1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sunat Perempuan: Antara Mitos dan Politik

Andy Budiman6 Februari 2013

Tahun 2010 saat dunia mulai menghapus, Indonesia justru secara tidak langsung melegalkan sunat perempuan. Baru-baru ini PBB menyerukan kepada dunia agar menghapus praktek mutilasi atas alat kelamin perempuan.

Foto: Reuters

Sunat perempuan adalah praktek yang masih dipertahankan di banyak tempat di Indonesia. Riset yang dilakukan Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tujuh tahun silam menunjukkan 68 persen sunat perempuan di Sulawesi Selatan dan Banten misalnya, masih menggunakan jasa dukun (non medis-red).

Riset itulah yang menjadi dasar Menteri Kesehatan pada tahun 2006 mengeluarkan larangan sunat perempuan. Namun dua tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia MUI mengeluarkan fatwa agama menolak larangan Menkes dengan alasan sunat perempuan adalah bagian dari syariah.

Tekanan MUI-lah yang menurut para aktivis perempuan, akhirnya memaksa pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 tentang Sunat Perempuan. Sebuah aturan yang secara tidak langsung melegalkan praktek sunat perempuan, yang ironisnya di banyak belahan dunia lain sudah dihapus.

Tidak Melarang

Menteri Kesehatan Indonesia, Nafsiah Mboi telah menegaskan tidak akan melarang praktek sunat perempuan. Alasannya karena sunat perempuan di Indonesia berbeda dengan praktek serupa di Afrika yang menjadi sumber rujukan PBB.

Awal tahun 2013, PBB menyerukan kepada dunia agar menghapuskan praktek sunat perempuan. Badan dunia itu memperkirakan sekitar 140 juta gadis maupun perempuan dewasa di Afrika, Timur Tengah dan Asia mengalami praktek mutilasi kelamin. Praktek ini di banyak tempat termasuk Indonesia biasa disebut sunat perempuan.

Organisasi HAM Amnesty Internasional, sebelumnya telah mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan praktek sunat perempuan dengan mencabut aturan Menteri Kesehatan tentang sunat perempuan.

Tapi seruan PBB dan Amnesty Internasional itu ditolak. Menteri Kesehatan menyebut praktek sunat perempuan Indonesia berbeda, karena dilakukan tanpa memutilasi seluruh klitoris perempuan. Selain itu, dia mengatakan tidak bisa melarang sunat perempuan karena dianggap sebagai bagian dari ketentuan Islam, yang merupakan agama mayoritas di Indonesia.

Paling tidak ada beberapa jenis praktek sunat perempuan yang bisa ditemukan di Indonesia. Pertama adalah dengan cara menggores klitoris dengan kunyit, memotong dengan pisau bambu, menyentil klitoris dengan jarum dan terakhir adalah dengan memutilasi klitoris.

Mitos dan Fakta

Sunat perempuan menjadi semacam mitos di Indonesia. Anggota Komisi Nasional Perlindungan Perempuan Ruhah Masruchah kepada Deutsche Welle mengatakan ada banyak pandangan negatif terhadap perempuan yang tidak disunat.

“Perempuan akan dicap binal. Dibilang kasihan nanti suaminya karena nanti dia (perempuan yang tidak disunat-red) akan terus meminta (hubungan seks-red).“

"Ini adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan", kata Masruchah sambil menambahkan bahwa faktanya sunat perempuan bisa menimbulkan kematian dan membuat berkurangnya kenikmatan bagi perempuan saat berhubungan seks.

Studi yang dilakukan University of Berne, Swiss pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa perempuan yang disunat memiliki risiko lebih tinggi ketika harus menjalani operasi kehamilan. Artinya mereka lebih beresiko menghadapi kematian ketimbang yang tidak disunat, karena membutuhkan prosedur medis enam kali lebih banyak, ketimbang perempuan yang tidak disunat. Selain itu, sunat perempuan juga menimbulkan komplikasi pada vagina.

Di luar fakta medis itu, menurut Masruchah, sunat perempuan melanggar hak anak.

“Saya termasuk korban sunat. Dulu saat di kampung, anak yang disunat pasti menangis kesakitan.“

Saat anak perempuan disunat entah dengan cara disentil dengan jarum atau dimutilasi klitorisnya, dia tidak bisa membela diri, kata Masruchah sambil mengingatkan bahwa anak-anak punya hak untuk mendapat perlindungan.

Politik Sunat

Sunat perempuan di Indonesia menjadi isu sensitif karena dibawa menjadi urusan agama.

“Pemerintah akhirnya melegalkan sunat perempuan (lewat Peraturan Menkes 2010-red) karena tekanan MUI,“ kata Masruchah.

Kepada Deutsche Welle, Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat Ma'ruf Amin mengatakan bahwa sunat perempuan adalah bagian dari syariah.

“MUI meminta kepada pemerintah agar tidak melarang (sunat perempuan-red), karena ini bagian dari Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Kalau melarang, artinya (pemerintah-red) melarang masyarakat menjalankan ajaran agama,” kata Ma'ruf Amin.

Namun demikian kata Ma'ruf Amin, MUI meminta agar praktek sunat perempuan tidak dilakukan secara berlebihan.

“Sedikit saja (tidak semua bagian klitoris-red),“ kata Ma'ruf Amin sambil menambahkan bahwa “dari pembicaraan dengan Ibu Nafsiah Mboi (Menteri Kesehatan-red), sudah clear bahwa sunat yang dilarang PBB itu adalah yang dilakukan dengan memotong seluruh bagian klitoris.”

Sementara sunat perempuan Indonesia hanya dilakukan sedikit saja di bagian selaput atas “Hanya sekedar membuka…pakai apa saja… ada yang pakai kunyit, pisau bambu dan lain-lain, terserah, asal jangan infeksi” kata Ketua MUI.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait