan cukup, ada pula asisten perawat, bisa satu atau dua orang.

Jerman saat ini sangat kekurangan tenaga perawat, baik di rumah sakit, maupun di instansi lain seperti rumah jompo. Akibatnya saat ini, pemerintah Jerman lebih menguatkan pencarian tenaga kerja di bidang kesehatan dari luar negeri, dan berusaha mempermudah proses penerimaan mereka untuk bekerja di Jerman.

Situasi di Swiss tidak sama dengan di Jerman. Dia mengungkap, bagi orang asing yang berasal dari luar Uni Eropa (UE), sangat sulit untuk mendapatkan izin tinggal di Swiss. Kecuali jika menikah dengan warga negara Swiss. "Jadi misalnya warga UE datang ke Swiss, kemudian dalam 90 hari bisa dapat pekerjaan, dia bisa dapat izin tinggal."

Sedangkan untuk orang yang berasal dari negara non UE, kemungkinan itu tidak berlaku. Oleh sebab itu orang asing dari Indonesia, atau juga dari beberapa negara Eropa Timur yang menjadi perawat di Swiss tidak sebanyak seperti di Jerman. "Tapi saya bisa mengerti sih, langkah pemerintah Swiss. Mereka berusaha agar warganya tetap punya peluang besar dan tidak diambil orang asing," katanya.

Dari dokter jadi perawat di negeri orang

Dari Indonesia sebenarnya ia mendapat ijazah sebagai dokter, setelah berkuliah di jurusan kedokteran di kota Malang. Tiga tahun setelah lulus, ia pindah ke Swiss bersama suaminya. Sebelumnya, ia dan suami sudah mulai melihat-lihat kesempatan bagi Vero untuk bekerja di Swiss sebagai dokter. Mereka bertanya ke instansi penyetaraan izasah, dan mendapat informasi, bahwa yang berwenang memberikan keputusan adalah rumah sakit tempat dia akan melamar pekerjaan.

Veronica saat bekerja di rumah sakitFoto: Privat

Dari rumah sakit, Vero mendapat informasi, karena ia berasal dari negara non UE, ia hanya bisa bekerja sebagai Assistenzärztin atau asisten dokter, dan bukan sebagai dokter. Vero menjelaskan, di Swiss asisten dokter berada di posisi paling bawah dalam hirarki dokter. Merekalah yang merawat pasien secara langsung, bukan dokternya.

Vero menjelaskan, walaupun kata asisten memberikan kesan, orang itu hanya menyokong pekerjaan dokter, pekerjaan seorang Assistenzärztin sangat berat. Bebannya hampir sama seperti menjadi dokter, dan stresnya sangat berat pula. Tetapi gaji seorang Assistenzärztin bedanya jauh dari gaji seorang dokter.

Tapi Vero, menjadi perawat bukan masalah, karena memang sejak dari Indonesia dia sudah bercita-cita untuk menjadi perawat. "Tapi dulu saya pikir, kalau saya menjadi dokter, saya akan membuat keluarga saya bangga," katanya sambil tertawa. "Pokoknya datang ke sini [ke Swiss] dari awal saya sudah bilang ke suami saya, saya mau jadi perawat."

Tanpa menunggu lama, Vero menemukan sekolah perawat yang sesuai. "Sekolahnya gratis," katanya, "dan selama sekolah saya dapat gaji." Tapi sebelumnya, dia mengambil magang di rumah sakit Swiss. Jadi dia sudah melihat bagaimana pekerjaan seorang perawat di Swiss, dan peran seorang Assistenzartz dalam menangani pasien.

Ketika itu dia melihat sendiri bahwa tuntutan terhadap seorang asisten dokter sangat berat, di samping itu gaji seorang asisten dokter tidak jauh berbeda dari gaji perawat. Di samping itu, jika punya sertifikat dari sekolah perawat, dia bisa berkarir sampai jenjang perawat yang paling tinggi. Sedangkan sebagai asisten dokter, ia selamanya akan berada di posisi itu.

Untuk naik menjadi dokter prosesnya sangat sulit. Dia bercerita, orang yang sudah mendapat ijazah dokter dari Jerman pun, harus mengulang beberapa mata kuliah lagi di Swiss, jika ingin menjadi dokter di Swiss. "Jadi saya merasa tidak worthed [sepadan] aja kalau kerja sebagai Assistenzärztin," katanya lirih.

