Ribut-ribut di dunia maya setahun belakangan ini bisa dibilang bukan demi membela kepentingan bangsa tetapi justru makin membelah keutuhan bangsa.
Iklan
Jika pada 20 Mei 1908 organisasi pemuda Budi Oetomo berdiri dengan semangat nasionalisme yang baru sebesar biji sesawi dan 21 Mei 1998 gerakan pemuda bisa disebut turut berperan dalam melengserkan Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun, maka pada tanggal 20-21 Mei tahun ini patut diduga tidak ada momen signifikan yang bisa menjadi tonggak sejarah. Fokus masyarakat Indonesia tertuju pada pengumuman hasil pemilu presiden dan legislatif 2019 pada 22 Mei.
Alih-alih berharap ada Jiwa Kebangkitan Nasional yang dapat merekatkan kembali nasionalisme Indonesia, yang terjadi justru dagelan politik tak bermutu dari pihak yang kalah dalam pemilu. Kebisingan di dunia maya semakin menjauhkan anak bangsa dalam dua kutub yang berbeda, antara kubu Jokowi atau Prabowo. Alih-alih berharap terjadi Semangat Reformasi Total yang dapat membawa Indonesia menuju negara demokratis adil dan makmur, yang terjadi malah ribut-ribut ideologi, perang kepentingan kelompok atas nama suku, agama, ras dan antar golongan. Energi bangsa ini terkuras untuk politik belaka, pembangunan sumber daya manusia guna memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) tahun 2030 terlunta-lunta.
Indonesia tidak bisa seperti ini terus-menerus. Harus ada yang bisa mengubah kondisi bangsa kita yang sekarat karena perbedaan ideologi dan kepentingan. Pertanyaannya siapa yang bisa menjadi "Budi Oetomo” masa kini? Siapa yang bisa menjadi Tokoh Reformasi 2019? Pemilu sudah usai.
Pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden sudah diketahui. Anggota DPR, DPRD Provinsi/Kota/Kabupaten dan DPD sudah terpilih. Kabinet akan segera dibentuk. Para pemimpin lembaga yudikatif mulai dilirik rekam jejaknya satu persatu. Namun siapa yang bisa menyatukan bangsa ini pada tujuan bersama?
Sayangnya saat ini belum ada organisasi pemuda yang mampu merekatkan bangsa melalui gebrakan masif seperti Budi Oetomo. Bekal pendidikan masa kini yang mentereng belum banyak memunculkan tokoh-tokoh intelektual muda yang berkualitas pemimpin dan sanggup melakukan terobosan.
Mengenang Kerusuhan Mei 1998
Menurut data Tim Relawan Untuk Kemanusian, Mei 1998 terdapat 1.190 korban tewas dalam keadaan terbakar dan ratusan korban hilang. Sementara korban dan/atau saksi mata perkosaan ada 189 orang.
Foto: Monique Rijkers
Hampir Dilalap Api
Mei 1998, Steven Winata berjalan kaki mengantar sabun, 500 meter dari rumahnya di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dalam keadaan tangan penuh barang bawaan, murid sekolah dasar ini dituduh menyenggol dan membuat seorang anak pribumi jatuh ke dalam selokan. Massa yang mengamuk hampir membakar tubuh Steven. “Saya selamat karena Ketua RT mengenali saya dan mengantar saya pulang.”
Foto: Monique Rijkers
Api Reformasi Akan Terus Menyala
Suara tuntutan agar Presiden Soeharto lakukan reformasi politik bergema di sejumlah kampus termasuk dari Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Namun aksi unjuk rasa damai itu dilawan dengan tembakan peluru tajam yang tewaskan 4 mahasiswa Trisakti. Taman Reformasi adalah inisiatif mahasiswa dan diresmikan bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014 agar Api Reformasi terus menyala
Foto: Monique Rijkers
Terjebak Api
Mei 1998, tahun lokasi pusat perbelanjaan ini menjadi sasaran penjarahan massa. Namun bangunan itu terbakar dan ditemukan 118 jasad tewas terbakar yang tak dapat dikenali. Kini pusat perbelanjaan baru yang semarak dengan papan iklan di Klender, Jakarta Timur itu seakan ingin meredam ingatan pada teriak tubuh-tubuh yang dijilati api.
