1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sunat Perempuan

ap/hp25 Mei 2016

Sahabat DW, #DWNesia pekan ini selain menyoroti maraknya kontroversi komunisme, juga soal sunat perempuan di Indonesia.

Kenia Mann trägt T-Shirt gegen Weibliche Genitalverstümmelung - Female Genital Mutilation FGM
Foto: Reuters/S. Modola

Apakah kebangkitan komunisme merupakan sesuatu yang menurut Anda merupakan ancaman di Indonesia? Kontroversi akan bahaya laten komunisme akhir-akhir ini menjadi perdebatan di tengah masyarakat.

Beberapa orang yang dianggap memakai atribut berbau komunisme terciduk aparat. Sebenarnya, apa alasan fundamental dari pemburuan komunis seolah-olah para pendukung PKI masih berjaya dan para “cheerleaders” ideologi komunisme masih segar-bugar sehingga membahayakan tatanan sosial-politik Indonesia?

Pertanyaan ini yang menjadi sorotan dalam opini Sumanto al Qurtuby, staf pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi dan penulis buku Religious Violence and Conciliation: Christians and Muslims in the Moluccas. Simak analisa Sumanto dalam: "Islamis, Bukan Komunis", dimana dia memaparkan sejarah makar atau pemberontakan politik di Indonesia juga bukan hanya monopoli PKI.

Topik lain yang menegmuka adalah soal sunat perempuan. Lebih 200 juta perempuan, termasuk anak-anak, mengalami mutilasi genital, jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya, kata laporan UNICEF. Indonesia ada di peringkat ketiga, setelah Mesir dan Ethiopia. Separuh anak perempuan dan perempuan yang mengalami mutilasi genital berasal dari hanya tiga negara: Mesir, Ethiopia dan Indonesia.

Lewat tulisannya, pemerhati masalah sosial Nong Darol Mahmada, menceritakan pengalaman pribadinya ketika disunat dan menentang keras praktik mutilasi genital pada perempuan yang menurutnya merupakan tindakan kekerasan (atas nama agama atau budaya) terhadap anak.

Feminis Tunggal Pawestri memaparkan temuan penelitiannya tentang sunat perempuan yang dapat Anda temukan bersama analisanya di kolom #DWNesia pekan ini. Di tengah keprihatinananya, ia menggunggat, kapan Indonesia meninggalkan praktik primitif yang dilakukan atas dalih agama dan tradisi ini?

Kami tunggu tanggapan Anda di Facebook DW Indonesia dan twitter @dw_indonesia. Seperti biasa, sertakan tagar #DWNesia dalam mengajukan pendapatmu.

Salam #DWNesia

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait