Rezim berganti, bayang-bayang Suharto masih terasa dalam politik Indonesia hari-hari ini. konflik internal elit selalu mengorbankan rakyat. Pola seperti itu selalu berulang sampai kini. Ikuti opini Aris Santoso berikut
Iklan
Hampir dua dasawarsa setelah dirinya lengser, bayang-bayang Suharto masih terasa dalam politik Indonesia hari-hari ini. Warisan penting Suharto adalah membangun supremasi militer (khususnya Angkatan Darat) dalam lanskap politik di Tanah Air, di sepanjang masa kekuasaannya (1966-1998).
Meskipun sudah tidak sebesar dulu lagi, peran politik militer masih menentukan, itu terwujud dalam figur Jenderal Purn. Luhut B. Panjaitan (Menkopolhukam, Akmil 1970).
Dari pengamatan media, terlihat ketergantungan Presiden Joko Widodo terhadap Luhut (selaku Menkopolhukam) terbilang tinggi. Cukup sering Presiden Jokowi memberi jawaban “tunggu Pak Luhut”, ketika ditemui awak media pada kasus-kasus yang pelik. Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan, Luhut merupakan “presiden bayangan” republik hari ini.
Mesin Uang Gurita Cendana
Keserakahan keluarga Cendana nyaris membuat Indonesia bangkrut. Oleh banyak pihak keluarga Suharto disebut mengantongi kekayaan sebesar 200 triliun Rupiah. Inilah jurus gurita cendana mengeruk duit haram dari kas negara:
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Gurita Harta
Suharto punya cara lihai mendulang harta haram. Ia mendirikan yayasan untuk berbinis dan mendeklarasikannya sebagai lembaga sosial agar terbebas dari pajak. Dengan cara itu ia mencaplok perusahaan-perusahaan mapan yang bergerak di bisnis strategis, seperti perbankan, konstruksi dan makanan. Menurut majalah Time, Suharto menguasai 3.6 juta hektar lahan, termasuk 40% wilayah Timor Leste
Foto: AP
Yayasan Siluman
Tidak hanya menghindari pajak, yayasan milik keluarga Cendana juga mendulang rejeki lewat dana sumbangan paksaan. Cara-cara semacam itu tertuang dalam berbagai keputusan presiden, antara lain Keppres No. 92/1996 yang mewajibkan perusahaan atau perorangan menyetor duit sebesar 2% dari penghasilan tahunan. Dana yang didaulat untuk keluarga miskin itu disetor ke berbagai yayasan Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Bisnis Terselubung
Bekas Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro pernah menganalisa laporan keuangan ke empat yayasan terbesar Suharto. "Yayasan ini dibentuk untuk kegiatan sosial," tuturnya. "Tapi Suharto menggunakannya untuk memindahkan uang ke anak dan kroninya." Soedjono menemukan, Yayasan Supersemar menggunakan 84% dananya untuk keperluan bisnis, semisal pinjaman lunak kepada perusahaan yang dimiliki anak dan kroninya
Foto: picture alliance/dpa/A. Lolong
Lewat Kartel dan Monopoli
Cara lain yang gemar ditempuh Suharto untuk menggerakkan mesin uang Cendana adalah melalui monopoli. Teman dekatnya, The Kian Seng alias Bob Hasan, misalnya memimpin kartel kayu lewat Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO). Pengusaha yang kemudian dijebloskan ke penjara itu sering disebut sebagai ATM hidup keluarga cendana.
Foto: Getty Images/AFP/Firman
Bisnis Tepung Paman Liem
Taipan lain yang juga menjadi roda uang Cendana adalah Sudomo Salim alias Liem Sioe Liong. Sejak tahun 1969 pengusaha kelahiran Cina itu sudah mengantongi monopoli bisnis tepung lewat PT. Bogasari. Dari situ ia membangun imperium bisnis makanan berupa Indofood. Pria yang biasa disapa "Paman Liem" ini juga menjadi mentor bisnis buat putra putri Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Uang Minyak
Bukan rahasia lagi jika Pertamina pada era Suharto menjelma menjadi dompet raksasa keluarga Cendana. Sejak awal sang diktatur sudah menempatkan orang kepercayaannya, Ibnu Sutowo, buat memimpin perusahaan pelat merah tersebut. Sutowo kemudian memberikan kesaksian kepada majalah Time, tahun 1976 ia dipaksa menjual minyak ke Jepang dan menilap 0,10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak yang diekspor.
Foto: picture-alliance/dpa
Pewaris Tahta Cendana
Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sejak awal sudah diusung sebagai pewaris tahta Cendana. Putri tertua Suharto ini tidak cuma menguasai puluhan ribu hektar lahan sawit, stasiun televisi TPI dan 14% saham di Bank Central Asia, tetapi juga memanen harta tak terhingga lewat jalan tol. Hingga 1998 kekayaannya ditaksir mencapai 4,5 triliun Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Merajalela Lewat Bulog
Dari semua putera Suharto, Bambang adalah satu-satunya yang paling banyak berurusan dengan Liem Sioe Liong. Setelah mendirikan Bimantara Grup, Bambang terjun ke bisnis impor pangan lewat Badan Urusan Logistik yang saat itu didominasi Liem. Menurut catatan Tempo, selama 18 tahun kroni Suharto mengimpor bahan pangan lewat Bulog senilai 5 miliar Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Duit Cengkeh untuk Tommy
Melalui monopoli Hutomo Mandala Putra meraup kekayaan hingga 5 triliun Rupiah. Tahun 1996 ia mendapat status pelopor mobil nasional dan berhak mengimpor barang mewah dan suku cadang tanpa dikenai pajak. Selain itu Tommy juga menguasai Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang memonopoli penjualan dari petani ke produsen rokok. BPPC ditengarai banyak membuat petani cengkeh bangkrut.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Akhir Pahit Diktatur Tamak
Secara lihai Suharto membajak pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan keluarga. Menurut Bank Dunia, antara 1988 hingga 1996, Indonesia menerima investasi asing senilai USD130 miliar. Tapi struktur perekonomian yang dibuat untuk memperkaya kroni Cendana justru menyeret Indonesia dalam krisis ekonomi dan mengakhiri kekuasaan sang jendral. (rzn/yf: economist, times, bloomberg, bbc, kompas, tempo)
Foto: Gemeinfrei
10 foto1 | 10
Baru saja kita menyaksikan kegaduhan di antara para purnawirawan perwira tinggi, terkait isu anti komunisme. Isu ini ibarat bola liar, dan salah satu sasaran tembaknya adalah Luhut.
Ya benar, kini sedang ada konflik keras di tingkat elit militer. Meskipun sebagian besar pelakunya merupakan pensiunan, namun mereka merasa masih berpengaruh, dan sedang berupaya menggoyang posisi Luhut.
Situasi politik yang sedang kita saksikan akhir-akhir ini, itulah yang saya maksudkan sebagai warisan Suharto. Salah satu cara Suharto mempertahankan kekuasaannya dulu, adalah dengan memelihara konflik di antara pendukungnya sendiri.
Pada suatu masa, memelihara konflik internal ini sempat memperoleh istilah elegan: 'menjaga keseimbangan'. Meskipun secara empirik tidak ada perbedaan mendasar di antara dua istilah tersebut. Semua itu bisa terjadi, karena Suharto sendiri saat meniti menuju singgasananya, juga menggunakan pendekatan konflik, dengan dia sendiri sebagai pelaku aktifnya.
Menghentikan Siliwangi
Proyek pertama yang dilakukan Suharto setelah meraih kekuasaanya pada 1965-1966, adalah dengan menghentikan kompetisi (terselubung) antara Divisi (Kodam) Siliwangi dan Divisi Diponegoro.
Suharto sebagai bagian dari rumpun (ikatan kultural) Diponegoro merasa berkepentingan untuk menghentikan dominasi rumpun Siliwangi dalam peta elit militer Indonesia, yang sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Figur utama rumpun Siliwangi adalah Jenderal AH. Nasution, yang sudah umum diketahui memiliki hubungan tidak harmonis dengan Suharto.