Foto: Monique Rijkers
Akibat Api Sentimen Rasial
Penjarahan saat Kerusuhan Mei ’98 bukan hanya menyasar pusat perbelanjaan, rumah warga pun tak luput dari sasaran massa. Rumah Sudono Salim, pemilik Bank BCA di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat diserbu massa dan sempat dibakar. Kini deretan aset keluarga Sudono Salim menjadi “monumen” sentimen rasial yang kembali menyala dua dekade lalu.
Foto: Monique Rijkers
Melawan Api Kebencian
Salah satu lokasi kerusuhan 98 adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Pada sebuah lorong sempit di Glodok, Jakarta Barat sebuah pintu rumah terbuka dan terlihat sejumlah pria duduk sambil mendengar musik Mandarin. Bapak yang tak mau disebut namanya itu mengaku rumahnya dibakar orang pada Mei 1998 lalu. Kini rumah-rumah ini kembali dibangun. Warga mengurung diri dalam pagar tinggi demi rasa aman.
Foto: Monique Rijkers
Sisa Dari Yang Terbakar
Sepotong balok kayu bekas rumah yang terbakar Mei 1998 lalu masih dipertahankan oleh pemiliknya sebagai tonggak kesaksian peristiwa yang ingin ia lupakan. Informasi berasal dari petugas Perlindungan Masyarakat setempat.
Foto: Monique Rijkers
Bertugas Saat Api Melanda
Widodo adalah petugas Perlindungan Masyarakat di RW 01, Taman Sari, Jakarta Barat. Mei 1998, ia bertugas di lokasi dalam foto dan menyaksikan api menjalar seluruh tempat usaha sekaligus rumah warga. Widodo mengaku tidak mampu mencegah massa karena massa dan warga sudah berbaur sedangkan ia sibuk membantu petugas pemadam kebakaran. “Semua rumah yang sekarang ini rumah baru”, kata Widodo.
Foto: Monique Rijkers
Bangkit Dari Abu
Toko alat sembahyang agama Buddha ini sebelum kerusuhan adalah percetakan sekaligus rumah tiga lantai di Glodok, Jakbar. Setelah ludes terbakar, rmereka memulai dari nol. “Tak mau ingat-ingat lagi”, kata ibu yang menolak sebut namanya. “Kerugian alat cetak ratusan juta rupiah dan materi bisa dihitung tetapi kerugian mental tak ternilai.”, ujar anak laki-laki pemilik toko yang turut menjaga toko.
Foto: Monique Rijkers
Saksi Mata Selamat
Hendry (68 tahun) mempunyai rumah sekaligus bengkel las bubut di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Mei 1998 keluarganya menyelamatkan diri, menumpang di bedeng di sebelah rumahnya. Sementara Udin (50 tahun) saat itu jualan rokok di trotoar sebelah bengkel las bubut Hendry. Saat kerusuhan terjadi ia memilih pulang ke kampung di Kuningan, Jawa Barat. Udin dan Hendry sudah bersahabat selama 30 tahun
Foto: Monique Rijkers
Korban Tragedi
Pemerintah memakamkan korban tewas yang tidak bisa dikenali atau tidak beridentitas di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Seratusan nisan tak bernama menandai tragedi kemanusiaan 1998. Tahun 2015, pemerintah Jakarta resmikan Prasasti Tragedi Mei’98 bertuliskan pesan “Pengorbanan jiwa mereka telah menyalakan api reformasi menuju Indonesia yang lebih rukun, bermartabat dan cinta damai.”
Foto: Monique Rijkers
Pemerkosaan Itu Ada
Tim Relawan Untuk Kemanusian Mei ’98 menerima laporan korban perkosaan saat kerusuhan. Laporan yang bisa diverifikasi dengan menemui korban dan/atau saksi mata ada 189 orang. Ita.F. dan Dr Lie Dharmawan memeriksa fisik serta merawat sejumlah korban pemerkosaan. Korban pemerkosaan Mei ’98 Ita Martadinata tewas dibunuh Oktober 1998 saat akan bersaksi di PBB. Penulis: Monique Rijkers (ap/vlz)
Foto: Monique Rijkers
11 foto1 | 11
Makmur setelah reformasi
Angkatan '98 yang menjadi aktor Reformasi pun belum menancapkan jejak signifikan pada arah bangsa. Pada tahun 2019 ini tubuh ceking para demonstran jalanan yang menjungkalkan Soeharto mungkin perutnya sudah membuncit berkat kemakmuran era Reformasi. Orasi di bawah terik matahari berganti dengan komentar-komentar tanpa isi dalam sidang-sidang wakil rakyat. Bau keringat diganti wangi parfum buatan Paris.
Mereka yang dulu berteriak berhadapan dengan pemerintah, sejak lima tahun silam bergabung dalam organ-organ relawan dan duduk manis menikmati kemenangan. Reformasi memang menguntungkan sebagian orang yang bisa mencicipi nikmatnya kekuasaan yang mengakibatkan kekritisan dalam orasi-orasi di ruang sidang berkurang, ketidakadilan makin dimaklumi dan dwifungsi ABRI yang dahulu ditolak kini dirangkul kembali.
Meski ada kekurangan dari peran angkatan '98 sepanjang 2014 hingga 2019, saya tetap berharap wajah lama dari Orde Baru sudah menepi sehingga babak baru Indonesia lima tahun mendatang dipenuhi dengan gairah muda yang profesional dan berkualitas. Bukan mewakili partai, kelompok atau kepentingan, tetapi mewakili rakyat yang benar-benar bekerja untuk membenahi Indonesia, bukan sekadar pembangunan infrastruktur tetapi juga peningkatan hak asasi manusia, penerapan hukum yang tidak tebang pilih serta mampu meredam radikalisme dan intoleransi.
Profesionalitas yang lebih penting
Legislatif, yudikatif dan eksekutif periode 2019 hingga 2024 yang akan dimulai Oktober mendatang idealnya dipenuhi oleh generasi muda yang profesional dan memiliki rekam jejak terpuji. Hentikan bagi-bagi kekuasaan berdasarkan partai koalisi atau non-koalisi. Meski saya memahami perlunya partai pengusung seperti PDIP untuk mendapatkan ‘jatah” namun yang terutama adalah profesionalitas, sebagai satu-satunya alasan terpilih memegang jabatan publik.
Saya kira sudah saatnya generasi tua yang berjasa pada Reformasi 21 tahun lalu itu untuk undur diri, menikmati perjalanan bangsa sembari memberikan wejangan dan dorongan dari belakang. Saya kira sudah saatnya bagi siapa saja yang non-partisan namun sesuai kapabilitas diberikan kepercayaan dan kesempatan menduduki posisi-posisi penting untuk masa depan bangsa. Perlu keberanian dari Presiden terpilih untuk menyesap semangat Kebangkitan Nasional 1908 dan Reformasi 1998 dalam menahkodai kapal besar Indonesia agar tiba dengan selamat melewati badai politik lima tahun kedua. Jangan biarkan Hari Kebangkitan Nasional 2019 ini berlalu tanpa komitmen untuk keindonesian kita. Jangan sampai momen berharga ini berlalu sebagai Hari Ketidakbangkitan Nasional! Semangat Kebangkitan Nasional Indonesiaku!
Penulis: @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.
Prahara Mei 1998
Mei 1998 menjadi arus balik dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Tapi bulan berdarah itu hingga kini masih menyisakan sejumlah pertanyaan tak terjawab perihal keterlibatan militer.
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
Kebangkitan Mahasiswa
Mai 1998 menandai perputaran sejarah Indonesia. Berawal dari ketidakpuasan rakyat atas kenaikan harga kebutuhan pokok, mahasiswa mulai bergerak memrotes pemerintahan Suharto. Saat itu presiden kedua Indonesia itu baru saja terpilih secara aklamasi oleh parlemen untuk ketujuh kalinya. MPR berdalih, kepemimpinan Suharto dibutuhkan di tengah krisis moneter yang melanda.
Foto: picture-alliance/dpa
Protes dari Kampus
Bibit protes sebenarnya sudah bermunculan sejak pengangkatan Suharto sebagai Presiden RI pada Maret 1998. Namun karena sebatas di wilayah kampus, aksi tersebut masih dibiarkan oleh militer. Kendati begitu bentrokan dengan aparat keamanan tetap tak terelakkan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Titik Api di Sumatera
Awalnya cuma sekelompok kecil mahasiswa yang berdemonstrasi menentang pemilihan ulang Suharto. Namun ketika pemerintah menaikkan harga barang pokok pada 4 Mai, rakyat kecil pun ikut terlibat. Penjarahan pertama muncul di Medan yang tidak berlangsung lama, tapi menjalar ke berbagai daerah.
Foto: Getty Images/AFP/P. Richards
Bara di Jakarta
Pada 9 Mei, sehari setelah kerusuhan Medan berakhir, Jakarta mulai bergolak. Tapi Suharto terbang ke Kairo untuk menghadiri KTT G15. Dia pulang lebih dini saat kerusuhan di Jakarta memasuki fase paling mematikan. Pada 12 Mei, 10.000 mahasiswa berkumpul di kampus Trisakti. Saat itu empat mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Heriyanto dan Hendriawan Sie tewas tertembak peluru polisi.
Foto: picture-alliance/AP Images
Protes dari Luar Negeri
Peristiwa berdarah di Indonesia juga disimak oleh aktivis kemanusiaan asing dan mahasiswa Indonesia di mancanegara. Berbagai aksi protes digelar di Australia, Jerman, Belanda, Inggris (gambar), Swedia, Perancis dan Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eggitt
Bergerak ke Senayan
Hingga tanggal 13 Mei kepolisian masih berupaya membarikade kampus-kampus di Jakarta untuk mencegah mahasiswa keluar. Sebagian yang berhasil menerobos, berkumpul di berbagai titik untuk kemudian bergerak ke arah Senayan. Momentum terbesar adalah ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR.
Foto: picture-alliance/dpa
Api di Klender
Termakan amarah lantaran mendengar kabar mahasiswa yang tewas ditembak, massa kembali melakukan aksi penjarahan di beberapa sudut kota. Yang terparah terjadi di kawasan Klender, di mana massa membarikade dan membakar gedung Yogya Department Store. Sekitar 1000 orang yang terjebak di dalam tewas seketika.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Pahit Orde Baru
Aksi pendudukan mahasiswa terhadap gedung MPR/DPR dan tekanan internasional memaksa Presiden Suharto undur diri dari jabatannya. Diktatur yang berkuasa selama 32 tahun itu menyisakan republik yang carut marut oleh kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Sesaat setelah pengunduran diri Suharto, Wapres B.J. Habibie memulai 517 hari perjalanannya membawa Indonesia kembali ke pangkuan demokrasi.
Foto: picture alliance/CPA Media
Saling Tuding di TNI
Tragedi 1998 menyisakan pertanyaan besar buat TNI. Bekas Pangkostrad, Prabowo Subianto diduga ikut mendalangi kerusuhan, berdasarkan temuan tim Gabungan Pencari Fakta. Bekas Jendral bintang tiga itu kemudian dipecat oleh Presiden Habibie menyusul isu kudeta yang disebarkan Panglima ABRI Wiranto. Prabowo sebaliknya menuding Wiranto lah yang mengeluarkan perintah agar TNI menyulut kerusuhan berdarah