Posisinya sebagai perawat di Swiss disebut Pflegefachfrau atau ahli di bidang perawatan. Vero menjelaskan, tanggungjawab seorang perawat bukan sekedar sampai seorang pasien sehat dan meninggalkan rumah sakit saja. "Ketika mereka di rumah, apakah mereka butuh Spitex atau Pflegeheim, itu semua kami yang koordinasikan," kata Vero. Spitex adalah istilah yang digunakan di Swiss bagi sokongan dan perawatan orang sakit di rumah. Pflegeheim adalah instansi di mana orang-orang yang butuh perawatan mendapat bantuan dan perawatan di bawah tanggung jawab tenaga profesional.

Lebih sulit daripada bahasa Jerman

Tahun pertama tinggal di Swiss dihabiskan Vero untuk belajar bahasa Jerman. Tepatnya bahasa Jerman dengan dialek Swiss yang disebut Schwyzerdütsch. Ini membuat belajar bahasa Jerman tambah sulit bagi banyak orang asing. Karena walaupun seseorang mengerti kalimat yang tertulis, jika kalimat itu diucapkan kemungkinan tidak bisa dimengerti lagi, jika orang tidak terbiasa dengan dialek Swiss. Ditambah lagi, setiap Kanton atau area di Swiss, punya dialek sendiri, sehingga negara Swiss punya beberapa dialek.

Bagi Vero bahasa jadi tantangan terbesar dalam dunia kerja. "Dulu saya tinggal di Papua. Di Papua itu, engga ada tempat kursus bahasa Jerman," katanya. Jadi dia mulai belajar bahasa Jerman dari nol di Swiss. Namun demikian, dia menikmati masa-masa itu.

Veronica dan suaminya saat liburanFoto: Privat

Sekarang, setelah hidup di negara pegunungan Alpen itu selama sembilan tahun, Vero mengatakan bahasa Jermannya termasuk bagus bagi orang yang pengalamannya sebanyak dia. Tapi dalam berkomunikasi dengan orang Swiss, untuk mendapat kepastian ia masih kerap bertanya, "Habe ich Sie richtig verstanden?" Artinya: apakah saya mengerti dengan benar apa yang Anda katakan?

Ia mengaku mentalitas orang Swiss yang "to the point" juga jadi tantangan. Ia bercerita, jika orang Swiss bertanya sesuatu, mereka biasanya hanya perlu jawaban langsungnya saja, bukan penjelasan panjang lebar. "'Ja' atau 'nein' saja," kata Vero, artinya ya atau tidak saja. "Saya datang dari kebiasaan, kalau jawab muter-muter. Jadi mereka tunggu, ya atau tidak," katanya sambil tertawa.

Vero mengatakan tidak merasa sulit berintegrasi ke dalam masyarakat Swiss. Namun demikian, orang-orang yang bisa ia sebut sebagai temannya, lebih banyak orang asing. Ia juga punya teman orang Swiss. "Tapi orang Swiss biasanya kalau udah punya keluarga, ga bisa ketemu rutin. Paling pakai WhatsApp atau lewat sosial media." Ia mengatakan, biasanya ia tidak membicarakan masalah pribadi kepada rekan-rekan sekerja. Memang mereka kadang-kadang mengobrol bersama tentang hal-hal pribadi saat makan, misalnya tentang liburan. "Tapi, ya sebenarnya oberflächlich [tidak dalam] ya," begitu papar Vero.

Hubungan antar kolega di Swiss memang berbeda dengan hubungan antar kolega di Indonesia, kata Vero. Jadi berbeda dengan situasi ketika dia bekerja di sebuah NGO di Indonesia. "Waktu itu kami kan istilahnya orang-orang yang idealis," katanya sambil tertawa, "jadi kami punya misi bersama." Karena ide dan misi yang sama, mereka punya hubungan seperti dalam keluarga.

Di Swiss kolega jelas berbeda pula dengan teman. Orang Swiss juga cenderung tertutup, dan hanya bercerita sedikit tentang keluarganya kepada orang-orang yang tidak dianggap punya hubungan pribadi yang dekat. "Jadi tidak bisa berharap, oh, saya kerja, dan saya akan menemukan best friend [teman baik] di tempat kerja, itu susah," kata Vero sambil tersenyum.

Veronica saat hiking di SwissFoto: Privat

Walaupun orang Swiss kadang dibilang kaku, menurut Vero tidak selalu demikian. Bagi dia, orang Swiss ramah. Orang Swiss ada pula yang senang mengobrol. "Kadang kalau saya di kereta saya berpikir, 'Aduh ini orang kok ga cape, ya ngomoong terus,'" katanya sambil tersenyum. "Saya belajar untuk ramah dan peka menolong orang dari Swiss juga," paparnya. Vero menegaskan, dia bisa berintegrasi dengan baik karena dia beradaptasi dengan orang Swiss.

Menanggapi situasi belakangan ini, di mana efek perubahan iklim semakin jelas di banyak bagian dunia, Vero mengatakan, ia dan suaminya mendukung kebijakan pemerintah Swiss. Di samping itu dia mengatakan cenderung merasa hanya bisa beradaptasi.

Berkaitan dengan perang di Ukraina akibat serangan Rusia, dan situasi yang semakin panas belakangan ini, Vero mengatakan, ia kecewa dengan sikap pemerintah Swiss. Masalahnya Swiss dari dulu secara politis selalu bersikap netral dan tidak terlibat dengan membela pihak manapun. Sedangkan sekarang, pemerintah Swiss menunjukkan dukungan bagi Ukraina, dan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Ia berpendapat, sulit untuk mengetahui latar belakang mengapa perang itu terjadi, jika tidak tahu sejarah dan kebudayaan di sana.

Di negeri orang "urat malu putus"

Pelajaran paling berharga yang ia dapat dari Swiss selama ini adalah: "Ketika kita diam, tidak memberikan pendapat, dan tidak menjawab pertanyaan, mereka mengira kita tidak mengerti." Itu terutama paling ia rasakan ketika sekolah dan magang di Swiss. Di Indonesia dia tidak terbiasa menjadi orang yang pertama mengangkat tangan untuk menjawab, jika ada pertanyaan dari guru. Di Swiss, begitu melihat Vero mendapat nilai bagus saat ujian, gurunya kaget dan baru sadar, bahwa ia mengerti semua hal yang diajarkan.

"Sejak itu urat malu saya sudah putus, setiap pelajaran saya duduk paling depan," katanya sambil tertawa bangga. Apalagi kursi-kursi paling depan biasanya kosong. Jadi dia langsung "booking" duduk paling depan. "Kalau dulu kuliah, sembunyi duduk paling belakang, biar ga ditanya dosen," katanya sambil tertawa terbahak-bahak.

Dia juga menyatakan apresiasi tinggi bagi guru-gurunya di Swiss. Mereka mendorong semua orang yang belajar untuk tidak segan bertanya. "Es gibt keine blöde Frage," begitu selalu ditekankan para pengajar. Artinya: tidak ada pertanyaan yang bodoh. Oleh sebab itu, ia juga kembali menekankan bahwa penguasaan bahasa sangat penting, baik dalam pekerjaan maupun. "Language is the key to integration," ditekankan Vero. Artinya: bahasa adalah kunci integrasi.

Selain pentingnya bahasa, bagi orang Indonesia yang ingin bekerja atau berkuliah di Swiss, Vero menyarankan untuk mencari informasi sebanyak mungkin terlebih dahulu dari orang-orang Indonesia yang sudah bermukim di Swiss. Sehingga persiapan untuk datang ke Swiss juga bisa dilakukan semaksimal mungkin.

Jika orang Indonesia sudah berada di Swiss, Vero mengingatkan pada sebuah pepatah yang sudah kita pelajari sejak masih di bangku sekolah: Di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung. Kita harus menghormati hukum, tradisi dan kebiasaan yang berlaku di negara tempat kita bermukim. Jadi kalau di Swiss, "be a Swiss," begitu kata Vero.

Sebagai perempuan di negeri orang

Khusus bagi perempuan Indonesia yang ingin datang dan bermukim di Swiss, Vero mengingatkan untuk berusaha sebaik mungkin, agar bisa menguasai Schwyzerdütsch. Vero mengemukakan bahwa penguasaan bahasa juga bagi perempuan yang tidak bekerja dan menikah dengan orang Swiss sangat penting. Vero mengatakan ia merasa khawatir, karena kadang ada perempuan yang beranggapan, mengingat ia akan jadi ibu rumah tangga, maka tidak perlu bisa berkomunikasi dengan orang Swiss.

"Tapi ibu rumah tangga itu pendidik untuk anak-anak," tandas Vero, "jadi belajarlah bahasa Jerman, seakan kamu akan bekerja di kantor yang membutuhkan kemampuan bahasa lokal yang baik." Karena nanti mereka akan menjadi pendidik di keluarga. Jika tidak bisa bahasa setempat berarti tidak bisa berkomunikasi dengan guru, atau membantu anak membuat pekerjaan rumah. "Jadi, perempuan, apapun tujuan kamu datang ke Swiss, belajarlah bahasa lokal. Itu harus dikantongi dan jadi prioritas utama." (ml/hp)