Meskipun sama-sama organisasi militer, ada perbedaan kultural antara rumpun Siliwangi dan rumpun Diponegoro. Penanda utama rumpun Siliwangi adalah perilaku perwiranya yang cenderung kosmopolitan, sesuai dengan karakter Kota Bandung yang menjadi sentral rumpun Siliwangi.
Sejak era kolonial, Bandung merupakan pusat komando angkatan perang Hindia Belanda, dan pusat pendidikan berbagai kecabangan militer, hingga selalu didatangi pemuda dari seluruh penjuru nusantara.
Sementara tradisi rumpun Diponegoro acapkali diasosiasikan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa (kejawen), perwiranya homogen (suku Jawa dan umumnya mantan PETA), bahkan menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Nilai kejawen yang menjadi ciri rumpun Diponegoro, tetap dipegang teguh Suharto hingga menjelang akhir hidupnya.
Suharto memang kemudian berhasil menghentikan dominasi Siliwangi. Namun yang menjadi persoalan adalah, kekuasaan yang telah dia rebut dari Siliwangi tidak serta merta di-share pada rumpun Diponegoro, namun justru direngkuh dalam genggamannya sendiri. Kekuasaan bagi Suharto menjadi sangat personal.
Era Orde Baru ditandai dengan runtuhnya pengaruh rumpun Siliwangi. Kita menjadi paham sekarang, mengapa di masa awal Orde Baru masih ada figur Siliwangi yang berusaha mengimbangi Soeharto, seperti Mayjen TNI Ibrahim Ajie (Pangdam Siliwangi 1960-1966) dan Letjen TNI HR Dharsono (Pak Ton, Pangdam Siliwangi 1966-1969), yang pada akhirnya tersingkir juga.
Demokrasi Semu
Satu hal yang paling memprihatinkan, konflik internal elit (militer) selalu mengorbankan rakyat kebanyakan yang notabene tidak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Pola seperti itu selalu berulang, dan masih direproduksi sampai kini. Contoh “klasik” kasus konflik internal militer, yang kemudian mengorbankan rakyat kebanyakan, adalalah Peristiwa Malari (1974) dan Kerusuhan Mei 1998.
Pada penggal terakhir kekuasaannya, Suharto memiliki pesaing yang cukup tangguh, dalam arti sulit ditaklukkan, yaitu Jenderal Benny Moerdani. Persaingan antara keduanya tak kurang pula mengorbankan rakyat biasa.
Koruptor Paling Tamak Dalam Sejarah
Hampir tidak ada diktatur di dunia yang tidak menilap uang negara. Tapi ketika sebagian puas dengan vila atau jet pribadi, yang lain rakus tanpa henti. Berikut daftar koruptor yang paling getol mengumpulkan uang haram
Foto: AP
#1. Soeharto, Indonesia
Selama 32 tahun berkuasa di Indonesia, Suharto dan keluarganya diyakini menilap uang negara antara 15 hingga 35 miliar US Dollar atau sekitar 463 trilyun Rupiah. Jendral bintang lima ini lihai menyembunyikan kekayaannya lewat berbagai yayasan atau rekening rahasia di luar negeri. Hingga kini kekayaan Suharto masih tersimpan rapih oleh keluarga Cendana
Foto: picture alliance/CPA Media
#2. Ferdinand Marcos, Filipina
Ferdinand Marcos banyak menilap uang negara selama 21 tahun kekuasaanya di Filipina. Menurut Transparency International, ia mengantongi setidaknya 10 milyar US Dollar. Terutama isterinya, Imelda, banyak menikmati uang haram tersebut dengan mengoleksi lebih dari 3000 pasang sepatu. Imelda kini kembali aktif berpolitik dan ditaksir memiliki kekayaan sebesar 22 juta USD
Foto: picture-alliance/Everett Collection
#3. Mobutu Sese Seko, Zaire
Serupa Suharto, Mobutu Sese Seko berkuasa di Zaire selama 32 tahun. Sang raja lihai memainkan isu invasi negara komunis Angola untuk mengamankan dukungan barat. Ketika lengser, Mobutu Sese Seko menilap hampir separuh dana bantuan IMF sebesar 12 milyar US Dollar untuk Zaire dan meninggalkan negaranya dalam jerat utang.
Foto: AP
#4. Sani Abacha, Nigeria
Cuma butuh waktu lima tahun buat Sani Abacha untuk mengosongkan kas Nigeria. Antara 1993 hingga kematiannya tahun 1998, sang presiden meraup duit haram sebesar 5 milyar US Dollar atau sekitar 66 trilyun Rupiah. Sesaat setelah meninggal, isterinya lari ke luar negeri dengan membawa 38 koper berisi uang. Polisi kemudian menemukan perhiasan senilai jutaan dollar ketika menggeledah kediaman pribadinya
Foto: I. Sanogo/AFP/Getty Images
#5. Slobodan Milosevic, Serbia
Slobodan Milosevic yang berkuasa di Serbia antara 1989-1997 dan kemudian Yugoslavia hingga 2000 tidak cuma dikenal berkat serangkaian pelanggaran HAM berat yang didakwakan kepadanya, melainkan juga kasus korupsi. Selama berkuasa Milosevic diyakini menilap uang negara sebesar 1 milyar US Dollar atau sekitar 13 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
#6. Jean-Claude Duvalier, Haiti
Selama 15 tahun kekuasaannya di Haiti, Jean-Claude Duvalier tidak cuma bertindak brutal terhadap oposisi, tetapi juga rajin mengalihkan uang negara ke rekening pribadinya di Swiss. Saat kembali dari pengasingan 2011 silam, Duvalier didakwa korupsi senilai 800 juta US Dollar.
Foto: picture-alliance/AP/Dieu Nalio Chery
#7. Alberto Fujimori, Peru
Alberto Fujimori berkuasa selama 10 tahun di Peru. Buat pendukungya, dia menyelamatkan Peru dari terorisme kelompok kiri dan kehancuran ekonomi. Tapi Fujimori punya sederet catatan gelap, antara lain menerima uang suap dan berbagai tindak korupsi lain. Menurut Transparency International ia mengantongi uang haram sebesar 600 juta US Dollar atau sekitar 8 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
Salah satu yang bisa disebut adalah Peristiwa Santa Cruz di Dili (November 1991). Peristiwa tersebut merupakan cara untuk menghentikan laju karir Pangdam IX/Udayana (saat itu) Mayjen TNI Sintong Panjaitan (Akmil 1963), yang sedang digadang-gadang sebagai calon KSAD, menggantikan Jenderal Edi Sudrajat (Akmil 1960). Sintong dianggap masuk dalam kubu Benny Moerdani. Sementara kubu Cendana, sudah menyiapkan calonnya sendiri, yaitu Pangkostrad (saat itu) Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar (Akmil 1963), terhitung masih kerabat Soeharto.
Eksperimen “perlawanan” Benny dimulai ketika mengorbitkan nama Megawati Soekarnoputri dalam kampanye PDI (belum memakai label Perjuangan) menjelang pemilu 1987. Benny berperan di balik dahsyatnya kampanye PDI tahun 1987. Fenomena itu sejatinya tidak bisa dikatakan sumbangsih Benny bagi demokrasi, namun lebih sebagai instrumen Benny dalam mencari keseimbangan kekuasaan, yang terlalu terpusat di tangan Suharto.
Pada dasarnya tidak ada kontribusi positif dari konflik internal elite militer bagi demokrasi, sejak dulu juga begitu. Meskipun wujudnya bisa berupa “pesta demokrasi” yang sangat meriah seperti dalam kampanye PDI tahun 1987, yang tak lebih merupakan gimmick bagi rakyat kebanyakan.
Penulis:
Aris Santoso dikenal sejak lama sebagai pengamat TNI (khususnya Angkatan Darat), biasa menulis masalah kemiliteran di media cetak dan online. Kini bekerja sebagai staf administrasi di lembaga yang bergerak di bidang HAM (KontraS).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.