1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sukses Berjualan Sampah Makanan

Lars Bevanger16 Juli 2014

Kafe kecil di kota Leeds, Inggris, khusus menghidangkan makanan yang telah dibuang oleh supermarket dan restoran. Tujuannya adalah mengurangi sampah makanan global yang masih bisa dimakan.

Foto: Lars Bevanger

Kafe 'Pay As You Feel' atau 'Bayar Sesuka Hati' terletak di wilayah Armley di Leeds. Menunya berubah setiap hari, dan kualitas hidangannya secara mengejutkan patut diacungi jempol - terutama kalau mempertimbangkan bahan-bahan yang digunakan.

"Sejak Januari 2014 kami sudah menyelamatkan sepuluh ton makanan yang tadinya mau dibuang," ujar Ed Colbert, salah satu direktur The Real Junk Food Project yang mengelola kafe.

"Proyek ini bertujuan mengurangi sampah makanan. Di Inggris saja, 15 juta ton makanan dibuang setiap tahun. Kebanyakan masih bisa dimakan. Pada tingkat global, masalahnya lebih berat," jelas Colbert.

Menurut Colbert, sepertiga suplai makanan global berakhir di tempat sampah. Ini termasuk peternakan, supermarket dan rumah tangga.

Sebagian besar bahan makanan diambil dari supermarket atau gudang pengemasan yang memberitahu staf kafe kalau ada makanan yang mau dibuang.

Sam Joseph dan Ed Colbert adalah dua direktur kafe Pay As You Feel di LeedsFoto: Lars Bevanger

Ada juga orang-orang yang hendak bepergian dan datang membawa makanan yang kemungkinan besar basi selama ditinggal berlibur.

Panganan musisi ternama

Terkadang bahan makanan juga datang dari sumber tak terduga.

"Musisi ternama yang konser di Leeds suka menggelar pesta dan makanannya berlebih," ungkap Colbert.

Kafe ini pernah menyiapkan dan menghidangkan makanan mahal seperti kaviar, yang umumnya tidak akan mampu dibayar oleh konsumen mereka. Sesuai nama kafenya, bayarannya juga sesuai kemampuan. Ada juga yang membayar dengan imbalan seperti membersihkan jendela atau menyediakan boks-boks bunga.

Label yang membingungkan

Salah satu penyebab berlimpahnya sampah makanan adalah label yang membingungkan.

"Konsumen memandang tanggal kadaluarsa dari segi kesehatan, dan bukan segi pemasaran, dan akhirnya membuang makanan," kata Ed Colbert.

Sekeranjang apel, misalnya, masih akan terasa enak hingga tanggal tertentu. Dan meskipun rasanya sedikit berkurang sejak tanggal itu, mereka masih bisa disantap hingga berminggu-minggu kemudian.

Menteri Pertanian Belanda Sharon Dijksma sudah mendesak Uni Eropa untuk bertindak dan mengurangi pelabelan semacam ini untuk mengurangi sampah makanan.

"Saya mendukung pendekatan bersama Eropa untuk menjamin kesehatan pangan, namun aturan seperti ini seharusnya tidak berkontribusi bagi sampah makanan," tulis Dijksma.

Ia menambahkan bahwa produk-produk dengan masa berlaku lama, seperti pasta dan nasi, lebih baik tidak diberi label tanggal kadaluarsa.

Dan ulasannya?

Para pengunjung kafe Pay As You Like mengaku tidak keberatan dengan fakta bahwa makanan mereka seharusnya menjadi sampah.

"Menakjubkan, saya suka - setiap hari saya mendapat sesuatu yang berbeda," tutur Catherine Kidson. "Menurut saya ironis ketika ada orang kelaparan dan supermarket membuang-buang makanan."

Konsumen lain menilai penyelamatan makanan dari tempat pembuangan sampah sebagai menguntungkan. "Ini menciptakan lingkungan yang lebih ramah secara ekologis," papar Benjamin Sykes. "Makanan diberi kesempatan kedua ketimbang ditaruh di tempat pembuangan sampah dan menciptakan metana."