1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sukarno, Conefo, dan Perdamaian Dunia

30 Oktober 2017

PBB merupakan forum yang tepat jika Indonesia ingin terlibat menciptakan perdamaian dunia. Dengan catatan, Indonesia wajib menolak didikte oleh siapapun selama bermanuver politik di dalamnya. Opini: Rahadian Rundjan

Sjafruddin Prawiranegara
Foto: Imago/Xinhua

"Bagaimana mungkin sebuah negara hidup berdampingan dalam damai saat pangkalan-pangkalan militer dan benteng-benteng ekonomi di sekelilingnya digunakan untuk menumbangkan atau memanipulasi aktivitas domestik negara itu? Bagaimana bisa sebuah negara dapat hidup berdampingan dalam damai ketika kekuatan asing mendominasi kebijakannya? Bagaimana bisa sebuah negara bertetangga dalam damai dengan negara-negara yang mencegah penegakan sistem sosial dan ekonomi yang sesuai dengan identitas nasional negara itu sendiri?”, ujar Sukarno pada Konferensi ke-2 Gerakan Non-Blok (GNB) di Kairo, Mesir, pada 6 Oktober 1964.

Hadirin yang terdiri dari perwakilan 47 negara tersentak. Sukarno tegas menolak pandangan Josip Broz Tito, pemimpin Yugoslavia dan salah satu pencetus GNB, yang menginginkan GNB menempuh langkah moderat dalam menghadapi Blok Barat dan Timur dengan mencoba politik hidup berdampingan dalam damai (peaceful coexistence). Menurut Sukarno, sikap pasif seperti itu justru membuat negara-negara Non-Blok yang secara politik dan ekonomi lemah menjadi bulan-bulanan.

Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Demi mewujudkan perdamaian sejati, pertama GNB harus memiliki kekuatan politik setara dengan blok lainnya. Caranya? Sukarno punya ide: konfrontasi.

The New York Times yang meliput konferensi melaporkan bagaimana pandangan ekstrim Sukarno mengagetkan Tito. Tito bahkan mengolok-olok Sukarno sebagai "Goldwater dari Asia”, merujuk pada Barry Goldwater, calon presiden Amerika Serikat dalam Pemilu 1964 yang terkenal bersikap militan, provokatif, dan kerap mengadvokasi perang dalam kampanye-kampanyenya.

Hasilnya, delegasi Indonesia dan Yugoslavia pun saling berdebat hebat kala merumuskan hasil konferensi. Namun, Sukarno punya dasar yang kuat atas argumen-argumennya. Indonesia tengah bersitegang langsung dengan apa yang disebutnya dengan neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme (Nekolim) Inggris di Malaysia.

Pandangan di Kairo tersebut begitu menggambarkan kepribadian politik Sukarno di tahun-tahun terakhirnya berkuasa: ekstrim, paranoid, dan nekat. Karakter inilah yang kemudian menyetir Demokrasi Terpimpin dan menjadikan sejarahnya begitu romantik untuk dibahas: Demi mewujudkan perdamaian sejati, Sukarno memerintahkan Indonesia angkat kaki dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan mencoba membentuk institusi penegak perdamaian dunianya sendiri melalui the Conference of the New Emerging Forces (Conefo).

Konfrontasi Harga Mati

Paruh awal tahun 1960-an adalah masa-masa Perang Dingin yang mungkin paling menegangkan. Tiongkok memutuskan hubungan politik dan ideologi dengan Uni Soviet (1960), tentara Amerika Serikat dan Uni Soviet nyaris bentrok dalam krisis misil di Kuba (1962), ditambah di saat bersamaan tentara Tiongkok menginvasi India bagian utara. Indonesia sendiri berhadapan dengan Belanda di Papua pada tahun yang sama. Rasanya memang tak salah jika menyebut periode tersebut sebagai masa-masa hidup yang berbahaya, vivere pericoloso, sebagaimana Sukarno menyebutnya.

Tapi bagi Sukarno, vivere pericoloso adalah tangga menuju puncak politik dunia. Indonesia sudah diperhitungkan sejak keberhasilannya menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika, KAA (1955) dan pendirian GNB (1961) menghasilkan corong suara politik baru bagi negara-negara berkembang. Namun, apakah aspirasi KAA dan GNB didengar? Tidak. Nyatanya, Vietnam, Korea, Kongo, dan banyak negara berkembang lain masih berguncang hebat akibat konflik perebutan pengaruh Amerika dan Soviet.

Ketidakberdayaan itulah yang membuat Sukarno geram baik terhadap kawan dan lawannya selama konferensi GNB di Kairo. Kegeraman itu pun kian menjadi-jadi setelah menyadari bahwa "wasit” dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia, PBB, justru memutuskan mengangkat Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Sebuah kebijakan yang terkesan politis dan mendiskreditkan keresahan Sukarno terhadap bahaya Nekolim di Malaysia.

