Perang saudara di Sudan Selatan membunuh pembangunan yang baru berusia seumur jagung. Kelangkaan infrastruktur paksa perawat memutar akal agar bisa melayani pasien yang membutuhkan pertolongan.
Iklan
Memberikan Layanan Medis dengan Bersepeda
02:39
Di Sudan Selatan yang dicabik perang saudara, mereka adalah pertolongan medis satu-satunya. Perawat Betty Olia dan Rosina Imolong memberikan layanan medis dengan bersepeda.
Kedua perempuan ini tiap hari bersepeda ke berbagai desa di provinsi Equatoria Timur. Ini pekerjaan berat berjam-jam di bawah sengatan matahari.
Keduanya bekerja untuk organisasi pertolongan Italia, AVSI. Organisasi itulah yang menyediakan sepeda dan obat-obatan.
Pemerintah Sudan Selatan tidak mampu memberikan layanan bagi warga. Tidak ada listrik. Tidak ada air bersih. Jalanan juga tidak ada.
Derita Sunyi Bocah Korban Perang Suriah
Tubuhnya diselimuti darah dan debu. Tanpa isak dan air mata, ia menyeka dahinya dan menatap darah di tangan. Ia dan anak-anak lain di Suriah menjadi korban kebiadaban perang.
Foto: Reuters/M. Rslan
Tanpa isak dan air mata
Omran Daqnesh bersama bocah lainnya duduk terpaku di ambulan setelah diselamatkan dari puing rumahnya yang hancur akibat perang di Allepo, Suriah. Tanpa menangis, Omran bersama anak lainnya menunggu tim relawan datang untuk memberikan pertolongan pertama, sebelum kemudian dibawa ke rumah sakit.
Foto: Reuters/M. Rslan
Simbol penderitaan
Omran, bocah Suriah yang bersimbah darah usai selamat dari serangan udara pasukan pemerintah kini menjadi simbol penderitaan penduduk kota Aleppo. Tubuhnya diselimuti luka dan debu. Sesekali ia menyeka dahinya dan menatap darah di tangannya.
Foto: picture-alliance/AA/M. Rslan
Korban tak berdosa
Bocah-bocah ini adalah korban perang antara pasukan pemerintah dengan pemberontak, yang makin membara di Allepo, Suriah, dalam beberapa waktu terakhir. Ratusan orang terenggut nyawanya.
Foto: Reuters/M. Rslan
Allepo yang membara
Dalam perang, anak-anak menjadi korban paling menderita. Allepo terbagi dua, kelompok pemberontak menguasai bagian timur dan pasukan pemerintah yang didukung militer udara Rusia di bagian barat. Sejauh ini perang di Suriah telah menelan 290.000 korban jiwa dan jutaan pengungsi sejak 2011.
Foto: Getty Images/AFP/B. Al-Halabi
Tumpang tindih perang
Masuknya ISIS menyebabkan situasi perang di Suriah antara pemberontak dengan pasukan pemerintah bertambah sulit. Di Suriah, ISIS mendidirikan kekalifahan di Raffa. Foto-foto anak-anak korban perang di Suriah menunjukkan keganasan peperangan yang dilakukan berbagai pihak.
Foto: picture-alliance/dpa/Imageslive/O. Jumaa
5 foto1 | 5
Tergantung bantuan luar negeri
Yang memberikan pertolongan medis, jika ada, hanya organisasi bantuan dari luar negeri.
Separuh warga Sudan Selatan hidup di bawah garis kemiskinan. Sejauh ini mereka bisa bertani kecil-kecilan. Tapi kekeringan yang melanda sejak empat tahun terakhir mengubah segalanya, kata Rosina.
Ia berasal dari desa tak jauh dari desa ini, di sisi lain gunung. Rosina mengatakan, situasinya belum pernah seburuk sekarang.
Rosina Imolong, menerangkan: "Warga di sisi gunung ini, sejak empat tahun menderita kesengsaraan. Tidak ada hujan, tidak ada makanan, tidak ada apun. Mereka bertahan hidup, dengan memungut buah-buahan dari semak."
Perang menyebabkan kelaparan. Pedagang menghindar dari sini, karena takut kehilangan nyawa mereka. Oleh sebab itu tidak ada barang dan bahan pangan yang datang. Kalau adapun, biasanya terlalu mahal untuk bisa dibeli warga.
Tragisnya Nasib Anak-Anak Penderita Kanker di Suriah
Di rumah sakit anak Damaskus, dokter bergulat dengan masalah kurangnya obat-obatan khusus bagi para pasien kecil. Ini bukan saja diakibatkan oleh perang saudara yang berlarut-larut di negara tersebut.
Foto: Reuters/O.Sanadiki
Kurang Sarana Berobat
Enam tahun konflik menyebabkan layanan kesehatan di Suriah hampir lumpuh. Padahal dulu pernah jadi salah satu yang terbaik di Timur Tengah. Tidak sampai 50% rumah sakit di negara itu berfungsi. Sekitar 200 anak berobat di Rumah Sakit Anak Damaskus tiap pekannya. Lebih dari 70% datang dari luar ibukota.
Foto: Reuters/O.Sanadiki
Sanksi Hambat Impor Obat?
Ini foto sejumlah pasien kanker yang menunggu pengobatan di Rumah Sakit Anak Damaskus. Pejabat organisasi kesehatan lokal dan dunia menyalahkan sanksi Barat berupa pembatasan impor farmasi, walaupun suplai medis sebagian besar tidak terkena dampak sanksi dari AS dan Uni Eropa.
Foto: Reuters/O.Sanadiki
Pemotongan Sokongan Negara
Pemotongan anggaran bagi kesehatan oleh pemerintah, merosotnya nilai mata uang dan efek tak langsung sanksi menyebabkan tambah parahnya kesengsaraan pasien yang perlu obat-obatan dari luar negeri. Sebelum perang pecah, Suriah produksi sendiri 90% obat-obat yang dibutuhkan. Tapi obat kanker memang dari dulu diimpor.
Foto: Reuters/O.Sanadiki
Harga Sangat Mahal
WHO di Suriah mengatakan, impor obat-obatan terkena pemotongan besar anggaran kesehatan dari pemerintah sejak mulainya perang tahun 2011. Selain itu, merosotnya nilai mata uang Pound Suriah hingga 90% menyebabkan harga obat sangat mahal.
Foto: Reuters/O.Sanadiki
Bukan Sekedar Kurang Dana
"Sanksi ekonomi atas Suriah juga berdampak negatif pada penyediaan obat-obat spesial termasuk obat anti kanker," demikian Elizabeth Hoff, perwakilan WHO di Syria. "Sanksi mencegah banyak perusahaan asing untuk mengadakan bisnis dengan Suriah. Juga mencegah bank-bank asing untuk mengurus transaksi bagi obat-obatan impor."
Foto: Reuters/O.Sanadiki
Pasien Menunggu Pengobatan
Bocah bernama Fahd ini penderita kanker. Ia bermain dengan ponselnya, sementara ibunya duduk di sebelah tempat tidurnya. Sanksi AS dan Uni Eropa tidak mencakup obat-obatan dan pertolongan kemanusiaan. Tetapi sanksi berupa pembatasan transaksi keuangan dan bisnis dengan pemerintah Suriah, sanksi secara tidak langsung berdampak pada perdagangan obat-obatan.
Foto: Reuters/O.Sanadiki
Penundaan Pengobatan
Basma, sebuah lembaga bantuan swasta berusaha membantu dengan membiayai obat anti kanker bagi keluarga miskin. Jumlah pasien yang butuh sokongan lembaga itu meningkat dari 30% hingga hampir 80% sejak perang mulai. Demikian keterangan manager Rima Salem. Salem menilai penundaan pengobatan sangat mengkhawatirkan, karena bisa menyebabkan kematian anak. Penulis: Nadine Berghausen (ml/vlz)
Foto: Reuters/O.Sanadiki
7 foto1 | 7
Sekolah jadi barang mewah
Pelajaran sekolah sudah hampir seperti barang mewah. Di desa Isoke, Suster Paskwina mengajar di sekolah satu-satunya. Saat damai yang ia alami, adalah menjelang kemerdekaan Sudan Selatan tahun 2011. Tapi perdamaian itu cepat berlalu. Dua hari setelahnya, perang kembali meletus, dan terus berlangsung sampai sekarang. Meskipun demikian suster Paskwina berusaha melanjutkan pelajaran.
Suster Paskwina mengungkapkan:"Orang kehilangan harapan. Tidak ada lagi saling percaya, orang-orang putus asa."
Perawat Rosina dan Betty terus memberikan layanan kesehatan setiap hari. Mereka tidak percaya lagi, bahwa hidup akan segera jadi lebih baik bagi warga Sudan Selatan. Tapi klinik sepeda ini masih jadi harapan bagi warga. Tanpanya, harapan hilang sepenuhnya.
(DWInovator)
Anak-Anak di Zona Perang Sudan Selatan
Sudan Selatan adalah negara ke-4 paling berbahaya di dunia ranking GPI. Badan PBB Protection of Civilian (POC) berikan warga perlindungan. Para pengungsi yang dilindungi mencakup anak-anak yang tidak disertai orang tua.
Foto: DW / F. Abreu
Terpaksa Mengungsi Tanpa Orang Tua
Lebih dari 30,000 orang tinggal di lokasi Protection of Civilians (PoC) di Juba, ibukota Sudan Selatan. Sekitar 7.000 di antaranya anak-anak yang kehilangan kontak dengan orang tua. LSM Nonviolent Peaceforce (tentara perdamaian tanpa kekerasan) berusaha mempersatukan mereka kembali.
Foto: DW / F. Abreu
Mencari Keluarga dan Mempersatukan
Langkah pertama adalah menetapkan identitas anak dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang bisa membantu pencarian orang tua. Data ini diunggah ke internet dan bisa diakses semua organisasi yang bekerja bagi perlindungan anak di Sudan Selatan. Jika pencarian tidak berhasil, atau jika anak memang yatim piatu, akan dicari orang tua angkat.
Foto: DW / F. Abreu
Penjaga Perdamaian Semua Perempuan
Di Sudan Selatan, Nonviolent Peaceforce memfokuskan diri pada perlindungan bagi anak-anak dan perempuan. Mereka tidak berpartisipasi dalam konflik senjata tapi terkena dampaknya, sehingga Nonviolent Peaceforce mendirikan tim penjaga perdamaian bagi perempuan, yang terlatih khusus untuk mencegah kekerasan seksual dan kekerasan berdasarkan gender.
Foto: DW / F. Abreu
Pemberdayaan Kaum Perempuan
Selain latihan, tim penjaga perdamaian bagi perempuan juga diberi sokongan selanjutnya sesuai kebutuhan pekerjaan mereka. Tim bekerjasama dengan perempuan lain di komunitas, membantu mereka mengidentifikasi risiko dan memberikan reaksi. Tim juga berhubungan dengan pihak berwenang, sehingga pelaku kejahatan bisa dituntut tanggungjawabnya.
Foto: DW / F. Abreu
Konflik Etnis Merebak
Perang saudara diawali sengketa politik, tetapi ini menyebabkan kembali renggangnya hubungan antara suku Dinka dan Nuer. Presiden Salva Kiir berasal dari suku Dinka dan pemimpin pemberontak Riek Machar dari suku Nuer. Kawasan Ulang didominasi etnis Nuer. Daerah ini diserang pasukan pemerintah Mei 2015 dan belasan tewas. Konflik terus merebak ke daerah yang tadinya damai.
Foto: DW / F. Abreu
Proyek Perlindungan Anak
Nonviolent Peaceforce menyelenggarakan proyek di Ulang, salah satu dari enam proyek serupa di Sudan Selatan. Proyeknya berbeda-beda sesuai kebutuhan lokal. Di Ulang, komunitas pekerja sukarela menjamin bahwa anak-anak memperoleh akses bagi kegiatan rekreasi dan sport.
Foto: DW / F. Abreu
Sepak Bola di Bekas Tempat Perang
Di sekolah dasar Kopuot di Ulang, anak-anak bermain sepak bola sebagai bagian proyek proteksi anak-anak. Bangunan di latar belakang penuh dengan lubang peluru, dan jadi tugu peringatan bahwa sekolah itu juga jadi sasaran tembak tentara pemerintah dalam serangan Mei 2015.
Foto: DW / F. Abreu
Kembali ke Sekolah
Semua materi untuk pengajaran dan peralatan lain yang dibutuhkan sekolah rusak total akibat penyerbuan tentara pemerintah. Tetapi sekarang, di ruang-ruang kelas yang masih direnovasi, kembali berlangsung proses belajar-mengajar.