Rasa muak memuncak, pada 20 Januari 1965 Sukarno akhirnya menarik Indonesia keluar dari PBB dan angan-angan perdamaian semunya. Ia menginginkan partner yang percaya bahwa perdamaian sejati baru dapat direngkuh melalui konfrontasi politik terhadap negara-negara adikuasa yang tamak, baik dalam level individual maupun kolektif. Tak lama setelahnya, Sukarno akhirnya mengumumkan rencana pendirian Conefo sebagai tandingan PBB.

Negara-negara berkembang tertarik dengan Conefo, namun antusiasme nyata datang dari negara-negara komunis seperti Tiongkok, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Republik Persatuan Arab dan Yugoslavia, pilar-pilar utama GNB, memilih untuk mengamati terlebih dahulu. Dan diputuskanlah untuk membangun sebuah gedung yang akan menjadi markas Conefo di Jakarta, yang dananya disediakan secara patungan.

Apa yang Sukarno ingin raih melalui Conefo?

Saya melihat ada tiga hal.

Pertama, mengangkat harkat martabat politik negara-negara berkembang yang saat itu terkesan selalu dikerdilkan negara-negara maju dalam forum PBB. Kedua, menjadikan energi solidaritas ala masyarakat tertindas yang telah dihimpun sejak KAA sebagai moralitas politik Conefo dalam menghadapi ambisi politik strategis negara-negara maju. Dan ketiga, membangun lingkaran politik eksklusif yang anggotanya 100% anti-Nekolim, sesuatu yang belum Sukarno temukan baik di forum PBB maupun GNB.

Dan apakah ambisi raksasa tersebut terlaksana? Corak komunis Conefo memang meresahkan Blok Barat,dan niscaya menjadi masalah besar apabila Conefo berjalan. Sayangnya, Conefo mati sebelum tumbuh. Salah satu masalah utama Conefo adalah iacenderung terlihat dipersiapkan sebagai solusi jangka pendek dan begitu terburu-buru, jika tidak mau dibilang nekat.

Krisis ekonomi Indonesia semakin parah setelah bantuan kemanusiaan PBB dihentikan, yang bahkan sempat membuat Sukarno menyiratkan keinginannya untuk kembali ke PBB. Keputusan Tiongkok bergabung dengan Conefo sejatinya hanya batu loncatan agar PBB mengakui pemerintah komunis sebagai pemerintah yang sah di Tiongkok, dan menjadikannya anggota tetap Dewan Keamanan PBB, menggantikan pemerintah nasionalis (Taiwan). Korea Utara dan Vietnam Utara rasanya cukup puas bergabung jika imbalannya adalah dukungan politik dari anggota Conefo lain dalam menghadapi perang saudaranya masing-masing

Kita tidak bisa sepenuhnya menilai taji Conefo karena setelah peristiwa G30S, inisiatif Conefo menguap tak tersisa seiring tersingkirnya Sukarno dari kekuasaan. Namun peristiwa-peristiwa beberapa dekade berikutnya, seperti pengakuan PBB terhadap pemerintah komunis Tiongkok (1971), deteriorasi hubungan ideologi antara Tiongkok-Korea Utara, invasi Tiongkok ke Vietnam (1979), dan alienasi Orde Baru terhadap negara-negara komunis, seakan menggambarkan masa depan yang suram bagi Conefo.

Terus Mengejar Asa Perdamaian

Conefo adalah sebuah inisiatif kontroversial di zamannya, namun kegagalannya menyiratkan bahwa sikap politik megalomania Sukarno tidak selalu berakhir baik. Di masa sekarang, Nekolim memang tidak lagi menimbulkan paranoia seperti di zaman Sukarno. Perjuangan Indonesia menciptakan perdamaian sejati memang masih berlangsung, dan bahaya Nekolim tentu masih relevan, setidaknya untuk diwaspadai.

Kini Indonesia mempraktekkan politik luar negeri bebas-aktif dengan lebih dinamis, sesuatu yang menurut saya sebuah langkah tepat dan sesuai kebutuhan zaman. Indonesia pun dihormati sebagai agen perdamaian, setidaknya di Asia Tenggara, seperti kala mengintervensi krisis kemanusiaan Rohingya, Myanmar, sejak beberapa tahun belakangan. Nama pasukan Perdamaian Indonesia untuk PBB juga sudah harum di dunia internasional.

Rasanya, di masa sekarang, PBB merupakan forum yang tepat jika Indonesia ingin terlibat menciptakan perdamaian dunianya yang sejati. Dengan catatan, Indonesia wajib menolak didikte oleh siapapun selama bermanuver politik di dalamnya.

 

Penulis:

Rahadian Rundjan (ap/ml)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

 

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.